18 Oktober 2009

Journey to the West

Sumber
SUATU hari dalam perjalanan, saat sedang menyetir, tiba-tiba saya berpikir untuk menyebut perjalanan ini adalah Perjalanan ke Barat, Journey to The West. Purwokerto memang berada di barat Jogja. Saya membayangkan kisah Kera Sakti dan kawan-kawannya berjalan selama 14 tahun. Kisah di jaman yang tidak begitu jelas, mungkin di awal kemunculan Buddha, atau masa awal masuknya Buddha ke China. Bisa juga kita berpikir Tong Sam Cong hidup di awal abad 20 ketika sastra surealis berkembang. Kini cerita itu dikontemporerkan lewat khayalan saya. Saya adalah ringkasan Tong Sam Cong, Sun Go Kong, Wu Chi, dan Tie Pat Kai dalam satu tubuh di jaman informatika dan serba digital.

L’Imagination du Café

Sumber

TIDUR adalah ciri biologis manusia. Ibu sering bilang “mau jadi manusia setengah dewa apa?” saat memarahi anak-anaknya yang gemar begadang. Tapi, suka tidur itu penyakit. Dan itu penyakit saya. Semilir angin, acara yang membosankan, kuliah yang diisi ceramah panjang, nonton film, mendengarkan lagu, pikiran kosong, atau sedang kurang kerjaan, maka saya akan mengantuk. Paling berbahaya tentu ketika sedang nyetir motor. Saya selalu pulang ke rumah naik motor di sore hari, ketika angin hangat menampar-nampar wajah dibalik kaca helm dan sinar matahari yang mulai menggelincir ke barat (celakanya saya menuju ke barat juga) menusuk mata, menyilaukan, sehingga mata yang kritis ini harus menyipit. Saya selalu ngantuk di perjalanan.

Tiga Raja

ADA kesamaan antara Raja Airlangga dari Medang Kamulan, Raden Wijaya pendiri Majapahit, dan Prabu Yudistira Raja Astina. Ada benang merah antara mereka bertiga, walaupun hanya dua di antaranya yang ada di kehidupan nyata, Yudistira hanya ada di cerita, walau cerita yang disadur dari yang nyata. Tapi, apakah yang “nyata” itu?

Strange Hobby

Ada suatu masa, ketika aku merasa tersadar kalau aku adalah seorang manusia dengan pemikiran sendiri. Aku adalah individu merdeka yang punya interpretasi khas atas suatu hal. Aku ingat momen itu tapi lupa kapan tepatnya. Dan seiring perjalanan waktu aku belajar memahami dan mengidentifikasi karakteristikku.

Serang Ga?

Entah mengapa malam ini aku merasa dekat dengan serangga.

Di tengah perjalanan berjam-jam ke kampung halaman dengan sepeda motor, aku melihat pemandangan yang indah. Dua lampu penerang jalan yang berjejer tampak seperti shower yang mencurahkan ribuan laron dalam balutan cahaya kuning-oranye.

Ya, laron.

Rumah Idaman

Sebelum memasuki pekarangan rumah berwarna kuning pucat itu, kau harus membuka pintu pagarnya dulu. Pagar kayu sepinggang orang dewasa itu catnya masih baru, abu-abu. Untuk pemukiman seperti ini, pagar hanya pembatas pekarangan saja fungsinya.

Pertarungan Bawah Tanah

Di rumah, ada lima speaker yang jadi pendendang tembang: 2 speaker dari dua Tv, 1 speaker komputer, 1 speaker Hp, dan mulut saya. Dalam hal intensitas “kenyalaan”, speaker dari 1 Tv adalah jawaranya. Tv ini menyala mulai dari ketika penghuni rumah yang pertama kali bangun, bangun, sampai penghuni rumah yang terakhir tidur, tidur. Dihitung-hitung kurang lebih 20 jam sehari. Kalau soal siapa pendendang lagu termasif, komputer menang. Minimal setiap hari dua orang di rumah menyetel komputer bergantian, berkali-kali menyalakan dan mematikan sehari semalam, dan setiap kali menyala pasti memutar lagu dulu baru bekerja. Track record si kompi baru kalah kalau saya pulang. Berduet dengan Hp atau akapela, saya adalah pendendang termasif. Jadinya, rumah kami tak pernah sunyi dari alunan nada. Mayor, minor, soprano, tenor, jazz, rock, dan fals.

Boleh Kan Nggak Sepakat?

MALAM-malam di rumah, sekarang rasa rumah tak lagi rumah, rumah dalam arti house bukan home, karena home saya sekarang ya kos. Saya rindu kos dan rindu kawan-kawan. Kawan-kawan saya itu koneksi internet beserta komputer, boleh juga atau emang butuh MP3 yang menghibur, barangkali mau mendengar suara orang mati si Raja Pop, saya suka dia walaupun yang namanya pop itu kayak apa saya juga kurang tahu.

17 Oktober 2009

Ajeng dan Tempat Pensil Kaleng

TAK hendak dikata jahat bila saya samakan seorang kawan dengan tempat pensil. Ajeng, teman sekelas kala kelas XI, dia orangnya. Begitu saja, selalu terlintas wajahnya dalam benak saya setiap kali saya melihat tempat pensil kaleng.