29 September 2014

Senyum yang Seratus Persen Sempurna



:: Untuk Gita dan percintaannya yang (ia buat) getir.

PERSIS seperti dua tahun lalu, ketika aku menunggumu keluar dari kantor, hari ini aku duduk di trotoar. Depan rumahmu. Pagi masih buram. Pukul 5.30. Adakah kamu sedang mengambil wudu di dalam sana?

Aku sesegar seorang atlet yang baru selesai pemanasan. Badanku sewangi remaja yang bersiap untuk kencan pertamanya. Kalau nanti aku bilang kepadamu, aku habis menempuh perjalanan dengan bus, pesawat, bus lagi, dan taksi nonstop, mungkin kamu tidak percaya.

Kemarin pagi aku masih di Kota B. Sekarang aku sudah di depan rumahmu. Rapi dan wangi—mau kutambahi “ganteng”, takutnya kau marah—sambil mengepit bungkusan di sisi kanan tubuhku. Bungkusan itu berat, isinya buku yang kubuat khusus untuk merayakan peringatan kelahiranmu.

Mungkin massanya cuma 1,5 kg. Ada tiga buku di situ. Kusertakan tiga untuk jaga-jaga. Barangkali yang pertama, baru lihat sampulnya saja sudah kau bakar. Kan, masih ada dua. Lalu yang kedua, baru kau baca setengah, sudah kau bakar. Jadi masih sisa satu, sebab kau mungkin saja penasaran ingin baca sampai selesai. Lalu, dengan kesal yang sudah menguap ke mana, kau tandas membacanya, menutup sampul belakang dan meletakkannya di dadamu, sambil senyum-senyum kecil. “Laki-laki ini kalau di tulisan selalu saja romantis.”

Adakah hukum relativitas untuk berat? Ataukah di tempatku berpijak gravitasinya lebih dari yang seharusnya? Buku ini jadi berat. Semakin dekat rumahmu, langkahku juga makin seret. Semakin pendek jarak kita, semakin banyak kenangan yang menyergapku, semakin banyak kenangan yang menggelayutiku.

Aku membuka ponsel. Membunuh waktu dengan membaca apa saja yang mampir di timeline Twitter. Sialan, debar jantungku makin riuh. Jadi tidak konsen. Ponsel kembali kumasukkan ke saku.

Sudah setengah jam. Seorang perempuan tadi keluar dari rumahmu. Cuma buang sampah. Aku sempat berdesir, kukira kamu.

Ini hari Minggu. Apakah kamu akan tidur sampai siang?

Kalau sekarang aku di B., aku biasa juga tidur sampai siang di hari Minggu. Senin sampai Jumat, aku sering kurang tidur. Banyak begadang, bangun pagi. Lalu kerja. Lalu pulang. Lalu makan. Lalu mandi. Lalu begadang lagi. Tidak hampa-hampa amat, hanya saja ada yang kurang.

Kalau saja kita masih bisa bercerita-cerita macam dulu, hidupku jadi lebih lengkap. Lebih berwarna, kata sebuah iklan.

Tukang sayur lewat. Seorang perempuan. Dia menatapku sekilas, lalu berteriak, “Sayuuuuur.” Kok, dia tidak mampir di depan rumahmu? Kalau iya, mungkin ada orang rumah yang akan keluar sehingga aku bisa minta tolong dia memanggilkanmu. Sayang sekali.

Satu jam lewat. Aku mulai merasa konyol. Apa bukunya kutaruh di kotak pos saja? Tapi aku rindu. Aku tidak mau jadi bodoh karena tidak sabar. Kalau bukunya kutaruh, lalu aku pergi, lalu lima menit kemudian kamu keluar, aku akan jadi orang paling goblok sedunia hanya karena tidak sabaran.

Tenang, Git, sudah bertahun-tahun. Kalau cuma sehari, itu kecil.

Suara pintu garasi dibuka. Aku melongok. Tidak ada yang tampak. Rupanya Cuma hendak memanaskan mobil. Eh, jangan-jangan itu kamu?

Aku beranjak supaya bisa melihat lebih dekat, siapa yang ada di garasi. Orangnya masih di dalam mobil. Menyetel musik. Ia cuma tampak dari belakang. Asuuuuu, rambutnya adalah rambutmu. Bisa jadi kamu. Jantungku mulai malih jadi orkes. Dum, dum, dum. Serombongan tim hore dari Dahsyat sekarang duduk di bangku-bangku yang berjejer antara bilik kiri dan bilik kanan jantung. Dengan pom-pom mereka berseru, ye ye ye, la la la. Sendi-sendiku mulai dirambati tremor.

Sosok itu menoleh ke kanan. Sial, kaca mobil terlalu gelap. Aku tidak bisa yakin, itu kamu atau bukan. Ingin kupanggil, “Hey!” begitu, tapi kalau salah, takut kecele. Nanti diusir pula.
Aku bersandar di tiang gerbang rumahmu. Gerbang ditutup. Mataku menancap pada sosok di mobil. Keluarlah, keluarlah, aku berkomat-kamit.

Ia bergeser ke kiri. Ya! Dia keluar!

“Nia!” aku berseru agak keras. Dia kaget. Brengsek, bukan kamu.

“Ada apa, ya?” dia menyapa. Dia lebih tua darimu sepertinya. Cuma perawakannya mirip. Aku setengah mati menahan diri agar tidak salah tingkah sementara dia berjalan mendekatiku.

“Nia-nya ada, Mbak?” aku mencoba cool.

Dia agar curiga, tapi menjawab juga. “Temannya Nia?”

“Iya.”

“Sudah janjian?”

“Belum. HP saya mati. Ini mau mengantar barang,” aku bohong.

“Lia sedang keluar kota. Katanya, sih, hari ini balik. Ada acara kantor dari Kamis sampai Jumat kemarin.”

Sejenak, kalimat-kalimat nasihat dari kawan-kawanku silih ganti terngiang. “Ngapain nunggu-nunggu? Kayak orang bego aja!”, “Masih Nia? Ya ampun!”, “Git, kukenalin sama ini mau gak?”, “Asyu, fosil gak bisa move on”.

Rasanya lemas. Aku mengucapkan terima kasih dan menolak tawaran perempuan itu untuk meninggalkan bawaanku. Juga untuk mampir. Katanya kamu akan pulang hari ini. Tidak, terima kasih. Aku poskan saja. Semua rusak. Bayangan rusak. Rencana kacau. Inilah akibat dari menunggu.

Langkahku jadi gontai. Berbeda 180 derajat dengan saat berangkat tadi. Kepalaku kosong. Rasanya ingin tidur. Rasanya semua lelah kini datang semua. Rasanya ingin tidak bekerja sebulan dan hanya tidur-tiduran di kamar sambil baca buku. Rasanya ingin menangis.

Butuh lima belas menit untuk langkah gontai yang baru saja patah hati (lagi) agar mencapai pintu gerbang kompleks. Aku berhenti sebentar, menunggu sebuah mobil tengah melewati pos satpam. Supirnya pura-pura akrab dengan menyapa basa-basi ke satpamnya—yang kelihatan baru bangun tidur. Sarungnya masih di leher. Aku juga ngantuk. Tanpa sadar, aku menguap.

Mobil itu lewat. Aku lanjut jalan. Di mana selokan? Patah hati tadi sudah berubah menjadi kecewa. Sebentar lagi akan alih wujud jadi marah. Buku yang kubawa ingin kulempar ke selokan. Ini dada pelan-pelan penuh dengan penyesalan dan penyesalan.

Di waktu kemudian, aku membayangkan kejadian ini seperti pertemuan dalam cerpen Murakami, “Gadis yang Seratus Persen Sempurna”.

Sebuah suara datang dari belakang, memecah pagi, memecah hariku, seperti tsunami yang menyapu bersih semua kesal.

“Gita!”

Aku menengok ke belakang. Itu kamu. Itu kamu! Hatiku menjerit. Kamu di sana, melongok keluar dari jendela mobil. Senyummu hari itu adalah senyum yang seratus persen sempurna.

Tanganmu melambai memanggilku datang. Detik itu, aku bukan Gita Wiryawan yang gemar mengutip dan punya banyak follower di Twitter. Aku detik itu adalah laki-laki yang jatuh cinta lagi dari nol. Dengan berlari, aku datang kepadamu.

Aku bertemu dengan Nia yang senyumnya yang seratus persen sempurna pagi itu. Delapan Juni dua ribu empat belas.[]

Yogya, 15 Mei 2014

2 komentar: