17 Mei 2012

Iklan yang Tak Usahlah Kau Pikirkan

Poster Nike: Write The Future. Tentu saja saya pilih yang Ronaldo! :D

Kapan kita memikirkan iklan? Memikirkan hal-hal selain bintangnya yang cantik dan ganteng, jinglenya yang kadang-kadang bagus, atau slogannya yang unik-provokatif.

IKLAN televisi terkadang bisa dimaknai terbalik dari maksud sebenarnya. Iklan yang memersuasi penonton untuk membeli, juga bisa diartikan sebagai himbauan untuk tidak membeli.

Iklan coklat siap makan Silverqueen Chunkybar, misalnya. Coklat ini versi baru dari label coklat Silverqueen. Jargonnya juga beda dengan Silverqueen sendiri, yaitu “gede sih, tapi rela bagi-bagi?”. Di serangkaian iklannya, jargon itu dikemas menjadi lebih “buas”.

Dibanding dengan kakaknya, coklat Silverqueen, versi Chunkybar ini termasuk berukuran besar. Lebih padat dan panjang. Teksturnya juga memudahkan untuk dipotong-potong. Tapi bukan untuk dimakan ramai-ramai dengan teman, karena, coklat ini begitu “enak”. Saking enaknya—seperti dalam iklannya—yang punya tak rela membaginya dengan siapapun.

Iklan ini menyempitkan opsi jawaban untuk pertanyaan dalam jargon itu: rela bagi-bagi? Pertanyaan semacam ini dalam kajian pragmatik (cabang semantik, ilmu bahasa tentang makna), disebut tindak tutur ilokusi. Pertanyaan yang dilempar pada pemirsa bukan semata-mata untuk memeroleh jawaban. Pertanyaan dibuat untuk membentuk opini publik dan mengarahkan pada satu jawaban: tidak, saya tak mau berbagi.

Nah, yang sehat pikirannya tentu akan memilih tak sering-sering beli atau malah tak beli sama sekali makanan jahat macam itu. ketimbang makan coklat enak sendirian, lalu dipukuli teman yang kesal tak diberi. Lalu, iklan macam apa ini?

Ada pula iklan kecap Sedaap. Wings, perusahaan yang mengeluarkan label Sedaap, tampaknya punya ambisi besar untuk melibas Indofood lewat merek ini. Berangkat dari mie, mereka lalu sampai pada kecap yang pasti ada di rumah manapun di Indonesia. Jadilah promosi kecap baru ini demikian gencar.

Salah satu iklannya menampilkan seorang anak usia sekolah dasar baru saja pulang sekolah. Alih-alih ganti baju, ia langsung ambil toples kerupuk, nasi, dan sebotol kecap. Karena kecap ini begitu enaknya, si anak tidak tertarik pada masakan di bawah tudung saji. Bahkan ia berteriak marah ketika kecap sebotol besar itu habis, sementara ia masih ingin makan.

Wah, wah, wah, iklan ini tentu bapak-ibu yang suka memasak di rumah jadi serba salah. Kecap ini bisa jadi penyelamat kala sedang malas masak, toh tinggal sediakan nasi, kecap, dan lauk seadanya saja sudah cukup. Tapi... apa mau anaknya jadi rakus begitu? Dan yang paling bahaya, anak-anak tak akan mau lagi makan sayur, lauk, dan varian makanan lain. Karena nasi dan kecap saja sudah cukup.

Maka, supaya anak anda tak menjadi anak rakus nan gendut tapi kekurangan gizi, jangan beli kecap Sedaap.

Ingat suara beratnya Allen Toussaint menyanyikan “Sweet Touch of Love” dalam iklan Axe Dark Temptation? Sungguh pilihan lagu yang baik, karena menimbulkan kesan maskulin dalam iklan tersebut. Pewangi tubuh khusus pria itu kini hadir dalam kemasan berwarna coklat dan akan membuat anda—para pria—seperti coklat: digilai perempuan. Adegan dibuka dengan seorang pria sedang menyemprotkan parfum di depan cermin. Buzzz.. seketika ia  berubah menjadi manusia coklat. Ketika berjalan-jalan ke mana-mana, ia selalu membuat histeris para wanita... yang ingin memakannya, tentu saja—karena manusia coklat ini jauh dari tampan.

Di salah satu adegan, si manusia coklat ini kehilangan tangannya karena dimakan. Ini bukan pamer atraksi kanibal, tapi bisa diartikan bahwa ia, demi populer di mata perempuan, rela “dimakan”. Ini menjadi semacam oksimoron: bunuh diri untuk eksistensi diri. Serta masih banyak iklan-iklan ambivalen seragam itu.

Barangkali apa yang ditampilkan di televisi itu bukan reka-rekaan belaka (seperti yang banyak dituduhkan, televisi sudah kadung dicap pembohong. Tak ada realitas apa-apa selain kebohongan itu sendiri). Iklan-iklan itu adalah cerminan habitus urban. Di kota, orang terlatih untuk bisa makan kenyang di kedai pas perempatan, sementara di bawah lampu merah ada yang kelaparan. Makan macam-macam, lalu kekenyangan, dan tenang-tenang saja membuang sisa makanan yang diambil terlalu banyak. Sorry, sorry jek, saya cari uang sendiri, ya, makannya juga sendirilah.

Iklan, alih-alih jadi media persuasif, malah membuat orang tak mau beli sebab efeknya yang buruk. Ia juga berseberangan dengan humanisme. Ia individualistis (Silverqueen, kecap Sedaap) dan menggambarkan apa itu “homo homini lupus” (Axe). Gambaran manusia urbankah?

Syukurlah, hal sebaliknya terjadi pada iklan produk-produk yang banyak dicerca. Coba ingat-ingat iklan rokok yang tak pernah ada sebatang rokok pun tampak (ya, karena memang regulasinya begitu). Atau iklan Coca-Cola yang selalu memiliki tema unik (yang terbaru mengusung slogan “Live Positively”. Narasi yang ditutup dengan kalimat “ayahku mengantarkan kebahagiaan”—padahal cuma supir truk Coca-Cola. Juga jingle indah yang dinyanyikan Sore. Semua sungguh hebat). Juga iklan Nike “Write The Future” saat piala dunia lalu yang sangat filosofis, “apa yang kamu lakukan sekarang menentukan masa depanmu”.

Memang sebuah usaha untuk membentuk perbandingan terbalik antara arah konsumsi dan pertimbangan akal sehat belaka. Namun sebagai iklan, mereka menunjukkan seperti apa  iklan yang baik.

Dengan perkembangan teknologi sinematik yang aduhai kerennya, iklan cukuplah dinikmati sebatas bentuk sinematorafi pendek berslogan. Apa maknanya? Tak usahlah kau pikirkan...[]

Postscriprum: Ini gara-gara tulisan fenomenal yang saya baca sewaktu SD. Artikel di Kompas minggu yang judulnya lupa dan penulisnya entah. Tulisan itu bilang kalau iklan televisi sering bisa dimaknai terbalik dari maksud sebenarnya. Iklan yang memersuasi penonton untuk membeli, bisa diartikan sebagai himbauan untuk tidak membeli. Lewat tulisan ini, saya hendak “menghidupkan” tulisan itu lagi. Sebab iklan-iklan belakangan ini sering mengingatkan pada tulisan itu.

27 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar