21 Februari 2010

Ibu Guru Malèna

Malèna (2000)

MENGGUNAKAN ungkapan paradoksal, maka usai menyaksikan Malèna, saya mau mengutuk Giuseppe Tornatore yang mendobrak paham ortodoks saya selama ini soal pelacur dan janda kembang.

Malèna adalah hibrida (genre) film. Di dalamnya ada sensualitas film biru, kesedihan sederhana yang menguras airmata sekaliber Granpa’s Love nya Bo Bo Ho, kekacauan hidup kaum sipil akibat perang, semangat humanisme gaya film keluarga Hollywood, dan kemalangan bertimpa-timpa yang berujung kebahagiaan jamaknya film Disney macam Cinderella. Semuanya berpilin benang dan bergetar-getar, menghadirkan resonansi yang gaungnya memecah citra pelacur dan janda dalam pandangan ortodoks saya.

Apapun yang hendak disampaikan Tornatore dalam film ini, sekiranya itu sudah mati ketika dia memilih cara tersirat nan kompleks macam film. Ini sehubungan dengan pertanyaan, siapa sebenarnya yang diposisikan sebagai pemeran utama oleh Tornatore.

Renato atau Malèna? Tentu Malèna. Indikasinya jelas, film ini berjudul Malèna, nama pemeran yang di urutan teratas adalah Monica Belucci, dan Renato pun tugasnya semata-mata memata-matai Malèna sepanjang cerita. Tidak, tidak, saya bercanda. Saya anggap begitu karena, Renato, ayah Renato, dan para penduduk Sisilia mendapat pelajaran dari Malèna. Dialah yang menggerakkan denyut semua nadi film ini, maka memang Malènalah si tokoh utama.

Tubuh indah dan wajah cantik memang mengundang. Mengundang pujian sekaligus cacian.

Bila disesuaikan dengan norma sosial, memang tak ada alibi untuk membenarkan Malèna sebagai pelacur. Sayang, itu pendapat sinkronis. Dia mau jadi pelacur atau tidak, dia sudah jadi pelacur. Ketika para wanita menghujatnya sebagai “bahaya bagi para lelaki”, para lelaki malah berlomba-lomba mengetuk rumahnya di malam hari sambil membawa senampan makanan atau jasa pembelaan di pengadilan. Maka dengan memotong rambutnya, mewarnainya, dan terang-terangan menunjukkan dirinya yang terlanjur bobrok di depan umum, Malèna hanya menandai dirinya yang apa lacur sudah menjadi pelacur.

Siapa bisa menyalahkan para lelaki yang menyeringaikan taringnya atas bawah, ketika tahu suami Malèna (kabarnya) mati? Toh urusan biologis; kelindan penjelasan soal hormon dan proses pendewasaan memang rumit dan begitu cantik sebagai pleidoi.

Siapa juga yang bisa mempermasalahkan moral wanita cemburu yang memang tak bermoral. Maka semua-muanya menjadi salah Malèna, karena ia cantik, ia janda, dan ia terlalu menarik.

Wanita-wanita yang menghujat Malèna lewat mulut mereka tentu sadar, bahwa sesungguhnya yang berbahaya adalah suami mereka. Namun, relasi yang lebih dekat membuat mereka memilih untuk menjatuhkan semua kesalahan pada Malèna. Pria-pria yang mencibir Malèna yang melacur pada tentara Jerman, pun tahu sama tahu, bila bukan orang Jerman itu, ya mereka yang akan jadi pelanggan si pelacur Malèna.

Sayang, sebagaimana biasa, antara mulut dan hati tak sejalan. Semua orang tahu bahwa mereka tak lebih baik dari Malèna, namun menyembunyikannya rapat-rapat agar dinilai norma sebagai orang suci. Padahal beda Malèna dengan mereka cuma: Malèna jujur pada dirinya dan orang lain, mereka tidak. Seperti kata seorang kawan, “terkadang kita membenci seseorang karena kita tidak memiliki apa yang ia punya”.

Dari seorang janda yang pendiam dibandingkan orang Italia kebanyakan, Renato belajar mencintai. Ini salah satu yang membuat saya begitu suka film ini. Cinta Renato pada Malèna tidak utopis, tapi cinta naif yang dalamnya ada kolaborasi antara sayang dan nafsu.

Mungkinkah kita temui di dunia nyata, ayah seperti ayah Renato, yang setelah marah besar saat menemukan Renato tidur dengan celana dalam wanita, memilih jujur pada dirinya sendiri. Anakku beranjak dewasa. Dilarang sekalipun ia akan terus mencari. Dan dibawalah Renato ke rumah bordil. tentu semua berkat Malèna.

Feelling yang sama hadir, seperti saat menonton Beauty and The Beast, ketika melihat semua terpana melihat Malèna jalan bergandengan dengan Nino Scardia, suaminya yang bangkit dari kubur. Dan akhirnya, momen yang paling saya suka, ketika di pasar, semua orang sudah tak tahan menanggung tekanan batin telah berbohong pada diri sendiri, ketika seorang pedagang memberi Malèna sebuah baju, semua langsung berubah jadi baik padanya. Ada penebusan dosa di mana-mana.

Jujur pada diri sendiri. Itu yang saya kira, diajarkan Ibu Guru Malèna kali ini.[]

NB
1. Saya buat ini bukan untuk menandingi siapapun (hehe). Refleks saja usai terpana selama 2 jam di depan layar laptop. Asem, film apik!
2. Jujur pada diri sendiri: saya merasa tulisan ini bosok, tapi kok ya sayang dah lama ngetik tapi ga dirilis. Mohon kritiknya. Merci

Tidak ada komentar:

Posting Komentar