Tentu saja ini gambar disaring dari Google |
Apakah Natal pasti berarti pergi menghadiri misa di gereja? Apakah Natal selalu berarti keluarga yang berkumpul dan bersukaria? Apakah natal selalu berarti kasih Tuhan untuk semua manusia?
KRESNA adalah senior saya di organisasi. Dia Protestan, ayahnya pendeta zending di Palembang. Dia juga aktif di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Tapi pacarnya beragama Islam dan berjilbab. Kakak pacarnya adalah simpatisan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) semasa kuliah. Sedangkan adik pacarnya kini tengah sekolah di Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur. Mereka berdua adalah paduan yang betul-betul eklektik.
Kresna tiga bersaudara. Ia anak kedua. Ayah dan ibunya di Lampung. Dulu ia sempat menetap di Jambi. Lalu ia pindah ke Yogyakarta dan kuliah di sana. Ia tinggal di Yogya dengan kakak dan adiknya. Natal tahun ini adiknya pergi berlibur di Palembang. Jadi Kresna hanya berdua saja dengan kakaknya di Yogya.
Malam Natal, 24 Desember 2011. Kakak Kresna berangkat ke gereja. Kresna sendiri menghabiskan malam itu di kasurnya. Tidur.
Pagi di hari Natal, Kresna bangun. Ia bersalam-salaman dengan saudara-saudara dekat, layaknya ketika Idul Fitri. Ia juga telah mengucapkan selamat Natal kepada ayah dan ibunya. Tapi ia tidak berangkat ke gereja.
Teman-teman saya dan Kresna banyak yang telah melepaskan agama warisan orang tua mereka semenjak kuliah. Itu terutama karena mereka telah jauh dari orang tua. Saya curiga Kresna serupa. Itu yang membuat saya bertanya padanya, “Dalam hati Mas Kresna apa merasa masih Kristen?”
Ia menertawakan pertanyaan saya. Tapi akhirnya ia menjawab. “Masihlah.”
“Gereja itu orangnya, bukan bangunannya,” tambahnya. Kata Kresna, tugas gereja—dalam konteks “orang” tadi—ada tiga: bersekutu, bersaksi, dan melayani. Bentuk bersekutu salah satunya adalah dengan menyelenggarakan misa di gereja. Padahal, menurutnya, bersekutu tak mesti melulu dilakukan di bangunan gereja. Bangunan gereja hanya mempermudah orang Kristen bersekutu, tapi bukan satu-satunya tempat untuk itu.
Teman saya yang lain adalah Ratih Fernandez. Ia berasal dari Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Larantuka terkenal dengan tradisi mengarak Patung Bunda Maria yang dinamai Tuan Ma.
Ayah Ratih menetap di Larantuka, sementara kakak-kakaknya sudah ke mana-mana. Ada yang jadi wartawan di Yogya, ada yang menetap di Jakarta bersama istrinya. Ratih sendiri indekos di Yogya semenjak ia kuliah.
Kebiasaan Natal di rumah Ratih layaknya keluarga-keluarga lain: misa malam, makan-makan, berdoa masing-masing, esoknya misa lagi. Setelah itu mereka pergi ke rumah kakeknya. Ia akan mendapat uang dari om dan tante-tantenya yang pulang dari rantau. Di malam hari, ia bersama sepupu-sepupunya bermain kembang api. Menurut Ratih, itu Natal yang biasa saja.
Buat saya, itu adalah Natal yang meriah. Apalagi dibandingkan dengan Natalnya Ratih di Yogya. Tahun ini mendingan, Ratih merayakannya bersama sang kakak. Tahun lalu ia hanya ditemani teman-teman kosnya.
Tahun ini Ratih menghadiri misa malam namun mangkir di misa pagi karena bangun kesiangan. Ia ingat, jika di rumah, ibunyalah yang biasa berteriak-teriak membangunkan orang-orang rumah untuk ke gereja. Terakhir ibunya melakukan kebiasaan itu yaitu ketika Natal tahun 2007. Sembilan hari setelah itu, ibu Ratih berpulang ke rumah Tuhan.
Terakhir adalah Ian. Dulu ia kuliah Sastra Inggris di Universitas Sanata Dharma (USD). Tahun 2010 lulus. Kini ia jadi wartawan KBR68H. ia adalah teman ateis saya yang pertama. Ketika menulis ini, saya ragu, apa ateis harus ditulis dengan “a” kapital seperti Katolik dan Islam?
Agama Ian dulu adalah Katolik Roma. Kata teman saya yang dapat cerita dari teman Ian semasa SMA, dulu ia adalah remaja gereja. Kata Ian, ia bergabung dengan Putra Putri Altar (PPA).
Kata Ian, ia jadi ateis sejak Agustus 2006. Wow, bulan dan tahun saja masih ingat. Tahun segitu dia sudah kuliah. Ateismenya gara-gara membaca buku teologi penciptaan. Hah? Teologi macam apa?
“Bukune neng perpus ana (ada),” katanya. Merujuk pada perpustakaan USD.
Saya jadi ingat kepada kata-kata Yosep Leribun, teman saya yang sekarang sudah alumnus STF Driyarkara. Dia pernah cerita, tahun pertama kuliah di sana, mereka yang notabene calon padri, justru diajari hal-hal yang bikin mereka meragukan agama mereka. Ternyata jalan seorang ateis dan pastor saling berhimpitan, ya, pikir saya.
Kata Ian lagi, seorang ateis yang masih baru memeluk ateismenya seringkali fanatik. “Nek wes suwe kadang adem,” katanya. Saya pikir, di sisi ini, ateisme nampak seperti agama lain yang Tuhannya adalah ketiadaan Tuhan.
“Kangen Natal nggak, Yan?” saya tanya dia.
Dia jawab begini, “biasa bae. Wong kerja ra prei. Ha-ha. Kadang ngelingna masa lalu. Tapi ra kangen blas, tapi seneng juga. Suasanane mandan ra monoton. Tapi kan ra khusus Natal.”
Sekali dua saya pernah tanya soal ateisme pada Ian. Dulu, ia juga pernah isi diskusi tentang ateisme. Karena saya tak punya teman ateis lainnya, saya tak bisa bandingkan dia dengan siapa-siapa. Tapi sepertinya dia memang fasih bicara soal keyakinannya ini. Sayangnya, lidahnya beku di depan orang tuanya. Katanya, orang tuanya tidak diberitahu soal ini. “Pacar bae kon nggolet sing seiman,” dia bilang. Payah betul.
Sejak saya kuliah, saya tidak pernah lihat Natal yang heboh. Ketika Natal, Universitas saya, Universitas Negeri Yogyakarta, tidak pernah sampai pajang poster “Selamat Hari Natal” segala—layaknya kebiasaan mereka saat Lebaran. Natal itu sepi-sepi saja. Natal yang sepi bikin saya ingat pada Ian. Apakah kalau Yesus dan Tuhan Bapa itu memang ada, mereka tetap akan mengisihi Ian? Ah, sepertinya sekarang Ian sendiri tidak peduli.
Natal Kresna dan Ratih juga sunyi. Tidak ada orang tua. Ratih bahkan jadi sendu, karena teringat ibunya.
Natal tahun ini memang sunyi, seperti biasa. Sunyinya mengingatkan saya pada lagu wajib Natal “Malam Kudus”.
Malam kudus, sunyi senyap…[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar