Dari mana lagi kalau bukan Google. |
YANG
jelas, makin tambah tahun, ramadan semakin dirayakan dengan sederhana.
Tahun
90-an, saat ramadan semua ibu pasti heboh masak yang enak-enak dan bapak-bapak
jadi royal mengeluarkan uang untuk beli macam-macam penganan buka puasa. Di
rumahku, karena ibu mualaf, dia seperti agak kagum dengan bulan puasa. Kagum
karena bapakku harus puasa sebulan tanpa ada libur kerja. Maka ia masak semua
makanan yang jarang-jarang muncul di hari biasa: sop tulang sapi, opor ayam,
kolak tiap buka puasa, ayam goreng, ikan kembung, wah, pokoknya enak-enak.
Apalagi ibuku ternak ayam potong. Wow, tiap beberapa hari sekali kami potong
ayam. Ini istimewa, karena saat-saat aku SD, makan ayam itu masih terhitung
mewah di keluargaku, hahaha.
Oya,
kadang-kadang kami beli durian. Ini juga buah mewah. Buka puasa dengan es
durian (durian+susu kental manis+es) adalah surga. Enak! Kalau sedang tidak ada
durian, minum es sirup frambozen campur susu kental manis putih (jadinya
berwarna merah muda) juga sudah luar biasa. Si Afi suka sekali es macam itu,
kalau aku lebih doyan es Nutri Sari.
Tahun
1997, sebelum krisis moneter, ibuku juga jualan kue. Ketika bulan puasa, aku
dan ibu keliling ke perkampungan yang banyak orang Melayunya dan menjajakan kue
dalam keranjang rotan. Ada apam ubi, molen, bakwan… Kalau ini kenangan yang
agak memalukan, karena aku sering terpaksa mampir ke rumah teman sebangkuku.
Bisa bayangkan, jualan ke rumah teman, menyapa dia, “eh, mau beli kue tidak?”
Waktu itu rasanya hina sekali, apalagi itu anak tidak naik kelas. Tapi
lama-lama kalau diingat malah jadi romantis.
Dan
jangan lupa. Setiap anak kecil pasti pernah curang saat bulan puasa. Dulu aku
dan Afi minum air putih tapi mengaku puasa sehari penuh.
Ramadan… ramadan…
dalam kepalaku ramadan identik dengan makanan saja.
Ketika
aku sudah SMA, ramadan makin sepi. Sudah jarang ada pasar dadakan yang jual
penganan lebaran. Lalu kebiasaan remaja yang aku tidak suka sama sekali:
ngabuburit. Apa asyiknya? Mending di rumah, siap-siapkan makanan sesuai selera
daripada keluyuran buang uang.
Tahun
lalu, ramadan di rumahku luar biasa sederhana. Kali ini bukan karena miskin
lagi. Kalau mau makan semewah apapun pasti bisa, tapi ibuku sudah jadi pemalas
dan anak-anak juga pemalas. Masak buka puasa cuma dengan teh manis. Makannya
juga biasa-biasa. Tidak ada kehebohan lagi. Namun yang bikin parah: tahun lalu
aku cuma puasa empat hari karena sedang krisis ideologi.
Pokoknya
tahun ini aku mau bikin ramadan yang ramai. Harus ikut puasa, apapun motifnya.
Aku akan ngoprak-ngoprak orang rumah supaya ramai-ramai bikin makanan
enak-enak. Dibayangkan
saja sudah asyik, ya!
NB:
Ramadan di Jogja yang paling asyik adalah ramadan tahun 2009. Kami sedang garap
buletin OSPEK, jadi selalu buka puasa sama-sama. Lalu salat Tarawih beberapa
kali, yang mengimami Habibie. Habis itu sahur sama-sama. Pokoknya seru!
19 Juni 2012
aku selalu suka gaya tulisanmu mima :)
BalasHapusTerima kasih, Meina :)
BalasHapuskoplak :D
BalasHapus