Sumber: operationworld.org |
GARA-gara
konsisten menyebut China /caina/ Metro Tv suka jadi objek guyonan. Sok Inggris.
Tapi
masalahnya tak sesederhana langgam yang sok nginggris. Pemerintah RRC ingin orang
tidak lagi sebut Cina /cina/, tapi China. Terlebih di Indonesia, sebutan Cina
bernada peyoratif. Ada orang Cina, totok maupun peranakan, yang kalau dikatai
Cina, agak naik emosinya. Tentu saja kalau yang menyebut begitu adalah orang
selain Cina.
Di kalangan orang Cina sendiri, sepanjang yang saya pernah bersinggungan dengannya, tidak pernah menyebut diri sendiri dengan Cina. Orang Tiociu menyebut diri dalam dialek Cina Tiociu sebagai teng nang. Dalam percakapan berbahasa Indonesia, kadang chinese /cainis/. Sedangkan yang non-Cina dalam bahasa Tiociu disebut huannang.
Persoalan
tentang mana yang mau dipakai penting juga buat penulis atau wartawan. Tulisan
mewakili opini penulis, sekalipun bukan tulisan opini. Penyebutan, pemosisian objek
tulisan, menggambarkan perspektif penulis atau medianya.
Ketika
Chávez wafat, kita bisa membaca perspektif media yang melansir berita tersebut
dari sumber berita yang dikutip. Ini disebut framing analysis. Kantor berita dari Amerika Serikat, yang tak akur
dengan Venezuela, sebagaimana dilansir Kompas,
menurunkan berita tentang inflasi gila-gilaan negara tersebut karena kebijakan Chávez.
Perbedaan
penyebutan RRC juga muncul di tiga media massa besar: Tempo menyebut Cina, Kompas
menyebut China, sementara Jawa Pos—yang
dekat dengan RRC—menyebut Tiongkok.
Saya
sendiri sejak lama memakai China karena ingin toleran. Soal nama saya anggap
genting karena bersangkutan dengan hak asasi dan identitas. Bukankah di era
posmo, beridentitas adalah hal yang tak mudah. Saya pikir, jika A ingin
dipanggil A, itu adalah identitas yang ingin ia bentuk sekaligus hak asasinya. Sebagaimana
nama Gabriel Garcìa Màrquez yang seharusnya ditulis seperti orang-orang
Kolombia menulisnya. Atau Murakami Haruki yang tak usah dibalik menjadi Haruki
Murakami karena mengikuti nalar Barat.[1]
Namun,
Minggu lalu, keyakinan saya goyah setelah membaca pendapat Remy Sylado yang diturunkan Tempo.co, 20 Oktober
lalu. Ada dua poin dalam keterangan Remy. Pertama, edaran dari Kedubes RRC
kepada media massa di Indonesia untuk menggunakan China alih-alih Cina “merupakan
pemaksaan yang bersifat politis”. Kedua, China dengan lafal /caina/ merusak
bahasa Indonesia dan pemakainya bersikap “sok Inggris”. Lagi pula, kata Cina
ada dalam kosa kata penutur asli di RRC.
Berhadapan
dengan kalimat “pemaksaan yang bersifat politis” tentu membuat ngeri. Lalu,
mana yang harus dipilih?
Menimbang persepsi
Lalu
bagaimana persepsi orang RRC sendiri, yang tidak berkepentingan dengan
kebijakan politik, soal pemakaian nama tersebut?
Fan
Yu, mahasiswa Yunnan Nationalities University yang tengah kuliah bahasa
Indonesia di UNY, mengatakan, penyebutan Cina adalah bentukan Jepang. Katanya,
ketika okupasi Jepang ke RRC semasas Perang Dunia II, Jepang turut mengubah
sejarah RRC. Intervensi ini juga menyangkut nama. Katanya, nama Cina merupakan
bagian dari bentukan Jepang tersebut. Dengan begitu, nama Cina mengingatkan pada
duka lama yang tidak disukai di RRC.
Hubungan
RRC-Jepang sampai saat ini memang masih panas-dingin, sepanas hubungan
Indonesia-Belanda kalau sudah menyinggung-nyinggung kasus Rawagede.
Kunjungan pejabat Jepang ke Kuil Yasukuni—yang
didirikan pemerintah Jepang untuk menghormati “pahlawan” dan korban semasa PD
II—misalnya, selalu menimbulkan reaksi marah dari RRC dan Korea Selatan, dua
wilayah yang diagresi Jepang dalam PD II. Belum lagi soal kepulauan di Laut
China Timur dan kedekatan RRC kepada
Korea Utara yang selalu bisa memanas sewaktu-waktu.
Fan
Yu sendiri menambahkan, sesungguhnya orang awam juga tak mengerti betul sejauh
mana kebenaran bahwa nama itu bentukan Jepang.
Keterangan
Fan Yu ini mengisi bolong dalam pendapat Remy. Sejauh ini, ternyata memang
tidak ada yang mengulas alasan RRC yang mempermasalahkan soal nama ini.
Benar-tidaknya soal Cina adalah nama bentukan Jepang, saya rasa kita mesti
toleran saja. Fan Yu memang tidak benar-benar tahu, tapi jika ia mengamini
bahwa men-Cina-kan dirinya setara dengan menghina bangsanya—sebagai taklukan
Jepang suatu ketika dulu, maka menyebut negaranya Cina berarti bersikap
intoleran.
Penyebutan
atau nama memang bukan problema sederhana. Di Indonesia, menyebut G30S/PKI, G30S,
Gestapu, atau Gestok saja sudah menujukkan opini kita soal siapa dalang, siapa
korban. Atau soal penyebutan “Cina” kepada WNI keturunan maupun orang China
yang sudah dinaturalisasi. Dalam Hoakiau
di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang memilih menyebut mereka hoakiau
menyediakan ruang tersendiri untuk penjelasan penamaan tersebut. Sebab,
nama-nama itu punya konsekuensi (yang amat bisa menjadi “politis”).
Jadi
kita mau pakai apa?
Fan
Yu punya usul, dan saya sepakat. Kenapa tidak kita sebut Tiongkok saja? Atau
Tionghoa? Dulu, kita bahkan lebih akrab dengan Tiongkok. Dan sampai sekarang,
di mana-mana masih ada yang menyebut Tionghoa. Keduanya bukanlah nama yang
telah arkaik.
Bicara
nama mungkin terkesan mengawang-awang. Tapi nyatanya, seperti Amin Maalouf
siratkan dalam In The Name of Indetity,
identitas kita bukanlah darah apa yang mengalir. Ia adalah apa yang dibentuk
dan diperjuangkan.
Lalu
apa namanya ini, ketika di kelas perkuliahan mahasiswa-mahasiswa Yunnan itu,
dosen (orang Indonesia) konsisten menyebut Cina dan para mahasiswanya kukuh
melafal /caina/? Mungkin perang identitas; mungkin cuma salah paham yang belum
ditengahi dialog.[]
NB:
Ini
menarik: saat melihat sekilas film Confusius, Fan Yu menunjukkan bahwa Chow Yun
Fat dan Zhou Xun sebenarnya bermarga sama (周) tapi ditulis dalam ejaan yang berbeda di aksara latin. Karena sudah
lebih sering bermain untuk film Hollywood, marga Yun Fat lebih “dibaratkan”
untuk memudahkan pengucapan.
[1] Soal penulisan nama
dengan tanda diakritiknya, saya terpengaruh penjelasan Kundera soal sejarah
Eropa Barat dan Eropa Timur, ada di novelnya, La Lenteur.
Apik
BalasHapussaya lebih setuju memakai nama China karena nama tsb yang diakui secara internasional. soal rasis atau tidak itu soal tendensi dan penggunaannya dalam 1 kalimat utuh.
BalasHapussoal China menjadi Cina adalah buatan Jepang, saya kira ini soal pelafalan saja. Jepang kan menyebut China dengan Sino. Mungkin ini akibat propaganda di Sino-Japanese War I dan II.