Plato dalam tunik. Pakaian pria berupa jubah dan rok digusur oleh celana di dunia modern. Di Indonesia, yang tersisa hanya sarung. (Dok. http://www.sacred-texts.com/cla/plato/) |
oleh Prima S. W.
“But
fashion was perhaps always related to power in some way or other.”—James
Siegel
FASHION mencakup busana dan pelengkapnya
tak hanya sebagai penutup tubuh. Menurut Afif Ghurub Bestari, dosen Jurusan
Pendidikan Teknik Busana, FT UNY, yang disebut fashion adalah
ketika busana membuat penampilan bergaya.
Ciri paling khas dari fashion adalah perubahannya.
Jilbab, misalnya, tiba-tiba banyak dipakai sejak tahun 2007-2008. Variannya
berubah-ubah. Mulai dari jilbab sederhana yang bisa langsung dikenakan, jilbab
langsung pakai dengan tali pengencang di leher hingga jilbab segitiga. Gaya
yang dipakai aktris juga menular, seperti tren jilbab “Marshanda”. Di tahun
2013, gaya berjilbab ala timur tengah yang gantian jadi tren, misal jilbab
berlapis kain yang menggantung di kepala hingga dada dan turban, serta busana
kaftan.
Tren berjilbab, atau istilah lainnya: hijab, menciptakan citra
baru atas perempuan Indonesia. Citra baru ini sepadan dengan citra perempuan
Indonesia sebelumnya, seperti perempuan berkemben atau berkebaya khas Mooï
Indie (Kelik Prirahayanto, “Gerak Merayap Penutupan Aurat: Catatan
Dari Foto-Foto Masa Lalu”). Di titik ini perubahan gaya berbusana terasa nyata.
Jilbab menjadi gaya baru yang populer seiring dengan makin
religiusnya masyarakat. Ini bukan sesuatu yang terjadi tanpa sebab. Dalam
diskusi tentang fashion ideology di Impulse, Yogyakarta,
Antariksa, pengkaji kebudayaan, mengatakan bahwa berkah minyak bumi dan
penanaman modal di tahun 1970-an di Indonesia membuat Orde Baru semakin kuat.
Kekuatan ini turut menggeser kekuatan Islam. Revolusi Iran yang mengubah sistem
monarki Iran menjadi republik Islam berimbas sampai ke Indonesia. Salah satunya
menginspirasi untuk menunjukkan identitas agama lewat pakaian sebagai
pernyataan politik terhadap Orba.
Namun, Orba di tahun ’70-an hingga awal ’80-an adalah kekuatan
yang disokong militer serta ideologi yang diizinkan hanya satu, yakni Pancasila
yang diistilahkan “asas tunggal”. Kekuatan Islam direpresi dengan menyatukan
partai Islam hanya dalam satu wadah, PPP, dan melarang penunjukan atribut
keagamaan bagi siswa sekolah umum. Oleh karena itu, jilbab tak pernah
benar-benar menjadi populer.
Diponegoro, bangsawan Jawa dalam jubah dan surban. Jubah pernah menjadi pernyataan sikap anti-VOC. (Wikipedia Commons) |
Dibandingkan dengan pemakaian jilbab sebagai perlawanan
politis di masa Orba, populernya jilbab saat ini dianggap hanya sebagai
bentuk fashion yang menguntungkan bagi industri saja. Namun,
apa yang orang pakai mewakili gagasan yang lebih besar. Dari bervariasinya
jilbab yang dikenakan antarperempuan saja masih bisa dibaca pernyataan
tertentu. Seberapa panjang jilbabnya? Apa warnanya? Adakah telapak kaki dan
tangannya juga turut ditutup? Adakah ia menyertakan cadar? Seberapa longgar?
Ukuran-ukuran tersebut mempunyai arti.
Dalam Fashion as Communication, Malcolm Barnard
menyatakan bahwa busana kadung dicap sebagai bahasan “kelas dua”. Dengan
menganggap pembicaraan soal busana hanyalah berputar-putar di wilayah kain,
cara menjahit, potongan, gaya, cara membuat diri menarik, dan lainnya, potensi
pembacaan lainnya bisa terabaikan. Padahal busana kerap kali berkaitan dengan
subjek lainnya, seperti politik—sebagaimana ditunjukkan dalam kasus busana
muslim.
Pengaturan berbusana yang merupakan implikasi dari ideologi
lainnya adalah pelarangan celana ketat oleh Sukarno. Selain celana ketat,
yang juga dilarang adalah rambut gondrong, acara dansa, dan musik rock
and roll. Gaya rock and roll dianggap sebagai bagian dari
budaya Barat yang bermuatan nekolim alias neokolonialisme dan imperialisme.
Baginya, bergaya demikian sama saja dengan bersikap kontrarevolusioner.
Sukarno dan identitasnya, peci. Penutup kepala ini ia nyatakan sebagai simbol nasionalismenya. (Dok. Istimewa) |
Fashion memang tak hanya soal etika dan
estetika. Dalam fashion, juga bisa terbaca arah kebijakan dan
kesadaran politik satu bangsa. Kees van Dijk menunjukkan pengaturan berpakaian
oleh pemerintah kolonial di Hindia Belanda yang membuat pelajar-pelajar Jawa
tetap berbusana Jawa dan bertelanjang kaki meski bersekolah di sekolah Belanda
(James Siegel, “Comptes Rendus Outward Appearances”, Jurnal Archipel no.
61, Paris, 2001).
Pada akhir abad IX dan awal abad XX di Hindia Belanda,
berpakaian Barat adalah usaha menjadi Barat, yang juga berarti menjadi bagian
dari modernitas. Dalam roman Salah Asuhan (1928), misalnya. Tokoh
utamanya, Hanafi, adalah seorang anak Minang yang modern karena sejak kecil
diasuh keluarga Eropa dan dididik di sekolah Belanda. Ia mengakuisisi nilai
Barat dalam dirinya sekaligus menolak unsur pribumi dari keluarganya, yakni
adat Minang, dengan cara selalu berpakaian Barat, berbicara dalam bahasa
Belanda, serta bergaul dengan orang-orang Eropa. Puncaknya, ketika menikah, ia
menolak memakai pakaian adat dan memilih memakai smoking, setelan
dengan jas berbahan beludru atau sutra.
Di masa itu, kata van Dijk, mengadopsi cara berpakaian Eropa
merupakan ekspresi dari simbol emansipasi dan penentangan kepada Belanda
beserta aturan berpakaian mereka. Namun kasus Hanafi adalah hal lain. Pakaian
Baratnya adalah jalannya untuk menyaru dalam kerumunan bangsa Eropa, sebab,
pada akhirnya ia memutuskan untuk meminta kepada Pemerintah untuk disamakan
haknya dengan orang Eropa.
Kesamaan dari pernyataan van Dijk dan situasi Hanafi adalah
bahwa berbusana bukan kegiatan yang “sekadarnya”. Jean Gelman Taylor
dalam The Social World of Batavia menyatakan, perubahan busana
menunjukkan perubahan cara orang menghidupi dirinya (lewat profesi), perbedaan
hak dan kewajiban, serta perbedaan status sosial. Di Batavia tahun 1678, Taylor
menulis, berbusana diatur untuk menunjukkan derajat profesi.
Seorang istri atau janda dari gubernur jenderal, anggota
dewan, atau hakim pemerintahan VOC boleh mengenakan kalung berlian, jam
bertatahkan berlian, kota sirih dari emas, kalung mutiara kelas satu, dan
perhiasan mahal. Di bawahnya, istri-istri kepala pemerintahan di daerah boleh
memakai mutiara, asal harganya tak lebih dari 6000 koin perak (Taylor, 2009:67-68).
Di Batavia, peraturan berbusana yang terutama bertujuan untuk
membedakan orang pribumi dan orang Eropa semakin kaku seiring bertambahnya
waktu. Terlebih sejak kedatangan Inggris. Perlu diingat, Batavia sebelum tahun
1800 adalah wilayah yang diatur oleh VOC, sebuah perusahaan dagang, bukan
negara. Demografinya masih majemuk, bukan didominasi orang Belanda sebagaimana
yang sering digambarkan dalam film-film. Populasi Batavia terdiri dari orang
Mardijker (campuran Portugis dan India), Cina, Belanda, penduduk asli, dan
orang asing lainnya.
Orang-orang Mardijker berbahasa Portugis campuran. Di mata
orang Eropa yang baru tiba di Batavia, dandanan kaum kaya ini tampak aneh:
paduan antara busana mewah dan segala atributnya yang berlebih-lebihan namun bertelanjang
kaki (Taylor, 2009:48). Perempuan-perempuan Mardijker/berdarah Eropa-Asia juga
berpakaian dan bertingkah sama dengan pribumi. Mereka berkebaya dan berkain,
duduk di lantai, tak memakai alas kaki, serta makan sirih. Ketika itu adalah
masa di mana pakaian tidak ditentukan oleh ras. Ini karena sejak kecil mereka
diasuh oleh pembantu-pembantu pribumi.
Perubahan ini bermula dari Inggris, yang berkuasa pada
1811-1816. Di tahun 1816, orang Eropa terdidik yang dibesarkan di Eropa makin
banyak di Batavia. Untuk melayani kebutuhan dan identitas Eropa mereka,
pemerintah Inggris membuat surat kabar mingguan, teater, dan klub dan
perkumpulan. Semuanya disertai dengan perjamuan dan acara dansa dengan sopan
santun Inggris. Dalam situasi ini, yang sopan adalah bahasa Inggris atau
Prancis. Sementara bahasa Melayu, busana dan kebiasaannya, serta kebiasaan
memiliki budak yang lumrah dalam kehidupan orang mestiza (orang berdarah
campuran Eropa dan Asia) mulai dipertimbangkan ulang. Ini berbeda dengan sikap
pemerintah VOC sebelumnya (Taylor, 2009:102).
Dibanding perempuan, Van Dijk menunjukkan, di Hindia Belanda
awal abad XX, justru pakaian prialah yang banyak menarik perhatian. Di tahun
1890-an, para lelaki mulai berpakaian Barat sebagai bentuk politik identitas.
Bersamaan dengan itu perempuan-perempuan berstatus Eropa yang seumur hidup
tinggal di Hindia Belanda juga mulai memakai busana Eropa. Rok dikenakan siswi
sekolah di tahun 1920-an, sementara perempuan dewasa baru mulai memakainya di
tahun 1950-an (Siegel, 2001:193).
Yang agak seram adalah kisah sandal jepit, bagian dari busana
pelengkap, yang dikisahkan James Danandjaja. Enak dipakai dan harga yang murah
membuat sandal banyak dipakai guru sekolah dan dosen di masa Sukarno. Setelah
peristiwa 1965, orang menjadi takut memakai sandal karena diidentikkan dengan
komunis. James pernah menjumpai sebuah poster yang menyatakan bahwa siapa yang
memakai sandal adalah anggota PKI (Siegel, 2001:195).
Lalu mengapa busana nasional Indonesia adalah kebaya yang
merupakan simbol budaya tradisional dan jas yang merupakan penanda modernitas
Barat? Tesis Taylor: lewat busananya, perempuan dibuat berjarak dengan
modernitas dan diposisikan sebagai penjaga jatidiri nasional (national
essence), sementara lelaki dan modernitas menjadi pengganti penguasa
kolonial yang meneruskan masa depan bangsa.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar