24 Juli 2014

If I Feel

Sadar tidak, sih, di serial "Upin Ipin", Meimei itu selalu disinisin sama Mail? Anehnya, mereka selalu kelihatan berdekatan. Duduk juga sebelahan. Kalau main, berdirinya juga sebelahan. Dan Mail juga suka sekali menimpali Meimei. Hahaha. (Demam karena akhir-akhir ini selalu nonton "Upin Ipin" di YouTube.)


"So I hope you see that I
Would love to love you"

—The Beatles, “If I Feel”

PERTEMUAN pertamanya dengan lelaki itu begitu puitik, membuatnya merasa bergetar. Ia bukan pencerita yang baik, tetapi ketika ia menuturkan kisah pertemuan itu pada kawannya, kawannya dapat merasai keindahan itu. Lelaki itu membuatnya merasai tremendum. Ia seolah menjadi seniman karena cinta.

Mereka bertemu suatu malam, di sebuah warung kopi tempat perkumpulan mereka biasa mengadakan acara. Ia tengah duduk bersama teman-temannya mengelilingi meja. Lampu bohlam bertudung menggantung di atas meja, memerangkap sinar temaram hanya jatuh di wajah-wajah mereka yang berada di bawahnya. Suasana agak gelap.

Meja-mejanya adalah meja persegi yang dikelilingi empat kursi, berderet-deret di sepanjang lorong. Saat seseorang melintasi lorong, ia seperti timbul tenggelam dalam terang temaram dan gelap. Melewati satu meja, wajahnya tampak; lewat satu meja sosoknya menghilang; lalu muncul lagi, lalu hilang lagi. Seperti sesosok hantu atau orang yang sedang berenang.

Dengan cara begitulah si lelaki tertangkap matanya, malam itu. Ia sedang duduk menghadap lorong ketika dia muncul dari pintu seperti matahari terbit.

Dia melintasi lorong dengan rokok di bibir. Wajahnya timbul tenggelam. Ia hanya melihat separuh wajahnya: sebuah profil. Sepanjang malam itu, dia adalah sosok paling rupawan yang muncul di tempat itu. Dia menjelma menjadi hantu yang mencolok. Ia melihatnya, dan kemudian tak bisa melupakan profilnya. Sosoknya lalu hilang ditelan gelap dan tembok.

Setelah itu, ia agak gelisah. Sebenarnya ia ingin beranjak dan mencari lelaki itu. Mungkin berkenalan atau memandang saja sampai puas dari kejauhan. Tapi ia tahu, lelaki itu adalah seorang lain dalam perkumpulan mereka. Ia tak perlu buru-buru. Buru-buru dalam beberapa hal bukan strategi jitu.


***

Sampai hari ini, mereka tidak pernah berkenalan. Mereka mengenal begitu saja; dengan sendirinya. Mungkin dengan dia saja ia tak berkenalan nama sembari berjabat tangan, sebagaimana yang ia lakukan ketika baru bergabung dengan perkumpulan itu.

Nama dia tak asing baginya. Ia sudah mendengarnya ketika datang di sebuah rapat, semasa masih mencoba mengenal perkumpulan tersebut. nama yang biasa saja. Rupanya mereka berada di sayap yang sama dalam perkumpulan tersebut. Mereka punya grup perbincangan di Facebook. Ia mengeklik akun Facebooknya. Foto profilnya norak, membuatnya menyimpulkan bahwa lelaki ini cuma common boy. Ia tak tertarik. Sama sekali.

Tentu saja itu sebelum ia melihat dia memasuki ruangan itu dengan rokok menggantung di bibirnya malam itu. Dalam temaram cahaya yang memerangkap lelaki itu hanya dalam profil yang baginya tak terlupakan.

Apakah ia jatuh cinta saat itu? Apakah ia jatuh cinta pada pandangan pertama? Ia tidak mau buru-buru memikirkan itu. Momen serupa ini terakhir kali ia rasakan bertahun lampau. Ia ingin mengecapnya lagi. Merasakan getar-getar manis, degup bimbang, dan semua omong-kosong-ketika-menyukai-seorang-lelaki lagi kali ini. Lagi pula, mereka belum berkenalan. Adakalanya buru-buru tak baik dilakukan.  


***

Di suatu malam, keduanya buka-bukaan.

“Aku suka sejak malam itu, hehehe.”

Tawa di akhir itu adalah tawa malu ketika membuat pengakuan. Ia selalu melakukannya; ia selalu malu, meski sudah berkali-kali jatuh cinta. Pengalaman bukan membuatnya menghapus kebiasaan itu, justru menjadikannya ahli. Ahli dalam tertawa ketika membuat pengakuan. Tidak bisakah ia serius sedikit (dengan tidak tertawa) ketika mengatakan sesuatu yang penting macam itu?

Namun lelaki itu juga tertawa. Dia pasti malu juga mendengar sesuatu yang membuat kepalanya serasa membengkak. Ia tahu, dia pasti merasa besar kepala. Tapi ia tak peduli. Penting untuk membuat seseorang tahu betapa ia dicintai.

“Aku juga menyukaimu.”

Ia tidak bisa tertawa lagi saking terkejutnya.


***

Tentu saja ia terkejut mendengar sesuatu yang tidak pernah ia sangka. Baginya, lelaki itu lebih seperti manusia tanpa impresi, tanpa kepribadian. Maksudnya begini: ia begitu misterius. Sementara orang berbagi kisah ini dan itu, ia hanya diam, mendengarkan serta sesekali menimpali. Kita hanya bisa menduga dua hal. Pertama, ia merahasiakan semua. Kedua, ia tak punya apa pun untuk diceritakan.

Mungkin dia tipe yang pertama, seorang perahasia, penyembunyi. Langgam tubuhnya juga bicara serupa. Dalam pertemuan-pertemuan perkumpulan, dia lebih suka duduk di sudut. Kepalanya tidak menunduk, tapi merunduk. Seperti burung. Seperti menyembunyikan wajahnya; seperti bersembunyi dari keramaian; seperti menyamar; seperti sedang mencangkung dalam ceruk untuk berlindung; seperti sedang menyelinap.

Dalam percakapan, ia adalah ahlinya menimpali. Kepadanya, lelaki itu selalu menimpali dengan sinis. Kadang meremehkan, sering mengejek. Ia tidak terlalu kesal dengan sikap tersebut. Namun, sinisme itu menjadi tameng baginya untuk menjadi lebih akrab. Kadang ia merasa, ia menyukai seorang lelaki pembenci perempuan.

Pernah seorang kawan di perkumpulan berkata padanya bahwa tampaknya lelaki itu menyukainya. Kawan itu tidak dapat menjelaskan mengapa ia berkata demikian. Namun, sekali pun ia bisa menjelaskan, baginya itu adalah bualan paling omong kosong yang pernah didengarnya.


***

Suatu hari, lelaki itu mengiriminya pesan pendek, mengajak menonton film. Perempuan itu menjawab dengan penuh penyesalan, “Aku tidak bisa.”

Tapi kemudian ada ajakan serupa di lain waktu. Berdua. Menonton film. Di bioskop.

Ia membacai ajakan itu beberapa kali. Ia tak percaya. Ia mau gila. Ia curiga ini kebohongan besar. Ia begitu takut ini adalah kelakar bermutu rendah.

Namun, ia punya siasat. Ia membalik ajakan yang sarat nada bercanda itu menjadi tantangan. “Aku tantang kamu untuk benar-benar berani mengajak aku nonton.”

Mungkin, di dua tempat yang berbeda, keduanya tengah tertawa senang. Semesta tengah bersekutu untuk menciptakan kebahagiaan sederhana bagi mereka. Iya, sederhana: hanya jalan berdua.

Perempuan itu menunggu jemputan dengan rasa canggung. Lelaki itu, seperti biasa ketika pertemuan-pertemuan perkumpulan, datang terlambat. Tapi yang penting ia datang.

Sisa malam itu dihabiskan dengan duduk tanpa sekali pun pernah bersentuhan kulit. Mereka sama-sama kagok meskipun obrolan mengalir dengan lancar. Ada tameng yang jelas membatasi keduanya, bahwa mereka hanyalah dua teman yang sedang keluar bersama. Itu saja. Tidak boleh lebih. Tidak boleh ada gestur berlebihan yang salah; yang bisa membuat salah satu undur diri secepatnya. Itulah yang ada di kepala keduanya.

Sebenarnya, sikap malu-malu yang canggung itu membuat perempuan itu sangat bahagia. Ia menyukai debar malu-malu itu, degup bimbang itu.


***

Tameng itu terbuat dari pasir yang pelan-pelan runtuh disapu ombak bernama waktu. Lelaki itu masih sinis, ketika berdua maupun beramai-ramai. Tapi mereka merasa lebih akrab dan dekat. Suatu malam mereka bicara ke sana kemari tak tentu arah. Perempuan itu kemudian tak tahan, ia buka-bukaan. Lelaki itu juga.

Kalau kemudian keduanya saling tahu bahwa mereka sama-sama menyukai, inilah yang namanya semesta bersekutu untuk membuat mereka bahagia.


***

Lelaki dingin itu adalah N. Kalau ada yang perlu diingat dari dirinya, itu satu: ia kurang ajar.

“Suka kok selalu sinis?” Perempuan itu bertanya dengan agak merengut.

“Itu caranya supaya beda sendiri.” Dengan gampangnya dia tertawa saat bilang begitu. Kurang ajar sekali. Tidakkah dia tahu bahwa kelakuannya itu membolak-balikkan perasaan orang lain.

Tapi kalau perempuan itu mau mengaku, sebenarnya sinisme kurang ajarnya itu adalah hal lain yang membuatnya menyukai N. Menyukai seseorang bukan laku sinkronis. Laku menyukai tersusun dari berbagai hal dalam dirinya, dari berbagai kejadian, dari pusparagam impresi.

Hari ini, perempuan itu berani bilang, ia mencintai lelaki itu. Mencintai butuh alasan, dan alasan-alasan itu terus bertambah tiap harinya. Ada kalanya lelaki itu mengesalkan, membuatnya ingin marah, tetapi ia masih bersamanya karena ia mencintainya. Mungkin ini semacam dialektika mencintai.

Duh, perempuan itu mulai mengeluarkan istilah rumit. Padahal ia sebenarnya cuma mau membuat tulisan sederhana yang nostalgik tentang masa lalu mereka. Cuma mau menyiratkan dengan tulisan itu, bahwa ia mencintai lelaki itu. Cuma mau mengabarkan, bahwa karena ia mencintai lelaki itu, ia turut bahagia. Bahagia sekali. Karena hari ini, lelaki yang ia cintai tengah berulang tahun yang ke-23.

Ia ingin lelaki itu segera membaca semua yang ingin ia sampaikan sebelum tanggal berganti. Ia bangun agak cepat hari ini, mencuci muka, membuka laptopnya, menunda semua pekerjaannya penting, dan mulai mengetik.


Pertemuan pertamanya dengan lelaki itu begitu puitik….[]


Yogyakarta, 24 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar