Catatan: tulisan ini dibuat untuk Kolom Media Literasi.co edisi pertama, Juli 2014. Media ini belum selesai pembangunan situs webnya.
Oleh Prima S. W.
Juli ini, edisi perdana media kooperasi Literasi.co
yang dikelola Gerakan Literasi Indonesia dirilis. Dari sekian banyak portal
berita daring yang terus bertumbuhan tiap hari, apa yang membuat kami berbeda? Mengapa
kami perlu ada?
KOPERASI
adalah diksi yang populer, tapi bukan tema pembicaraan yang familier. Asosiasinya
cenderung terperangkap ke citra toko kelontong milik bersama atau lembaga
simpan-pinjam. Ia, bagi para awam, tidak pernah dibayangkan sebagai gerakan.
Itulah
salah satu kesulitan, sekaligus tantangan yang menarik untuk memperkenalkan
media kooperasi ke khalayak. Apakah ia media yang dikelola sebuah koperasi?
Sebelum
menjawab pertanyaan itu, justru ada hal lebih penting untuk diurai: mengapa
kooperasi? Iya, kooperasi, dengan dua “o”.
Sebab
koperasi telah terperangkap pada citra toko kelontong atau lembaga
simpan-pinjam, bukan gerakan yang mencoba menyelesaikan masalah-masalah besar
di luar konteks ekonomi. Koperasi dalam Kamus
Bahasa Indonesia (2008) adalah “perserikatan yang bertujuan memenuhi
keperluan kebendaan para anggotanya dengan cara menjual barang-barang kebutuhan
dengan harga murah (tidak bermaksud mencari untung)”—citra kita tak salah
rupanya.
Tapi
itu bukan citra yang tepat untuk kooperasi dengan dua “o”; kooperasi yang tidak
kehilangan semangat gerakannya. Dengan kelebihan satu “o”, ia justru bisa jadi
bentuk yang lain, yang punya daya yang lebih kuat, lebih leluasa, dan partisipatif.
Frasa
kooperasi diambil dari Menindjau Masalah
Kooperasi (1954) karya Mohammad Hatta, salah satu buku yang dikaji semasa
penggodokan ide kooperasi di forum diskusi Gerakan Literasi Indonesia (GLI).
Artinya ‘kerja sama’. Frasa ini dipilih secara sadar oleh GLI (Batubara, 2013)
dengan alasan:
Pertama,
dalam konteks Orde Baru, lembaga-lembaga koperasi sudah dikendalikan oleh rezim
birokratis-militeristis-otoriter yang membuatnya bukan lagi pelayan kepentingan
anggotanya, melainkan lembaga ekonomi yang koruptif sekaligus mesin
ideologisasi negara Orde Baru.
Kedua,
setelah Reformasi, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian mengerdilkan
fungsi koperasi hanya sebagai lembaga ekonomi, dengan tiga pilihan bentuk: koperasi
produsen, koperasi konsumen jasa, dan koperasi simpan-pinjam. Pendefinisian ini
menghilangkan semangat gerakan yang juga ruh dari koperasi. Sekali lagi
ditekankan: koperasi memiliki semangat gerakan. D. N. Aidit dalam Peranan Koperasi Dewasa Ini (1963) bahkan
membayangkan koperasi sebagai alat perjuangan kelas.
Pergulatan
konsep media kooperasi ini dimulai sejak medio 2013. Ketika tulisan ini dibuat,
datang kabar baik. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan atas UU
Perkoperasian tersebut pada 28 Mei 2014 dan membatalkan kekuatan hukum UU No.
17 Tahun 2012 karena bertentangan dengan UUD 1945.
Salah
satu hakim anggota, Maria Farida Indrati, mengatakan, undang-undang itu
mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial serta mengesampingkan
modal sosial sebagai ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas
pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945. Koperasi menjadi sama dan tidak berbeda
dengan perseroan terbatas dan kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas
pelaku ekonomi khas bagi bangsa yang berfilosofi gotong royong (antaranews.com, 28 Mei 2014).
Kabar
baik itu memang masih dengung dari langit, belum turun ke bumi. Kita masih
harus menunggu hingga DPR membuat UU pengganti. Selama penantian itu, UU lama
ini tetap berlaku. Namun, keputusan MK tersebut menjadi sinyal penting untuk
mengembalikan kooperasi kepada salah satunya khitahnya, yakni sebagai gerakan.
Di
sinilah media kooperasi dimaksudkan. Ia diadakan untuk mengejawantahkan khitah
kooperasi sebagai gerakan. Nama “kooperasi” dibangkitkan kembali untuk menjadi konsep
pilih tanding bagi konsep koperasi dengan kelemahan-kelemahannya di atas, tanpa
bermaksud mengecilkan peran dan eksistensi koperasi bagus dan progresif yang
telah dan saat ini hidup. Dengan media kooperasi, sebagai salah satu
praksisnya, kita akan belajar mengenal kooperasi sebagai gerakan.
Apa itu media kooperasi?
Media
kooperasi, sederhananya, adalah media yang dikelola secara kooperatif. Dalam
hal pendanaan, kooperatif berarti ada sekumpulan orang banyak yang membiayai
dan menjadi pemiliknya. Istilah media kooperasi dipilih, alih-alih kooperasi
media, karena istilah yang kedua memungkinkan diasosiasikan dengan sekumpulan
media yang bergabung menjadi kooperasi. Keduanya tepat, tetapi media kooperasi
lebih cocok.
Ide
tentang media yang dikelola dengan prinsip kooperasi bukan sesuatu yang baru.
Sejumlah nama media yang berbentuk kooperasi adalah: Associated Press yang dimiliki bersama oleh 1500 surat kabar harian
di Amerika Serikat; Co-operative News
di Inggris; Exelcior di Meksiko,
menjadi kooperasi sejak berdiri pada 1917 hingga 2004; Le Monde di Prancis,
sejak berdiri pada 1944 hingga 2010 berbentuk kooperasi; Die Tageszeitung di Jerman, menjadi kooperasi sejak Juni 1992 hingga
saat ini; Il Manifesto di Italia; dan Media
Co-op di Kanada.
Media
kooperasi juga sudah ada di Indonesia. Dalam diskusi buku Media Kooperasi &
Kooperasi Media, 19 Mei lalu, Muhidin M. Dahlan, pengarsip, mengatakan, Harian Rakjat dan Trubus adalah media dengan pembiayaan bersama. Harian Rakjat dibiayai dari iuran semua anggota Partai Komunis
Indonesia.
Konsep
media kooperasi menjadi sangat relevan hari ini karena dua krisis yang tengah
dihadapi media cetak konvensional (Boyle, 2013: 1-5). Krisis pertama adalah
tiras yang terus turun seiring datangnya era internet. Sementara krisis kedua
adalah lunturnya kepercayaan pada media karena akumulasi kepemilikan di
segelintir orang. Pendapat Boyle ini bertolak dari berbagai kasus matinya media
lokal di Inggris.
Di
Indonesia, media kooperasi diusung untuk menjawab persoalan konglomerasi media.
Kemunculan fenomena konglomerasi media atau kepemilikan jaringan media oleh
segelintir konglomerat di Indonesia berakar pada pemberlakukan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP) di masa Orde Baru. SIUPP menjadi kunci utama
perkembangan pasar media di Indonesia (Utomo, 2013).
Industri
media berkembang sejak akhir 1980-an dan menjadi sangat pesat sejak Reformasi
(Nugroho, Putri, dan Laksmi, 2012). Hari ini, sebagian besar informasi yang
dikonsumsi 240 juta penduduk Indonesia disuplai oleh 12 kerajaan media. Angka
paling mencolok ada pada Jawa Pos Group yang memiliki 20 stasiun televisi dan
171 media cetak, serta Kelompok Kompas Gramedia dengan 10 stasiun televisi dan
88 media cetak.
Tabel. Grup media di Indonesia, jumlah media, sebaran
bisnis, dan pemiliknya. (Sumber: Nugroho, Putri, dan Laksmi, 2012; Lim, 2012)
(Klik kanan, open link in new tab, untuk melihat gambar.)
Dominasi
grup-grup media tersebut bisa dimaklumi sebagai bentuk divergensi bisnis
belaka. Dalam bisnis, pengusaha didorong untuk senantiasa mengembangkan
usahanya untuk menjadi besar dan divergen. Namun, dalam bisnis media (massa),
bisnis tidak bisa dihitung semata-mata bisnis. Ia juga mengemban tugas pelayanan sosial. Apalagi bila dikaitkan dengan pers
sebagai pilar keempat demokrasi.
Konglomerasi
media berdampak buruk bagi iklim demokrasi. Setidaknya, ada lima dampak buruk
dari konglomerasi media (Buku Putih Media
Kooperasi Literasi.co, 2014, tidak dipublikasikan), yakni: : (1)
pemberitaan tidak beragam; (2) terabaikannya agenda publik, berganti agenda
yang dikendalikan oleh kepentingan pemilik modal dan selera pasar; (3)
masyarakat hanya berfungsi sebagai konsumen media, tidak berhak berpartisipasi
dalam menentukan isi media; (4) merosotnya mutu jurnalisme karena otonomi
redaksi dicampuri dengan kepentingan pemilik modal. Sebagian besar berita yang
muncul setiap hari adalah berita yang mendukung kepentingan modal sekaligus
melanggengkan kepentingan bisnis media itu sendiri; dan (5) minimnya kebebasan
berserikat bagi pekerja media karena pemilik media takut faktor produksinya
direbut oleh serikat pekerja media.
Poin
nomor 1 hingga 4 kita dapati dengan mudah di hari-hari menjelang pemilihan
presiden. Sementara poin kelima digambarkan dengan baik dalam film dokumenter Di Balik Frekuensi. Bertolak dari lima
hal tersebut, keberagaman kepemilikan (tidak dominatif oleh segelintir orang)
dan keberagaman isi (tidak hanya menyorot isu nasional ataupun jakartasentris)
adalah tantangan bagi media di Indonesia hari ini. Bagaimana menjawab tantangan
ini?
Jelas,
diperlukan media alternatif. Namun, yang seperti apa? Sejauh yang bisa
diidentifikasi, ada dua model yang sudah coba dijalankan: jurnalisme warga dan
media komunitas. Namun, terlepas dari potensi dan manfaat keduanya yang sudah
bisa dinikmati hari ini, keduanya rupanya belum mampu menjawab dua tantangan di
atas.
Beberapa
tahun terakhir, media massa arus utama membuka rubrik maupun program jurnalisme
warga. Namun, seleksi dan kontrol isi tetap berada di tangan pengelola media.
Warga hanya diberi ruang untuk memproduksi karya jurnalistik. Hal ini misalnya,
terlihat dari kasus tulisan akun anonim Jilbab Hitam di Kompasiana (milik Kompas), November tahun lalu. Tulisan berjudul
“Tempo Dan Kata Data Memeras Bank Mandiri Dalam Kasus SKK Migas”, diunggah pada
11 November pagi, ini langsung mengundang
respons ramai di jejaring sosial, terutama Twitter. Malam itu juga, tulisan itu
dicabut dari Kompasiana oleh pengelolanya, Pepih Nugraha, karena isinya yang
provokatif melanggar aturan Kompasiana.
Sementara
itu, media warga lainnya seperti jejaring sosial dan blog yang dikelola pribadi
tetap tidak bisa diharapkan mampu menyebarkan informasi seluas yang bisa
dilakukan media besar. Selain itu, Facebook, misalnya, telah membuat peraturan
bahwa apa pun yang kita unggah di sana otomatis menjadi hak cipta Facebook.
Seperti kata Boyle, jika sesuatu kita dapat gratis dari internet, berarti
kitalah komoditas yang mereka jual (kepada pengiklan).
Media
komunitas juga sulit berkembang. Media semacam ini kritis, tetapi tidak
partisipatif. Pembacanya tersegmentasi pada komunitasnya. Ideologi tertentu
yang diusungnya juga kerap membuatnya eksklusif.
Selain
dua tantangan tadi, pemilik dan informasi yang beragam, ada satu hal yang luput
dari media-media di Indonesia hari ini: yakni media sebagai alat
pengorganisasian massa. Itulah mengapa, pesimisme sering menguar dari kalangan
wartawan dan penulis. Bahwa media hanya memuat tulisan atau menayangkan berita,
tetapi sangat jarang mampu menggerakkan orang untuk menciptakan perubahan. Pengalaman
media sebagai alat pengorganisasian massa bukan tak ada di Indonesia.
Media-media semasa Kebangkitan Nasional hingga sebelum 1965 adalah
contohnya. Kebutuhan atas tiga hal tersebutlah yang akan dijawab oleh media
kooperasi.
Media
kooperasi, kemungkinan, juga akan cocok dengan model media di masa depan. Boyle
(2013) menyebutkan, salah satu opini umum dari para pengamat media tentang masa
depan media adalah adanya media yang dikelola dengan sistem produksi baru yang
menerabas jarak antara pembaca dan penulis. Sistem ini membutuhkan mekanisme
pembiayaan baru yang memungkinkan media itu dibiayai bersama. Atau, “Pada
intinya, media berita sangat ingin memproduksi berita dengan dukungan finansial
yang lebih lengas, sementara publik menginginkan media yang dapat mereka
percaya” (Boyle, 2013: 5). Menurut Boyle, kooperasi dapat menjawab dua
kebutuhan itu.
Di
antara nama-nama media kooperasi yang disebutkan di atas, masing-masing
memiliki ciri pengelolaannya masing-masing. Yang menyamakan mereka hanyalah
kepemilikannya yang beragam—beberapa lainnya juga menyajikan konten alternatif.
Untuk itu, diadakan rembukan panjang yang berdiskusi untuk merancang konsep
media kooperasi Literasi.co, macam
apa ia diinginkan?
Pada
akhirnya, ditentukan bahwa media ini adalah media alternatif. Nilai alternatif
tersebut diukur dari empat hal:
Pertama,
media ini dimiliki bersama, yakni oleh anggota Kooperasi Litera, dengan prinsip
“satu orang satu suara”. Artinya, tiap pemilik berhak ikut menentukan keputusan
apa pun yang akan diambil. Model ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada
siapa pun, termasuk pembaca Literasi.co
kelak, untuk turut memiliki media ini. Dengan begitu, batas antara produsen
(berita) dan konsumennya diruntuhkan.
Kedua,
redaksinya independen. Independensi itu berupa sikap kritis ditampakkan dalam
isi dan proses produksi media ini. Dalam hal isi, ada lima indikator yang
menjadi kunci dalam memilih tema-tema laporan di media ini, yakni: (1) semua
bentuk intimidasi, (2) antagonisme realitas, (3) peluang perubahan yang mungkin
diambil, (4) semua bentuk dominasi dan penghisapan, dan (5) usaha terus-menerus
untuk membangun masyarakat yang lebih kooperatif.
Ketiga,
mekanisme kerjanya menempatkan orang-orang di dalamnya semua setara. Dengan
model kepemilikan dan tata kelola yang berprinsip pada “satu orang satu suara”,
tidak ada pihak yang dominan. Wartawan dan pembacanya adalah juga pemilik.
Media ini juga terus berusaha agar wartawannya tidak berjarak dengan
masyarakat.
Keempat,
berbasis masyarakat. Caranya, dengan mengangkat isu riil di masyarakat, serta
melibatkan saluran berpendapat bagi semua orang.
Terbuka untuk terus berkembang
Media
kooperasi Literasi.co dimiliki oleh
anggota Kooperasi Litera. Keduanya bernaung di bawah organisasi GLI. Sebagai konsep, keduanya masih sangat muda. Baru
digodok di tahun lalu. Kooperasi Litera sendiri sudah merekrut anggota sejak
akhir tahun lalu, tetapi konsepnya masih terus dimatangkan hingga hari ini.
Anggotanya baru mencapai angka 43 orang (per 1 Maret 2014). Ia belum bisa
menghasilkan laba—walau tidak berarti ia mandek dan tidak operasional.
Literasi.co
berusia lebih muda lagi. Juni ini adalah edisi perdananya. Kitabnya, yang
dinamai Buku Putih Media Kooperasi Literasi.co, yang akan menjadi penuntun
kerja-kerjanya ke depan, baru rampung April lalu.
Dalam
hal konsep dan arah kerja, media ini sudah memilikinya. Permasalahannya ada
pada jumlah pemiliknya, alias anggota kooperasi. Media ini baru bisa
menampakkan tajinya jika kebutuhan finansial bukan lagi masalah baginya. Karena
diharapkan menjadi media profesional, tidak akan ada wartawan yang tidak
dibayar, misalnya. Dengan begitu, media ini akan lebih ramah kepada orang-orang
yang seiya dengan idenya, sekaligus membutuhkan pendapatan untuk biaya hidup.
Idealnya,
sebuah media dipercaya luas sebagai media bagus terlebih dahulu baru mampu
mengundang banyak orang untuk menjadi pemiliknya. Namun, untuk menjadi media
bagus yang profesional, butuh banyak orang yang mengumpulkan banyak uang. Ini
serupa lingkaran setan, atau mengundi ayam atau telurkah yang lebih dulu. Untuk
kasus Die
Tageszeitung, ia memakai
cara kedua: mengumpulkan 10.000 pelanggan dulu, baru kemudian edisi perdananya
terbit.
Skema
keuangan adalah salah satu hal paling memusingkan di media ini. Saat ini,
sembari mengerjakan media ini dengan semangat pro bono, kami terus berusaha untuk menemukan model paling bagus
untuk menghidup-besarkan media ini. Dengan kepemilikan beragam—43 orang, saat
ini, adalah jumlah yang lumayan juga untuk ukuran pemilik media—salah satu ciri
media ini, sejak dari konsep, adalah keterbukaannya pada perubahan dan
perkembangan.
Media
ini tidak bermula dengan konsep yang sudah selesai dan memang tidak dimaksudkan
begitu. Kajian tentang masalah konglomerasi media yang menjadi latar belakang
munculnya media ini sudah begitu banyak, tetapi belum ada solusi yang
sungguh-sungguh dimaksudkan untuk menjadi jawabannya. Untuk itu, butuh orang
yang memulai gerakan yang menciptakan solusi. Sebab, jika tidak menjadi solusi,
maka bisa jadi Anda adalah masalah itu sendiri.[]
Bibliografi
Boyle, Dave. 2013. Media Kooperasi & Kooperasi
Media. Diterjemahkan oleh Bosman Batubara. Yogyakarta: Insist Press,
Co-operatives UK, dan Gerakan Literasi Indonesia.
Gerakan Literasi Indonesia. 2014. Buku Putih Media Kooperasi Literasi.co. Tidak dipublikasikan.
Lim, Merlyna.
2012. The League of Thirteen Media
Concentration in Indonesia. Laporan penelitian. Tempe, Arizona: Participatory
Media Lab at Arizona State University.
Nugroho, Yanuar, D. A. Putri, dan S. Laksmi. 2012. Mapping the Landscape of the Media Industry
in Contemporary Indonesia. Laporan penelitian. Jakarta: Centre for
Innovation Policy and Governance.
Utomo, Wisnu Prasetya. 2013. “Media Kooperasi,
Alternatif di Era Konglomerasi Media?”. 27 September. http://indoprogress.com/2013/09/media-kooperasi-alternatif-di-era-konglomerasi-media/
“Kompasiana: Tulisan Jilbab Hitam Provokatif”. 12
November 2013. http://www.tempo.co/read/news/2013/11/12/063529089/Kompasiana-Tulisan-Jilbab-Hitam-Provokatif
“MK Batalkan Undang-Undang tentang Perkoperasian”. 28
Mei 2014. http://www.antaranews.com/berita/436287/mk-batalkan-undang-undang-tentang-perkoperasian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar