BULAN lalu saya bertemu Ni’am.
Ni’am itu kawan saya yang tidak pantas disebut kawan. Dia
lebih tua, lebih bijak, dan terlalu serius. Dia bukan tipe yang perlu ditemui
ketika saya sedang sedih atau butuh hiburan. Satu-satunya alasan yang pantas
mendorong saya mendatanginya adalah bertanya. Kalau kamu butuh tanya (atau
dengan kata lain, berguru), mendatangi Ni’am barulah keputusan yang tepat.
Di pertemuan ini Ni’am bercerita tentang sesuatu yang ia sebut disiplin ketat. Katanya, saat ini ia sedang di tengah disiplin ketat. Apa yang ia kerjakan, saya dilarang cerita sama orang. Yang jelas, proyek hebat.
Tapi gara-gara dia bercerita soal disiplin ketat,
haduh, saya jadi ingat bahwa seharusnya saya juga sedang memberlakukan itu
untuk diri saya sendiri.
Tahun ini saya punya dua tanggungan yang pasti semua
orang bisa tebak salah satunya: lulus dan menyelesaikan terjemahan. Kalau Desember
ini saya tak lulus juga, matilah! Muka ini harus diletakkan di sela-sela
pantat, sebab sejak awal tahun saya sudah janji demikian pada semua keluarga.
Terjemahan juga begitu. Saya enggak punya harapan mau
kerja apa-apa lagi selain di dunia aksara. Ini sudah seperti membuat janji
dengan setan, sebenarnya. Tapi bagaimana lagi: akan kerja kantor, saya tidak
mampu bangun pagi. Lagipula tidak akan betah. Saya sudah coba dua kali mengakurkan
diri dengan yang namanya jadwal kerja dan gagal semua. Kalau terjemahan ini
tidak selesai, masa depan sayalah yang selesai.
Ini seperti karma. Beberapa tahun yang lalu saya
suka mengejek senior-senior yang belum lulus. Mas Islah misalnya. Dan sekarang
saya paham kenapa mahasiswa model kami susah lulus.
Pertama, gara-gara susah fokus. Mengapa? Karena—entah mengapa!—selalu ada order menulis paruh waktu. Adakah
uangnya? Tentu saja. Tapi tak pernah bersisa. Habis buat apa? Macam-macam, yang
pasti selalu tak bersisa.
Kedua, adalah karena di hati yang terdalam ada
ketakutan buat melepas apa yang sudah disandang selama 17 tahun: predikat
pelajar. Cerita dari banyak orang bahwa kalau sudah lulus, idealisme akan
luntur dan kehilangan kesempatan belajar sesuka hati benar-benar mengerikan.
Untunglah bertemu Ni’am bulan lalu: ini saatnya pasang
mata, siapkan tenaga; larung takut dan siap jadi orang dewasa.
Saya siap menjalani disiplin ketat! Kawan-kawan juga
harus begitu, ya. Yang akan KKN, yang sedang mengerjakan skripsi juga, yang
sedang dihimpit tenggat pekerjaan, pokoknya yang sedang apapun!
Salam anti-jadi-pecundang, wo yo![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar