Buku pop-up yang bisa nyala segala, wow! |
oleh Prima SW
Mencintai buku tak
lantas berarti bersedia membagi buku itu untuk dibaca banyak orang. Apakah yang
membuat seseorang tergerak membuka taman baca masyarakat?
TIBA-tiba
Iman Suligi, 62 tahun, masuk ke bagian dalam rumahnya yang berada di Jalan Nusa
Indah gang 6 No. 7, Patrang, Jember. Saat keluar, pemilik Perpustakaan Penabur
Hikmah ini membawa buku tebal berwarna hitam, “Ini buku rahasia,” katanya. Buku
itu berjudul Star Wars. Apanya yang
rahasia?
“Coba buka,” usulnya. Saat dibuka, di tiap halamannya berdiri tegak gambar tiga dimensi. Ternyata itu buku pop-up, buku yang memadukan teks dan gambar tiga dimensi yang bisa berdiri bila halamannya dibuka. Buku itu agak sulit dibaca—kalau bukan tidak bisa dibaca sama sekali, karena teksnya berbahasa Jepang.
Buku itu
memang unik. Gambarnya bagus-bagus. Ternyata, ada sudut-sudut rahasia yang
kalau dibuka, tegaklah gambar lain yang lebih kecil. Iman Suligi tertawa-tawa
saat menunjukkan itu. Memang seru sekali bermain dengan buku pop-up. Itulah sebabnya, buku itu
menjadi rahasia. “Tidak dipinjamkan. Saya simpan di dalam. Kalau dimain cucu
saya, aduuuh, nanti bisa rusak.” Beli buku itu juga sulit. “Anak saya yang
pertama sempat 18 bulan di Jepang. Saya bilang, ‘belikan buku yang bagus’.”
Maka datanglah buku Star Wars itu.
Lucunya,
meski cinta buku itu, Iman tidak tahu film Star
Wars. Ini kan ada filmnya, Pak? Lha, ini gambar Darth Vader… “Lho, iya ta?” Ia malah balas bertanya.
Iman
Suligi punya beberapa buku kesayangan lainnya, yaitu text book berbahasa Inggris yang ia beli saat kuliah dan saat ini nyaris
muskil didapatkan. Beberapa seperti Teaching
Art to Children, Meaning in Crafts,
dan Education through Art. Rata-rata
buku tersebut dibeli pada tahun 1970-an. Tiga buku tersebut diletakkan di dalam
rumah, bukan di bangunan lain yang khusus untuk perpustkaan terbuka.
Terkadang,
kecintaan pada buku justru membuat pemiliknya menjadi posesif terhadap buku.
Namun apa yang justru membuat orang seperti Iman Suligi berbagi buku lewat Perpustakaan
Penabur Hikmah-nya?
***
Iman Suligi, buku, dan wayang-wayang. |
Iman
Suligi berasal dari Klakah, Lumajang, sekitar 1 jam dari Jember. Menurutnya, ia
memiliki bapak yang serba bisa. “Bapak itu agen koran-majalah, pegawai Telkom,
petani, penjahit, dan pengurus koperasi.” Nah, berkaitan dengan pekerjaan yang
terakhir, dahulu ada kebiasaan di koperasi tersebut untuk rapat pengurus tiap
tanggal 20. Malamnya, sepulang rapat, sang bapak akan membangunkan Iman yang
sudah tidur untuk menunjukkan oleh-oleh yang ia bawa.
“Malam
itu mesti bawa dandang. Di dalamnya ada kue dan buku.” Dandang itu diberikan
pada ibu, sedangkan buku untuk Iman. Buku itu didapat dari koperasi. “Buat
bungkus kue kan mereka butuh koran bekas. Bapak menukarkan koran bekas yang
enggak laku dengan buku-buku itu,” tutur Iman. Bukunya bagus-bagus, ada buku
cerita dari Rusia, Cina, dan lain-lain.
Kebiasaan
itu terus berulang selama Iman duduk di Sekolah Rakyat, membuatnya mencintai
buku. Bahkan, di desanya, ada sebuah perpustakaan milik Pusat Penerangan
Masyarakat yang bukunya telah habis ia baca semua. Rumah Iman juga dipenuhi
majalah dan koran, sehingga ia punya waktu buat membaca dahulu sebelum dijual.
Ini membuatnya menganggap, “Membaca menjadi kebiasaan dan kebutuhan.”
Lain
cerita, suatu hari Iman mengirim surat ke redaksi majalah anak-anak Si Kuncung. Dengan percaya diri, ia
minta dikirimi 40 eksemplar majalah untuk dijual kembali. Tak disangka-sangka,
permintaannya diladeni, ia dikirimi. Jadilah Iman berjualan Si Kuncung sejak kelas 6 SR hingga kelas
3 SMP.
Bisa
dibilang, hidup Iman Suligi sampai seterusnya tak pernah lepas dari buku dan
perpustakaan. Saat SMA ia sampai-sampai diminta gurunya untuk mengelola
perpustakaan sekolah. “Sebelumnya tutup. Mungkin karena enggak ada pegawainya,”
ia menebak. Ketika kuliah di IKIP Surabaya, ia menjadi ketua senat. “Di senat
ada perpus-nya, jadi ngurus perpus
lagi,” imbuh penyuka puisi Joko Pinurbo ini dengan tawa.
Tahun
1978, Iman ditugaskan mengajar di Jember. Terbiasa dengan Surabaya yang penuh
kemudahan akses pada bacaan, di Jember berbeda sama sekali. “Njeglek (turun drastis),” katanya. Toko
buku hanya beberapa dan perpustakaan nyaris langka. Maka ia mulai menyemai
cita-cita: membuat perpustakaan sendiri.
Iman
membangun beberapa perpustakaan di instansi tempat ia bekerja, yaitu di SMK 3
Jember, tempat ia mengajar sejak tahun 1978 hingga pensiun, serta di
Universitas Muhammadiyah Jember, tempatnya kini mengajar di jurusan Pendidikan
Anak Usia Dini.
Menjelang
pensiun, cita-cita lama itu dibangkitkan. “Saya ingin punya perpustakaan yang
ada kafenya, tempat orang-orang datang, baca buku, atau menonton film.” Ia
terinspirasi dengan pergaulan di pusat kebudayaan asing di Surabaya, macam
Lembaga Indonesia Amerika, Goethe Institute, atau Centre Culturel Français,
yang menciptakan tempat berkumpul dan saling bertukar ilmu yang nyaman.
Tahun
2003, Iman membuat Yayasan Penabur Hikmah. Tahun 2009, barulah pembangunan
perpustakaan dimulai berkat uang sertifikasi guru. Setelah pensiun, uang
pensiun itu juga dipakai untuk membangun lebih banyak.
Perpustakaan
itu sudah jadi. Namanya perpustakaan Penabur Hikmah yang menggabung dengan
kediaman Iman Suligi. Di muka rumah ada kanopi dan bangku semen yang bisa
dipakai untuk kongko-kongko. Di depan perpustkaan yang terbuat dari bambu,
terhampar tanah berumput yang hijau. Ada pula musala dan gubuk untuk
menongkrong. Iman juga memelihara kelinci, burung, dan ayam, sehingga ia sebut
perpustakaan itu kebun binatang.
Saat ini,
perpustakaan itu masih butuh dua hal. Suplai buku yang lebih banyak, karena
koleksinya baru sekitar 1200 buku, serta tenaga pengelola perpustakaan. Iman
berniat mengupah orang, namun katanya sulit mendapatkan orang yang mau dibayar
dengan upah sedikit. Untuk menggaji banyak, ia merasa belum siap.
***
Iman
Suligi membuat taman baca karena pernah mengalami sulitnya mendapatkan buku.
Alasan lainnya adalah keinginannya mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang
suka membaca. Tentang perpustakaan-kebunnya, ia punya kutipan menarik, “If you have a library and a garden, you have
everything. If you put your library in the garden, you have a paradise.”[]
Wawancara dengan Iman Suligi di Jember, Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar