Evolusi (1999), Alit Sembodo [umahseni.com] |
UANG banyak, waktu terbatas, dan aku penat. Setelah menyelesaikan satu pekerjaan yang membuatku mengurung diri di sebuah ruangan selama sebulan penuh, aku memutuskan untuk mengepak dalam ransel: dua kaos, beberapa pakaian dalam, alat mandi, dan satu buku, Nusa Jawa Silang Budaya jilid 2. Aku tak akan beranjak dari Jogja, aku hanya lelah, jadi aku pergi ke rumah peristirahatan di Jalan Cik Di Tiro. Masuk, mendaftar untuk tiga hari, lalu mematikan ponsel. Tak ada sinyal apapun yang perlu Palapa hantarkan dari kamarku ke penjuru manapun. Rasanya aku merdeka sejenak, setidaknya dari radiasi gelombang elektromagnetik.
Kau harus memahami mengapa orang yang menyabung hidup di kota kerap bertindak aneh. Sebab ia hanya dihinggapi rutinitas menjemukan tiap hari. Seringkali juga ia dilanda sepi. Ia tidak punya tempat dan waktu untuk duduk-duduk menikmati desir angin di antara rimbun pepohonan, sebab bising kendaraan masih saja menyergap bahkan ketika itu sudah pukul 10 malam—waktu di mana pohon dan semilirnya tak mungkin lagi dinikmati. Kadang ia kelewat pusing sehingga tak mampu bicara bebas tertawa-tawa dengan temannya seperti dulu. Ia diliputi curiga berlebihan ketika berhadapan dengan siapapun, termasuk dengan kau.
Ketika
bekerja, kadang aku berpikiran aneh dan liar sekadar untuk membebaskan
pikiranku dari jebakan kegilaan. Kadang aku mengkhayal, usai rampung kerjaan
ini aku akan menato tubuh di Malioboro. Temporer saja. Atau mengecat rambu dengan
warna-warna menyala seperti gaya Kate Winslet dalam Eternal Sunshine on The Spotless Mind. Atau memasang tindik di lekukan
bibir bawah. Lebih gila lagi, kadang aku ingin mengumpulkan beberapa teman
terbaikku yang biasa mabuk lalu minum minuman keras sampai berdiri pun tak
mampu. Berkhayal begitu saja sudah melegakan sejenak. Menjadi nakal identik
dengan freeman, pembebasan. Habis itu
aku akan tenggelam lagi dalam baris-baris matriks di dunia komputerku.
Matriks.
Apakah aku dikurung oleh matriks? Oleh sistem yang sampai aku dibebaskan, aku
akan terus melawan agar sistem itu tetap bertahan seperti sediakala. Sebab aku
tak punya bayangan bagaimana hidup tanpa sistem, tanpa matriks. Ah, matriks. Waktu
SMA, itu cuma cuplikan pelajaran Matematika di kelas XII yang mudah sekali. Bab
Matriks aku dapat 100.
Aku
kesepian. Kesepian yang didamba. Kesepian ala Iqbal. Kesepian yang membuatku
jengah, namun ketika aku keluar dan menemui semua keriuhan dekaden, aku ingin
kembali pada kesepian itu. Kesepian yang jangan kau kasihani. Kesepian
yang kubuat sendiri.
Diantarkan
petugas resepsionis ke lantai dua, kamarku adalah yang berbalkon. Tepat di muka
balkon, ada sepokok akasia yang seperti berkacak pinggang. Inilah duniaku selama
tiga hari ke depan.
Di
kota, uang adalah harga mati. Kau tak akan bahagia tanpa uang. Jangan hina aku
karena aku berkata begitu, kalau saja kau pernah merasakan lapar dan
orang-orang di sekitarmu hanya bisa mengedikkan bahu tanda tak punya uang untuk
dipinjamkan.
Aku
tidak tahu apa tujuan hidupku di kota ini. Kawin, beranak, lalu mati mungkin
indah, tapi sia-sia. Harusnya aku bertualang, tapi entah ke mana. Dan bila aku
hendak bertualang, aku harus selesai dulu dengan perasaan; dengan probabilitas
jatuh cinta. Cukup aku dikekang oleh cinta keluarga, tak perlu lain! Ke mana
aku mampu beranjak jika tambatku di satu kota terus menarik-narik.
Aku
rebah di kasur besar yang spreinya wangi. Aku teringat wangi lemari pakaian di
rumah nenekku. Satu juta untuk tiga hari surga. Padahal, butuh dua minggu untuk
mendapatkan uang segitu. Kejam nian kota ini. Desa pun sama saja, cuma dalam
versi lain. Aku lelah, tapi tak takut untuk terus menantang hidup. Hidup kadangkala
memang harus diisi kekosongan untuk waktu yang lama, diisi dengan kesepian yang
mencerahkan… Bahkan bila pada akhirnya aku pun jadi bagian dari kaum “kawin,
beranak, mati”, aku tak akan menyesal. Aku sepakat dengan Pram, yang penting mencoba
sekuat-kuatnya, kalaupun kalah, tak jadi masalah.
Dari
posisi rebah begini aku bisa merasakan angin yang dihantarkan si akasia. Aku sendiri.
Mungkin setelah keluar dari persembunyian ini, aku akan membuat kaos
bertuliskan kata pamungkas itu, apatisme getir, afirmasi atas homo homini
lupus: Don't depend too much on anyone in
this world. Even your shadow leaves you when you're in darkness.
Homo
homini lupus… Aku teringat dia. Alit Sembodo. Mengapa kau bunuh diri?[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar