Max Lane: "Kalau diundang lagi, saya pilih UNY." Sebab, katanya, guru adalah bagian penting bagi Indonesia masa depan. |
PENERJEMAH enam karya Pramoedya Ananta Toer asal
Australia, Max Lane, menjadi dosen tamu selama lima pertemuan untuk mata kuliah
Hubungan Internasional dan Politik Indonesia di Jurusan Pendidikan Sejarah,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. Hari ini, 11 Desember 2012,
adalah kuliah terakhir dengan tema Papua. Empat hari sebelumnya berturut-turut
membahas (1) sejarah politik Indonesia, (2) politik Indonesia pra-Orba, 1960-1965, (3)
politik Orba, dan (4) Indonesia di Timor Leste. Bertempat di ruang Ki Hadjar
Dewantara, FIS, semua kuliah disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Pada penutupan kuliah, Lane menyampaikan kesan positifnya terhadap mahasiwa peserta kuliah. Antara memberi kuliah di Indonesia—di UGM, UI, Universitas Udayana, dan kali ini UNY—dan di Australia, ujarnya, respons mahasiswa jauh berbeda. Berkebalikan dengan di Australia, mahasiswa di Indonesia acap berebut kesempatan di sesi tanya jawab. “Di Australia, mahasiswa apatis terhadap politik. Berbeda dengan mahasiswa 10 tahun yang lalu,” ujarnya.
Usia kuliah yang berlangsung dari pukul 9 hingga 11
itu, kami menemui beliau di kantor jurusan Pendidikan Sejarah. Sempat mengira
ia akan lelah berbicara, ternyata Max Lane murah senyum dan tak ragu bercerita
panjang.
Negara
tanpa Sastra
“Satu-satunya negara modern di dunia yang tidak
mengajarkan sastra di SMP dan SMA adalah Indonesia,” ia membuka dialog.
Kemungkinan kondisi itu terjadi sejak tahun 70-an,
setelah Ali Moertopo, kolonel pengomando Operasi Khusus di Irian Barat yang
kelak menjadi Menteri Penerangan, merilis esai “yang buruk sekali,” menurut Max
Lane. Esai tersebut menerjemahkan kebudayaan Indonesia sebagai gabungan dari
kebudayaan etnik. “Padahal itu kebudayaan pra-Indonesia,” tambahnya.
Sejak itu sastra tak lagi dianggap penting. Padahal,
terang Lane, “Pengalaman bersama suatu bangsa hanya diwariskan lewat sastra.”
Jika sejak sekolah warga negara tak dikenalkan dengan sastra terbaik di
negaranya, hasilnya adalah orang-orang tanpa minat baca serta tak terwariskannya
pengalaman berbangsa.
“Saya membuat fan
page di Facebook yang mengampanyekan sastra sebagai pelajaran wajib di SMP
dan SMA Indonesia.” Sayangnya, ia lupa nama fan
page itu.
Pertemuannya dengan Pramoedya berawal ketika ia
bekerja untuk Kedutaan Australia di Jakarta, setahun setelah Pram bebas. “Tahun
80 saya lihat naskahnya (Tetralogi Buru). Ini luar biasa bagus, harus bisa
dibaca oleh orang di luar (Indonesia).”
Pada akhirnya, Lane menerjemahkan tetralogi Buru plus Hoakiau di Indonesia dan Arok Dedes. Pertama kali keluar di
tahun 83, Lane bilang, kini This Earth of
Mankind—terjemahan Bumi Manusia,
sudah dicetak untuk ke-23 kalinya oleh penerbit Penguin di Amerika Serikat.
“Cetak terus, tidak pernah out of print.”
Di situs Amazon.com, buku tersebut dihargai 10 dolar 88 sen, setara dengan
Rp105.000.
Kabarnya, karena aktivitasnya dengan karya-karya Pram,
ia “disingkirkan” dengan halus dari Kedutaan. Lane kemudian menjadi koordinator
Action in Solidarity with Indonesia and East Timor (ASIET) yang memperjuangkan demokratisasi
di Timor Leste.
Apa
pentingnya Tetralogi?
Lane mengisahkan bahwa karya-karya Pram dipelajari di SMA
dan kampus-kampus di Amerika Serikat. Hal serupa juga ditemui di Filipina,
Malaysia, dan negara-negara lain, bahkan di Singapura yang terkenal
konservatif. Hanya di Indonesia, karya tersebut tak singgah di sekolah. Mengapa
karya Pram, terutama Tetralogi, dianggap sedemikian penting?
Menurut Lane, nilai penting tersebut ditera dalam dua
aras. Pertama, dari segi penceritaan, alurnya sangat asyik. “Ketegangannya;
karakter-karakternya; sangat mengikat pembaca. Sebagai sastra bercerita, (Tetralogi)
sangat sukses.”
Kedua, Tetralogi membuka pengertian terhadap sejarah
asal-usul manusia Indonesia. Serial ini oleh banyak orang disebut sebagai
pembicaraan mengenai kebangkitan nasional. “Namun tak ada satu pun kata Indonesia di sana,” kata Lane. Alasannya,
sebab di masa hidup Tirto Adhi Surjo maupun Kartini, Indonesia—sebagai
negara—tak pernah terbayangkan. Lewat Tetralogi, Pram seperti mengatakan, “Kamu
harus sadar, Indonesia adalah ciptaan, kreasi, bukan warisan atau sesuatu yang
jatuh dari langit,” jelas Lane. Pram menyadarkan bahwa Indonesia diciptakan sendiri
oleh manusia Indonesia.
Adanya pembacaan tersirat, atau “pesan rahasia”, yang
diselipkan dalam karya. Hal inilah yang membuat Lane menganggap sebagai
sejarawan terbaik Indonesia.
Lainnya: dari apa yang dilakukan Minke dan Ontosoroh,
terbaca alasan yang mendorong terbentuknya Indonesia. “Indonesia tercipta oleh
usaha melawan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Lane. Atau dengan kata lain,
keinginan mendapatkan keadilan.
Dalam kuliah bertopik Timor Leste dan Papua, Lane
banyak memaparkan bukti-bukti kejahatan HAM yang dilakukan tentara Indonesia
pada warga sipil setempat. Keadilan yang melatarbelakangi munculnya sebuah
“komunitas imajiner”—dalam bahasa Ben Anderson—bernama Indonesia, justru dilangkahi
sendiri di kemudian hari.
Sejarah yang “terbaca” dalam sastra semacam ini
membuat pelajaran sastra penting. “Apa kebudayaan Indonesia yang sejati?”
tanyanya. Orang Indonesia menganggap tari dan batik, misalnya, sebagai
kebudayaan Indonesia, yang oleh Lane disebut sebagai kebudayaan pra-Indonesia.
Sastra Indonesia dalam wujud roman, syair, drama, esai, cerpen yang ditulis
dalam bahasa Indonesialah yang dapat disebut sebagai kebudayaan Indonesia.
Ia kemudian mengajukan pertanyaan yang kami tak bisa
jawab. “Apa pengaruhnya jika sastra terbaik Indonesia diberikan sejak umur 12
tahun (usia SMP)?” Sastra yang ia maksud tak terbatas cakrawalanya. Kiri,
kanan, religius, surealis… semuanya.
Kami balas bertanya, kali ini ringan sifatnya. “Dari
empat buku Tetralogi, mana yang jadi favorit Anda?”
Ia jawab sambil tertawa, “Tergantung mood.” Ia tak sebut satu judul. Hanya
saja ada bagian-bagian tertentu yang memesonakannya. Pertama, adegan dalam Rumah Kaca ketika mata-mata Pangemanann
menemukan tiga naskah (yang dalam cerita itu merupakan karya) Minke yang
berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
dan Jejak Langkah—tiga karya Pram
sebelum Rumah Kaca.
Kedua, posisi Pangemanann yang menganalisis
tulisan-tulisan Minke. “Padahal dua-duanya ciptaan Pram,” imbuh Lane.[]
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar