David akhirnya buka baju dan kami semua berteriak, "Aaaaaaa!" (sayang, saya lupa ini foto diambil dari URL yang mana). |
MENONTON konser secara live adalah candu. Dan candu itu makin menggila sejak pertengahan
Oktober tahun ini. Setelah terpesona karena menonton Payung Teduh secara live, gratis, dan tak harus jauh-jauh ke
Jakarta, Dian membawa kabar: Naif
gelar konser ulang tahun pada 22 Oktober.
Ini kabar baik, namun jadi tak baik kalau
memperhatikan faktor-faktor berikut: pertama, tiketnya seharga 150 ribu—saya belum
pernah habiskan uang sebanyak itu untuk nonton konser; kedua, konser itu
diselenggarakan di Hard Rock Café; ketiga, Hard Rock Café yang dirujuk berada
di Jakarta; keempat, seberapa penting kami mendedikasikan tenaga dan uang untuk
band yang hanya sekelas Naif—bukan The Police atau GnR?
Mengoleksi semua album Naif—bahkan album live mereka yang hanya ada versi
premium di internet sekalipun, A Night at
Schouwburg (tapi kami mendapatkannya gratis dari Desta!)—bukan alasan untuk
harus datang ke konser bertajuk
AnNAIFersary ke-17 itu. Memang ada iming-iming kaos gratis untuk 200 penonton
pertama. Tapi ke Jakarta hanya untuk nonton Naif? Benar-benar harus dipikirkan
matang.
Pada akhirnya kami memutuskan untuk nonton. Alasannya?
“Kami orang kaya,” jawab kami (saya dan Dian) kalau ditanya orang. Setelah
kehabisan tiket kereta api murah dan terpaksa membuang uang ratusan ribu untuk
KA ekonomi AC, Minggu, 21 Oktober, kami berangkat menuju stasiun Jakarta Kota. Tanggal
22 pagi kami sampai. Singgah di Kota Tua, Istiqlal, makan di stasiun Juanda,
lalu menyeret langkah ke Kebayoran—ke kantor Tempo Institute, sorenya kami naik
taksi ke Grand Indonesia Shopping Town. Plaza EX di mana Hard Rock tersua ada
di seberangnya.
***
Kami termasuk yang dapat kaos gratis itu. Jadwalnya,
pukul 9 Naif akan mulai main. Karena tak mampu reservasi kursi yang per buahnya
seharga 150.000 (di lantai 1) dan 200.000 (di lantai 2), saya dan Dian berdiri. Saya
rasanya sudah ingin ambruk saja. Belasan jam menekuk kaki di kereta, disambung
jalan kaki sambil menggendong tas berat, sampai di Hard Rock pun masih harus
berdiri. Lebih-lebih, hingga lewat dari pukul 10, Naif tak kunjung muncul. Layar
besar di tengah café justru menayangkan video klip yang saya sendiri bisa setel
di mana saja via Youtube.
Lalu mereka naik. David, Emil, Pepeng, dan Jarwo. Berbeda
dengan pertunjukan Payung Teduh yang mana mata dan telinga menikmati musik,
sementara tangan sibuk mengetik catatan untuk bahan tulisan, kali ini saya tak mau
catat apapun. Lebih dari 1000 km saya tempuh untuk konser ini, jadi harus benar-benar
dinikmati.
Konser malam itu memang dahsyat. Tak salah kalau Soleh
Solihun menyebut David sebagai vokalis dengan aksi panggung terbaik—termasuk
interaksinya dengan penonton. Dia membanyol, melakukan improvisasi, berlarian
menghampiri satu per satu pemegang instrumen, lalu membanyol lagi. Ada lebih
dari 40 lagu Naif yang dibawakan malam itu. Saya mulanya hanya berdiri
dengan tangan silang di dada sambil sedikit goyang-goyang kaki. Ketika konser
separuh jalan, saya dan Dian sudah duduk di meja bar—ya, harafiah, duduk di meja
bar!—sembari berteriak kuat-kuat dengan tangan mengepal ke atas, sebab semua
orang juga melakukan hal yang sama. Terutama di track yang riuh seperti “Dia adalah Pusaka Sejuta Umat Manusia yang
ada di Seluruh Dunia”, “Uang”, dan “Televisi”. Naif memang tak pantas cuma didengarkan
via Winamp: mereka harus ditonton langsung!
Yang saya ingat, lagu terakhir adalah “Mobil Balap”. Akhir
yang memang paling pas. Tidak ada yang tidak menyanyi, bahkan mbak Nufus yang nimbrung
malam itu juga menyanyi dan joget. Konser benar-benar ditutup setelah, kalau
tak salah, tiga kali David, Emil, Pepeng, dan Jarwo berhenti dan mengumumkan
selesai. Pepeng bahkan sampai empat kali melempat stik drum, namun karena
penonton berteriak minta tambah, mereka kembali. Pukul 1 dini hari konser baru
benar-benar tamat, itu pun karena penyanyi dan penontonnya memang sudah
sama-sama lelah.
***
Dua hari sebelum berangkat ke Jakarta, saya menonton
Float di Jogja. Tepatnya di Rock Opera Resto. Meski tak fanatik Float, tapi saya
fanatik dengan salah satu lagunya, “Pulang”. Kadang, jika suasana cerah, “3
Hari untuk Selamanya” juga disetel. Namun hanya dua lagu itu yang saya kenal
dari Float. Jadi menonton Float kali ini memang hanya untuk mengejar dua lagu
itu.
19 Oktober malam, saya, Telo, Mbak Zilah, Dedel, Mbak Tutik,
dan Mbak Rhea sedia di café itu. Ramai sekali. Kami duduk di belakang,
sampai-sampai wajah Meng saja tak terlihat. Setelah menunggu beberapa saat,
melewati track Float yang kami tak
kenal, akhirnya dinyanyikan juga “Pulang” dan “Tiga Hari untuk Selamanya”. Setelah
lagu itu, kami memutuskan pulang.
***
Tak sampai sebulan setelah menonton konser yang terakhir, saya
sudah siap untuk pentas musik berjamaah paling besar di Jogja: Ngayogjazz 2012.
Dalam tiap gelaran Ngayogjazz selalu ada banyak panggung yang mementaskan
artisnya secara bersamaan. Saya mengejar untuk nonton Barry Likumahuwa dan
Syaharani and Queenfireworks (ESQI:EF). Bersama Jihan saya ke sana. Di saat yang sama hujan tengah deras-derasnya, yang mungkin membuat banyak orang urung datang. Lokasinya juga terpencil (di Desa Brayut, nama yang baru sekali ini saya
dengar setelah empat tahun tinggal di Jogja). Sekitar pukul 7 malam, kami
sampai di sana.
Panitia Ngayogjazz memang luar biasa. Setelah tahun
lalu membuat anomali dengan menggelar panggung-panggung di Pasar Kotagede (seberapa
sering kamu menonton perhelatan jazz—yang katanya elitis—di pasar tradisional?),
sekarang keriuhan itu ada di tengah-tengah kampung! Saya menemukan panggung
tempat Barry seharusnya tampil di antara rumah dan pohon-pohon pisang. Ditunggu-tunggu,
Barry tak tampil juga. Sepertinya karena atap panggung bocor. Maka kami pindah, ke
arah panggung tempat ESQI:EF dijadwalkan muncul.
Sepertinya waktu itu pukul 8, ketika Syaharani tiba. Sebelumnya,
saya dan Jihan ngakak habis-habisan karena kelakuan empat MC yang luar biasa
kocak. Dua di antaranya adalah Gepeng Kesana Kesini, vokalis The Produk Gagal, dan
Alit Jevi Praba (@alitalit_, kata teman saya dia adalah anak pelawak Marwoto).
Meski tak hapal lagu-lagu ESQI:EF, band ini tetap
menarik. Gitarisnya, Donny Suhendra, sudah berumur dan keren sekali. Ternyata
dia merupakan salah satu pendiri Krakatau dan pernah bikin rekaman bersama
penyanyi bossanova Rien Djamain. Saya lupa berapa lama ESQI:EF bermain dan lagu
apa saja, namun saya tak merasa rugi menonton mereka sambil hujan-hujanan
(sebagian besar yang datang menonton dengan memakai ponco maupun jas hujan).
***
Dan memang, menonton konser live adalah candu. Ketika tahu Sheila on 7 dan Efek Rumah Kaca akan
main di Konser Antikorupsi gawenya BEM Fakultas Hukum UGM, saya bersorak. Tiketnya
hanya Rp15 ribu! Rugi sekali kalau tidak datang. Jadi di sanalah saya, 1
Desember kemarin: di lapangan stadion Kridosono, berdiri 10 meter dari
panggung. MC-nya yang mulutnya liar sekali itu ternyata dia lagi, si Alit-alit
jabang bayi. Haha.
ERK muncul duluan. Ini keempat kalinya saya nonton
mereka: pertama di Kridosono juga, saat pensi Padmanaba, lalu dua kali di acara
Tempo Institute. Cholil masih sama, tampan dan tak banyak omong, sementara Adrian
tak tampil—mungkin masih sakit. Bassis penggantinya adalah seorang pemuda dengan
rambut potongan “mangkok” yang diteriaki beberapa penonton sebagai personel The
Changcuters.
Ada 13 lagu yang dibawakan ERK, ini urutannya: Debu-debu
Berterbangan | Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa | Hujan Jangan Marah | Mosi Tidak
Percaya | Sebelah Mata | Cinta Melulu | Hilang | Balerina | Kamar Gelap | Di Udara
| Kenakalan Remaja di Era Informatika | Lagu Kesepian | Desember.
Lagu-lagu ERK adalah lagu yang punya klimaks. Lagu berjalan
dan kita didorong untuk terus menaikkan nada. Reffrain pertama akan dinyanyikan dengan nada lebih rendah daripada
reffrain kedua. Dan melihat Cholil
menyanyi dengan cara begitu, saya selalu mengira dia sedang trance; kesurupan. Kontras sekali dengan
gayanya yang kalem. Ketika tiba di lagu “Sebelah Mata”, suasana menjadi sedih. Saya
ingat Adrian. Cholil juga, sepertinya. Selain itu, “Di Udara” dibawakan dalam
aransemen baru.
Penutupnya, seperti yang terus diminta penonton sejak
awal, tentu saja adalah “Desember”. Untung hari tak hujan.
Sama macam band-band sebelumnya, Cholil juga menanyakan
apakah kami tak sabar untuk Sheila on 7—yang diletakkan sebagai penampil
terakhir. Mereka seperti didera ketidakpercayaan diri untuk menjadi pendahulu
sebelum SO7. Mungkin Sheila Gank yang datang dengan segala atribut seperti bendera dll. membuat mereka
terintimidasi. Padahal harusnya Cholil lebih percaya diri, sebab di belakang
saya ada penonton yang memakai kaus ERK. Oh ya, saya juga punya kausnya, yang
edisi “Desember”. Wah, malah pamer :p
Oke, jadi begitulah. ERK memang dahsyat, tapi sudah
pernah lihat sebelumnya. Sementara SO7, ini pertama kalinya saya nonton langsung. Akan
macam apa?
Akan macam ini: pertama, beda dia dengan ERK adalah
fanatisme penggemarnya. Saat ERK main, kami berjoget, memang. Teriak juga. Tapi,
ketika SO7 naik dan Duta mulai bersuara dengan mic-nya, semua orang menyanyi, berjoged, dan melompat! Beberapa gadis yang saya yakin masih TK ketika Duta
pertama kali menyanyikan “Sephia”
mendadak jadi anarkis, mereka merangsek maju dan melompat tanpa peduli
yang di sampingnya terinjak kaki. Tapi siapa peduli? Toh semua orang berbuat
sama.
Minus Eross, yang kata Duta sedang ke sebuah pabrik
gitar di Amerika Serikat, Duta dkk. membawakan 15 lagu. Pengganti Eross adalah
pemuda yang saya lupa namanya siapa dan masih SMA. Permainannya bagus, cuma saya
agak kesal melihat dia suka bergitar solo sambil maju ke tengah
panggung. Anak kecil ini cari perhatian betul…. Sementara Adam justru menarik perhatian karena gondrong, brewok, dan gemuk. Sumpah, rupanya malam itu mirip Ridho
Rhoma.
Ini urutan 15 lagu Sheila malam itu: Pria Kesepian | Have
Fun | Sahabat Sejati | Berlayar | Kita | Jadikan Aku Pacarmu, segera disambung
dengan “Bila Kau Tak di Sampingku” | Anugerah Terindah, yang medley dengan “Itu
Aku” | Hari Bersamanya | Seberapa Pantas | Hujan Turun | Melompat Lebih Tinggi
| Bait Pertama | Dan | Kisah Klasik untuk Masa Depan.
Lagu favorit saya adalah “Seberapa Pantas”, dan
menyenangkan bisa dengar itu langsung dari mulut Duta. Aksi panggung Duta
lumayan. Dia atraktif dan tidak mendominasi. Di bagian “Melompat Lebih Tinggi”,
mungkin karena melihat penonton yang makin gila, Duta mencoba terjun ber-stage diving. Tapi belum lagi jauh
dibawa tangan-tangan yang mirip zombie itu, dia buru-buru ditarik oleh panitia
kembali ke panggung.
***
Menonton konser live
adalah candu. Dan Jogja adalah surga untuk itu—setelah Jakarta. Di sini saya
menonton Ten2Five hanya dengan Rp30.000 Maret tahun ini; The Trees and The Wild
dan Mel B gratis karena dibayari Mas Nuran; Rieka Roeslan di Ngayogjazz tahun
lalu; Trie Utami dan Iga Mawarni di Jazz Mben Senen perdana; dan lain-lain yang
saya enggak ingat. Kalau membaca dianggap hobi yang snob atau nerd¸ hobi yang
satu ini bolehlah jadi pengimbang yang keren. Kalau boleh mimpi, saya ingin
lihat konser Dewa 19 dengan Ari Lasso dan Once sekaligus, atau Deep Purple
(aduh, membayangkan saja tidak mampu, “Smoke on the Water” secara live!).[]
Ditulis bersama “Sheep go To Heaven” dan “The Distance”,
9 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar