YOGYAKARTA sudah punya nama gemerlap dalam jagat pariwisata Indonesia dan, mungkin, secuplik dunia, sebagai kota maupun provinsi. Namun sayangnya, ia masih direduksi pantas dikunjungi sekadar karena “kekayaan budaya”. Tak heran, jika melihat iklan-iklan audio-visual yang menampilkan beberapa detik kilasan yang kiranya merepresentasikan Yogyakarta (selanjutnya disebut Jogja), maka tak diragukan lagi, yang muncul pastilah Malioboro, Kraton, adegan tari Jawa, Prambanan, dan Borobudur (yang sesungguhnya merupakan teritori Jawa Tengah).
Apa
tak ada yang baru dari Jogja?
Tentu saja banyak. Kawasan alamiah di Kabupaten Gunungkidul, misalnya, yang terus dijelajahi, dibuka, dan dipromosikan, sehingga akhir-akhir ini lumayan populer. Referensi pantai tak lagi hanya Parangtritis yang gumuk pasirnya unik namun pemandangannya lumrah. Jelajah gua bawah tanah, masih di Gunungkidul, bahkan tengah jadi tren. Tetapi, seandainya ikon Jogja sebagai muara wisata budaya tradisi hendak dibarui dengan titel baru, yakni tempat wisata alam, Jogja tetap muskil mengalahkan Bali, Lombok, maupun lokasi-lokasi lain yang jauh lebih indah.
Sepanjang
pameran akbar “EXPOSIGNS” yang digelar dalam rangka ulang tahun perak Institut
Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, November 2009, salah satu hal yang disesalkan
adalah tak adanya kerja sama antara penyelenggara pameran dengan hotel-hotel di
Jogja.
“EXPOSIGNS”
disebut-sebut merupakan pameran seni rupa terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia. Menyita seluruh lantai gedung Jogja Expo Center yang punya luas 9000
m2, itu belum termasuk halaman JEC yang juga dijadikan ruang pajang
karya-karya raksasa—misalnya patung Kuda
Batik karya Dunadi dengan tinggi 6,5 m, panjang 7
m, dan lebar 2 m. Sebanyak 600-an
karya seni ditata dalam pameran ini, buah tangan 551 seniman yang sebagian
besar merupakan lulusan institut tersebut.
Dengan
skala ruang dan massa sebesar itu, “EXPOSIGNS” mestinya punya daya tarik besar untuk
menarik pengunjung dari dalam dan luar kota Jogja. Mulai dari yang semata ingin
tahu hingga yang memang meminati seni rupa. Namun sayang sekali, hotel-hotel
yang bisa menjadi ceruk-ceruk untuk menjaring pengunjung justru tak digandeng
untuk bantu berpromosi.
Pameran
“EXPOSIGNS” hanyalah satu contoh tentang gemerlapnya seni rupa di Jogja. Dalam
setahun, tak terhitung jumlah pameran yang dihelat di wilayah ini—dari Sleman
di utara hingga Bantul di selatan. Apalagi jika menghitung pameran yang sudah
punya nama yang mendunia semacam Biennale Jogja dan ART|JOG. Atau yang tak
besar juga tak kecil, seperti Biennale Anak, Festival Kebudayaan Yogyakarta
(FKY), Jogja Fashion Week, Festival Film Dokumenter (yang satu-satunya di
Indonesia), atau Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Semua nama itu
diselenggarakan secara rutin setahun sekali.
Pameran "EXPOSIGNS" |
Jika
mau dikalkulasikan dengan pameran berskala galeri, angka pameran seni rupa
Jogja tentu mengejutkan. Dari yang kadarnya tradisional hingga yang
modern-kontemporer. Tak berlebihan jika menyebut, “Tak ada akhir minggu yang
sepi di Jogja.” Selalu ada acara, terutama gelaran seni rupa.
Pada
ranah akademis, dengan ISI-nya, Jogja telah menjadi salah satu dari dua kutub
seni rupa Indonesia. Kutub lawannya adalah ITB di Bandung. Masing-masing
akademi itu melahirkan seniman dengan coraknya sendiri. Ada yang menyebut ITB
berkiblat pada seni “Barat” dan ISI Jogja yang “Timur”.
Akademi
adalah bagian dari infrastruktur seni rupa Jogja. Bagian lainnya adalah galeri.
Ada sekira 60 galeri seni rupa tersebar di seluruh penjuru Provinsi D.I.
Yogyakarta. Selain sebagai ruang seni (art
space), galeri juga menghidupkan seni rupa sebagai bisnis dan ilmu
pengetahuan. Kerja sama dalam berbagai proyek seni rupa, oleh galeri-galeri
tertentu, tak hanya melintas region, tapi juga negara. Sebagai contoh, ada galeri
Jogja Contemporary (sebelumnya bernama Tembi Contemporary) yang merupakan
cabang dari jaringan galeri internasional Valentine Willie Fine Arts (VWFA). Cabang
lain VWFA tersebar di Singapura, Kuala Lumpur, dan Manila. Dengan begitu, artis
dari Indonesia bisa bertukar pikiran dengan seniman asing yang kerap datang
dalam program residensi, serta sebaliknya.
Fungsi
lain galeri adalah sebagai ruang bertukar pikiran. Kebanyakan galeri di Jogja,
yang swasta maupun dikelola pemerintah, menyediakan ruang untuk diskusi,
penciptaan, dan presentasi seni. Bahkan dalam momen-momen khusus, katakanlah
Biennale Jogja, definisi “galeri” sebagai ruang seni meruak ke ruang-ruang yang
tak terkirakan: di bank (Bank Indonesia), museum, pendapa kantor Desa, stasiun,
hingga trotoar.
Karya dalam Biennale Jogja X |
Namun
akademi dan medan seni hanyalah benda mati bila tak ada pelakunya. Dan semua
kelengkapan itu sesungguhnya sudah tersaji di Jogja: art management, event
organizer, rombongan kurator, sejarawan, media massa yang siap
mengapresiasi seni, kolektor, komunitas perupa, dan—yang paling
penting—masyarakat penikmat seni (tradisi, kontemporer, maupun kreasi-kreasi
baru). Lebih ekstrem lagi, ada usaha-usaha progresif untuk menyusun basis data
seni rupa Jogja maupun Indonesia (yang berpangkalan di Jogja) dalam bentuk buku
maupun data digital. Untuk itu bisa disebut dua nama: Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2009 terbitan Gelaran Budaya,
Jogja, dan situs indonesiaartnews.or.id
yang dikelola oleh kurator Kuss Indarto dari Jogja. Yang segera menyusul adalah
buku Direktori Seni Rupa Yogyakarta 2013,
kabarnya akan dirilis pada 11 Maret 2013.
Lalu,
bagaimana respons masyarakat Jogja terhadap geliat seni rupanya?
Ketika
patung Joko Tingker karya Pramono
Pinunggul, salah satu peserta Biennale Jogja X, dipajang di Stasiun Tugu untuk menyambut Duta
Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Cameron Hume, muncul protes dari para
tukang becak yang biasa mangkal di titik 0 km meminta patung tersebut dipindahkan.
Dianggap mengganggukah patung itu? Rupanya, patung tersebut diminta untuk
kembali dipasang di depan Monumen SO 1 Maret, Malioboro, sebab banyak menarik
wisatawan untuk mampir dan berfoto. Berita ini menunjukkan, warga Jogja
memahami seni sebagai aset, meski mungkin dalam aras yang paling pragmatis.
Persentuhan
antara seni rupa dan masyarakat Jogja berlangsung baik-baik. Barangkali
puncaknya adalah Biennale Jogja X yang membagi ruang pamernya dalam dua
kategori: dalam galeri dan di ruang publik. Kategori kedua membuat karya-karya
rupa peserta Biennale digelar di persimpangan jalan, perempatan, di depan
kampus, di satu titik di sebuah desa… Seni rupa tak lagi elitis. Ia tersentuh,
patut disentuh, membaur, dan menyenangkan.
Kualifikasi
Jogja yang demikian membuat ia disebut sebagai salah satu kota seni rupa-nya
Asia Tenggara. Ada pula yang mencatat bahwa Presiden Sukarno menyebut Jogja
sebagai ibu kota seni rupa Indonesia. Bila mencatat kuantitas gelaran-gelaran
penting yang ditaja di Bandung, Jakarta, Bali, dan Jogja—tiga arena seni rupa
paling bingar di Indonesia—rasanya sebutan-sebutan itu tidak melebih-lebihkan.
Kurator Mikke Susanto menulis, perkembangan seni rupa Jogja memang yang paling
pesat di Indonesia, juga dengan jumlah perupa terbanyak: dua hal yang mendukung
turut ramainya wacana seni rupa di sini.
Pembukaan Biennale Jogja X di Taman Budaya Yogyakarta |
Namun,
meski mendunia, seni rupa Jogja punya khas, genialitasnya sendiri. Seni rupa
merambah ruang publik mungkin memang langka di Indonesia, namun itu telah biasa
untuk khalayak Eropa, misalnya. Genialitas Jogja bisa dibaca, salah satunya,
dari komentar Camiel van Lenteren terhadap ART|JOG 2011 berikut.
“ART|JOG|11 hadir dengan image provokatifnya sendiri: sebuah kepala bayi raksasa dari tanah
liat, terbaring di dalam sebuah lubang besar, karya Eddi Prabandono. Saya belum
pernah mengalami yang seperti ini di art
fair lainnya, sebuah pintu masuk yang mengharukan.”
Van
Lanteren adalah project leader
exhibitions untuk Centraal Museum, Utrecht, Belanda. Pernyataannya tersebut
bisa dibaca di situs artfairjogja.com. ART|JOG sendiri dipuji sebagai art fair yang “lain daripada yang lain” sebab
meniadakan campur tangan galeri dalam pamerannya.
Maka,
dengan catatan yang sedemikian rupa, seberapa banyak seni rupa di Jogja
disadari sebagai potensi wisata?
Merintis citra ikon seni rupa
Setelah
infrastruktur tersedia, tugas yang sesungguhnya adalah bagaimana menjaring
orang untuk datang menyambangi tempat-tempat yang telah tersedia. Ini soal
membuat orang-orang—calon wisnus dan wisman—terlebih dahulu tahu bahwa lokasi-lokasi yang siap
dirujuk itu ada.
Muhidin
M. Dahlan dalam “Almanak Kota” (Jawa Pos,
2 Desember 2012) mengingatkan akan pentingnya almanak bagi sebuah kota. Menurutnya,
brosur (pariwisata) terlalu “ringkih” untuk merekam jejak kota yang terus
bergerak tiap detiknya. Di sisi lain, petunjuk semacam Yellow Pages maupun
White Pages hanya ditujukan bagi yang sudah tahu apa yang ia tuju (sehingga ia
tinggal merujuk pada alamat saja). Kedua jenis direktori babon itu tidak
menerangkan kualitas dan deskripsi—yang justru persuasif—mengenai sesuatu yang dicari-cari oleh wisatawan.
Contoh
bagus untuk sarana promosi pariwisata yang menyediakan informasi paling lumrah
yang dibutuhkan wisatawan adalah situs travel.nytimes.com,
sayap media bergengsi New York Times.
Di situs ini tersedia panel-panel seperti “where to eat”, “where to stay”,
“what to do”, dan “when to go”. Ia juga menyediakan jasa booking tiket pesawat, hotel, mobil, hingga kapal. Kemudahan yang
demikian lebih disukai pelanggan. Menurut Nick Szabo, ekonom George Washington
University, itu karena kemudahan tersebut menihilkan biaya transaksi mental alias biaya untuk berpikir. Sayangnya, untuk kawasan Indonesia, travel.nytimes.com hanya menyimpan
direktori untuk entri “Bali”.
Salah satu web tentang Jogja |
Laman travel.nytimes.com |
Sudah
banyak basis data pariwisata Jogja, namun yang sekiranya paling baik dan
terkelola adalah yogyes.com yang
tersedia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Selain itu, seiring dengan
semakin populernya website bersistem
2.0 (pengguna tak hanya konsumen, namun juga produsen informasi) seperti
Twitter dan Facebook, muncul akun-akun yang membagi-bagikan informasi gratis
seperti @InfoJogja, @JogjaUpdate, page
YOGYAKARTA, atau @InfoSeniJogja.
Namun
kelemahan dari akun-akun pengumpul itu adalah
sistem timeline yang terus
bergerak cepat. Butuh sebuah model kumpulan informasi kota yang lebih baku,
teratur, lengkap, dan sistematis. Untuk itu, almanaklah jawabannya.
Spesifiknya, yang dimaksud kali ini adalah almanak kota seni rupa.
City
guide gratis
Almanak
kota seni rupa adalah gabungan antara almanak kota dan almanak seni rupa. Ia
tak hanya direktori alamat sebagaimana White Pages, namun menerakan deskripsi
kualitatif, bahkan kalau perlu disertai rating
mengenai wahana seni rupa yang bisa dikunjungi di Jogja.
Mengingat
almanak yang biasanya tebal, mungkin yang terbayangkan adalah kerja
penyusunannya yang pasti berat. Semua bisa jadi sangat mudah jika merujuk pada
kerja penyusunan Oxford
English Dictionary yang dimulai tahun 1858. Frederick J. Furnivall,
ko-kreator OED, membuat iklan di koran untuk memanggil bantuan para pembaca volunter yang kemudian sukarela membantu penyusunan kamus tersebut. Dengan
adanya situs semacam yogyes.com
maupun akun-akun pembagi info di jejaring sosial, penyusunan materi almanak
hanya perlu dilakukan oleh beberapa penyunting. Sebab, yang perlu dilakukan hanya
tinggal menyeleksi dan memverifikasi data.
Dengan
melibatkan banyak orang dalam pengumpulan data almanak tersebut, keuntungannya
adalah selain biaya mengumpulkan data yang nol rupiah, kegiatan tersebut juga akan
mengintroduksi almanak itu sejak sangat dini. Partisan pengumpul informasi
kelak juga akan menjadi konsumennya. Dengan kata lain, promosi telah dilakukan bahkan sejak benda
tersebut masih dalam bentuk data mentah. Ini jamak terjadi di dunia maya ketika perusahaan-perusahaan besar meluncurkan versi beta suatu produk (versi percobaan) yang tak berisiko pada penerimaan produk oleh konsumen. Kritik, saran, maupun perilaku konsumen terhadap produk itu justru sangat berguna untuk menyempurnakan produk.
Hal penting lainnya adalah,
almanak ini nanti haruslah dikemas
dengan memanfaatkan konvergensi media: berupa cetak, digital, dan online. Keharusan kedua, apapun
bentuknya, ia harus bisa didapatkan gratis. Sebab, tujuan pertama adalah
me-massa-kan terlebih dulu informasi: bahwa Jogja adalah kota seni rupa. Harga
adalah hambatan pertama dan terbesar bagi calon wisatawan untuk tahu. Hambatan kedua adalah gerak. Sebagai contoh, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kota Yogyakarta telah bekerja dengan baik ketika menghasilkan beberapa buku
mengenai pariwisata dan kebudayaan. Namun buruknya, buku tersebut justru
dicetak terbatas dan untuk mendapatkannya orang harus bergerak datang ke kantor dinas. Bagaimana jika yang berminat
adalah orang yang tinggal di luar Pulau Jawa? Tentu sangat merepotkan. Mengenai
mekanisme gratis yang tidak merugikan lebih lengkapnya bisa dibaca dalam buku Gratis: Harga Radikal yang Mengubah Masa
Depan (Gramedia, 2010).
Singkatnya,
promosi dan kemudahan yang sebesar-besarnya bagi calon wisatawan merupakan
faktor penting untuk membuat almanak tersebut sepopuler mungkin. Selanjutnya, tahu yang akan bekerja dengan sendirinya
mendatangkan wisatawan ke Jogja. Bila digambarkan dengan analogi, mungkin
begini: tidak semua orang yang memakai smartphone
memang membutuhkan fitur yang disediakan, namun karena orang tahu (dan ingin tahu lebih lanjut)
mengenai produk satu itu, mereka pun mengonsumsinya.
Bagian
terakhirnya adalah, semua informasi tersebut harus merangkul dan menghubungkan
komponen-komponen pariwisata, yakni penginapan, sarana transportasi, tempat
belanja, toko souvenir, pusat jajanan, dan lain-lain.
Menciptakan “Google”
Seni
rupa adalah potensi pariwisata Jogja yang belum tergali. Di sini, bisa dijumpai
karya rupa tradisional (wayang, keris, ukir-ukiran kayu, batik) hingga yang
modern dan kontemporer (lukisan, patung, seni grafis, arsitektur, media baru,
foto, dan film). Ruang seni tergelar di rumah pribadi, galeri seni, balai
kebudayaan milik pemerintah, hingga di ruang publik. Pentas-gelaran seni
tersaji nyaris sepanjang waktu. Informasi mengenai semua itu bertebaran,
menyerak, begitu banyak, sekaligus tak tertata. Almanak kota seni rupa inilah
yang akan menjadi pengumpul data, rujukan informasi yang sedianya jadi yang
pertama kali terlintas di pikiran ketika seseorang hendak menjelajah Jogja dari
manapun ia berada. Sebab limpahan informasi terkadang justru menjadikan orang
bingung harus mulai dari mana. Untuk itu, almanak ini akan menjadi semacam
“Google”, sesuatu yang pertama kali dipikirkan seseorang ketika ingin mencari
tahu. Ia juga harus tercitrakan sebagai sumber yang valid, objektif, dan tidak
terkontaminasi iklan.
Akhir
2013 akan diselenggarakan Biennale Jogja XII. Gelaran kali ini merupakan seri
kedua dari rangkaian Biennale Equator yang menampilkan kerja sama Jogja dengan
negara lain. Seri pertama yang ditaja akhir tahun lalu telah memamerkan karya
seniman India dan Indonesia. Ini adalah gawe internasional yang semestinya bisa memancing datang orang-orang dari segenap penjuru. Apakah Jogja sudah siap
menjadi ikon seni rupa Asia Tenggara?[]
Referensi
website
http://www.krjogja.com/news/detail/16969/Diprotes.Warga..Patung.Joko.Tingker.Dikembalikan.Lagi.html
Buku
Anderson, Chris. 2010. Gratis: Harga Radikal yang Mengubah Masa
Depan. Diterjemahkan oleh Daniel Wirajaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dahlan, Muhidin M. 2009. Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2009.
Yogyakarta: Gelaran Budaya.
Wenchester, Simon. 2007. The Professor and The Madman.
Diterjemakan oleh Bern Hidayat. Jakarta: Serambi.
Lain-lain
“Pameran Besar Seni Rupa 'EXPOSIGNS':
600 Seniman Bidik Indonesia yang Keruh”. Kedaulatan
Rakyat, 14 November 2009.
fix, Tahun ini harus nyentuh jogja!
BalasHapusSumonggo :D
Hapus