Masa kecil saya bahagia :) |
DULU di rumah ada sebuah tape merek Sony. Bapak saya
tipikal yang suka membeli rekaman lagu anak-anak, dari yang kaset tape hingga
CD. Satu kaset selalu diputar waktu saya kecil. Warnanya hitam, ada label
berwarna oranye dengan motif batik. Tak ada judul, tak ada keterangan penyanyi.
Dari umur tiga tahun, saya sebut itu kaset—meniru cara Ibu menyebutnya—kaset Chicha.
Setelah saya besar, saya baru tahu itu lagu-lagu Chicha Koeswoyo.
***
Ibu saya tipikal orang zaman dulu yang mendidik anak
dengan hukuman fisik. Saya merasa karena sikapnya itu, saya jadi orang yang penakut.
Takut bicara di depan kerumunan orang asing, takut menonjolkan diri di
lingkungan baru, takut bertanya, dan—yang paling parah—takut berbuat salah.
Makanya, kalau ada hal-hal yang saya enggak mengerti, saya
hanya akan membayangkan sendiri penjelasan-penjelasannya. Itu karena takut
bertanya. Dan sebagai anak kecil, saya ingat, ada hal-hal yang saya enggak
mengerti lalu saya berusaha jelaskan sendiri, dan ketika besar, saya merasa
penjelasan itu bodoh sekali, haha.
***
Hingga kelas 2 SMP, saya tak kenal bahasa Jawa. Di
kaset Chicha tadi, saya kenalan dengan bahasa itu untuk kali pertama. Tepatnya
di salah satu lagu. Judulnya “Ojo Lali” (dan ketika SMP saya baru tahu itu artinya
‘jangan lupa’, hahaha). Lagu ini menyenangkan. Saya hapal, meski enggak tahu
artinya. Tapi ada satu bagian yang janggal dalam liriknya.
Lali lali jo lali
Tak kandani jo lali
Yen wengi
sinau
Awan bantu
ibu
Oke, sampai baris ketiga, saya benar-benar tidak
menangkap makna apa-apa. Baru di baris keempat, tiga kata yang muncul adalah
kosakata yang saya kuasai, tapi kok maknanya janggal, ya?
Kebiasaan saya yang lain: ketika mendengar atau
membaca, saya suka membentuk situasi visual. Bayangkan ketika kamu sedang
mendengar lagu “Strawberry Fields Forever sambil berimajinasi tentang sebuah
kebun strawberi, ya semacam itulah.
Baris keempat itu bikin saya membayangkan awan-awan
putih yang punya tangan dan membantu ibu mencuci piring. Sumpah, adegan itu
muncul di kepala saya dan bikin saya puas (ya, pasti demikian yang dimaksudkan
dalam lagu itu!). Waktu SD tentu saya belum kenal dengan surealisme, tapi
situasi tentang awan tadi entah kenapa bisa diterima mentah-mentah saja. Haha.
Ada pula lagu “Kasih Ibu” yang saya salah pahami artinya
sehingga jadi ambigu dan, meski bertanya-tanya mengapa bisa ambigu, tetap saja
tak pernah saya tanyakan ke orang lain.
Kasih ibu
Kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi
Tak harap
kembali
Bagai sang surya menyinari dunia
Di bagian tak harap kembali, tentu saja maksudnya, si
ibu tak mengharapkan pamrih buat kasih sayangnya. Tapi dulu sekali saya kira
yang dimaksud adalah si anak. Jadi, dalam kepala saya ada adegan seorang ibu
yang kasih sayangnya hanya diwujudkan dengan memberi uang lalu tak mengharapkan
si anak kembali ke rumah. Bahasa kasarnya, diusir. Haha. Entah kenapa saya bisa
memisahkan sepotong lirik satu ini dari keutuhan seluruh liriknya. Yang jelas,
saya merasa itu aneh dan ambigu, tapi saya terima saja sebagai penjelasan.
Waktu SMP baru saya sadari itu salah pengertian yang kelewatan..
***
Sampai sekarang saya masih penakut. Mungkin kegiatan
saat kuliah agak bikin itu luntur, tapi ketika menerima tugas wawancara atau
mencari jalan, saya masih suka takut bertanya pada orang. Selain itu, hobi
memvisualkan hal-hal literer atau audio masih berlanjut, bikin saya teringat
kajiannya Tia Setiadi soal hubungan lukisan dan puisi dalam karya Afrizal
Malna, hehehe.
***
Entahlah ini mau disebut catatan apa. Kapan hari, saat
sedang duduk dalam perjalanan dengan mobil saya tiba-tiba saja terkilas
visualisasi awan bertangan yang mencuci piring itu. Ingat masa kecil. Ternyata
kalau dipikir-pikir, sampai sekarang saya masih gemar mengiyakan hal-hal yang
tak logis. Jatuh cinta lagi, misalnya, hahaha.[]
NB: Aih, saya kangen ibu. Minggu depan saya akan pulang karena ia paksa. Alasannya: Pilkada! Enggak boleh golput!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar