--ini kisah nyata. Kutulis khusus untuk M.
KETIKA ia jatuh dari langit dan terduduk tepat di
sampingku, aku sedang selonjor di atas batu kapur yang datar, di tebing yang
tak jauh dari sebuah pantai. Untunglah, meski batunya keras, setidaknya ia
jatuh di permukaan rata. Walau tubuhnya tak terluka, tapi kepalanya mungkin
menyerempet burung waktu melintas di langit tadi sehingga agak pusing, sebab
ketika kutanya jawabnya melantur, menurutku.
“Apakah kau Clark Kent?”
“Bukan”
“Tapi setahuku, laki-laki yang datang dengan cara
jatuh dari langit hanya Superman. Pangeran Kecil juga sebenarnya, tapi, ya, dia
masih kanak-kanak.”
Hening.
“Kamu datang dari mana?”
“Saturnus.”
“Siapa namamu?”
Alih-alih menjawab, ia justru menciumku. Di bibir. Ya,
di bibir. Ciuman jelas jawaban yang melantur jauh dari pertanyaanku soal nama.
Tapi entah mengapa, aku menyukai ciumannya.
Ia semakin melantur. Bukannya mengajakku mengobrol layaknya orang baru kenal, ia justru menyisir rambutku dengan jari-jarinya.
“Rambutmu bagus,” katanya.
Seharusnya aku marah dan menepis tangannya,
mengomelinya soal ciuman yang tak patut, atau kalau perlu memukulinya dengan
batu yang banyak bertebaran di sekitar kami. Tapi ketika melihat matanya, aku
disergap keinginan untuk menyandarkan kepala pada bahunya. Maka itulah yang
kulakukan. Ia menyambutku, memelukku di pinggang.
Senja hari itu adalah senja teraneh yang pernah
kualami. Sebab aku menyaksikannya sambil duduk bersebelahan dengan lelaki baru
kukenal yang beberapa menit lalu terlempar dari Saturnus dan sampai di Bumi. Tepat
di sebelahku.
Jikalau ia Superman, semua akan lebih masuk akal.
***
Untunglah ia bukan Terminator yang mendadak datang
dari masa depan tanpa pakaian. Ia bahkan punya nama, namun terlalu susah untuk
kulafalkan. Bahkan usahaku untuk menuliskannya dalam huruf Latin, Rusia, China,
Arab, Sanskrit, Jawa, bahkan Paku gagal semua. Sebelum berepot-repot menuliskannya
dalam transkripsi fonetik, aku memutuskan memberinya nama baru saja: M.
Aku mulai hidup dengannya. Ia kuamat-amati. Sebagai
makhluk antah berantah, ia sungguh tak mirip dengan gambaran film fiksi-sains
manapun. Aku bahkan ragu sama sekali untuk menyebutnya alien. Dia normal
senormal manusia biasa. Tahu-tahu saja ia membaca koran dan mengomentari berita
politik hari ini sambil menyesap kopi. Ia juga tak bertanya bagaimana cara
memakai pancuran mandi. Kapan hari ia malah memasangkan tabung LPG ke kompor
gas. Tapi bagian dirinya yang paling irasional adalah ia hapal semua lagu milik
Oasis. Katanya ia juga suka Coldplay. “Alien hipster,” batinku.
Kadang aku memang agak terganggu dengan sifat M yang
pendiam, namun—entah ia sadari atau tidak, aku menemukan hal-hal yang membuatku
mengaguminya diam-diam.
Ini contohnya. Suatu kali kami sedang di perjalanan
ketika ban mobil bus yang kami tumpangi meletus. Semua orang panik. Supirnya
juga. Ia supir baru. Sialnya, hari ini kondektur yang biasanya menangani
masalah-masalah begini tengah libur. Supir itu mulai membongkar-bongkar
peralatan dengan muka dungunya. Di saat seperti itu, semua orang menampakkan
wajah dungu. M diam saja dan aku pun mulai muak karena merasa ia juga
ikut-ikutan dungu. Padahal mukaku, jika aku mengaca, tampak sama dungunya.
"Being silent is not being dumb," kata Sartre. Ia benar juga.
M memandangi supir yang canggung itu sejenak, lalu
memutuskan untuk lifting, nyetop
kendaraan yang lewat untuk menumpang. Aku semakin muak, kenapa di saat genting
begini ia justru mau kabur. Ia semakin tidak tampak jantan. Ia bahkan tak
menawariku untuk ikut, juga membiarkan tasnya tetap di bagasi bus. Aku yang
harus bawa, begitukah maksudnya? Sialan!
Pada akhirnya kami semua tahu jika M hanya pergi
mencari montir dengan tumpangan itu. Ketika ia kembali dengan seseorang yang
menenteng tas peralatan, aku merasa bangga sekali padanya.
Begitulah M, ia sering melakukan hal-hal mengejutkan.
Dan entah ia tahu atau tidak, tiba-tiba saja aku mulai takut kehilangannya.
Siapa tahu suatu hari mendadak sebuah piring terbang atau elang datang
menjemputnya. Aku tak akan siap.
Barangkali M tahu apa yang aku pikirkan. Setelah
kejadian dengan bus itu, malamnya kami di sofa, nonton film bodoh Cromartie Highschool. Sementara aku
ketawa-ketawa, ternyata ia malah memandangiku lama sekali.
Sejurus kemudian semua menjadi hangat. Aku balas
memandangnya. Aih, ia tersenyum. Tahu tidak, itulah posenya yang paling tampan.
Dari matanya aku tahu, ia tahu apa yang aku pikirkan tentang dia.
***
Besok aku akan mengirim petisi ke studio-studio film
di Hollywood dan Lembaga Ilmu Pengetahuan supaya ada pengkajian ulang soal
citraan alien, UFO, dan makhluk-makhluk luar angkasa lainnya dalam tayangan
berita maupun sinema fiksi-sains. Kuharap, akan ada sedikit variasi dari alien
yang melulu bermata besar, berkepala abnormal, dan bertubuh biru, sebab di
sini, di pangkuanku, tengah tidur alien tampan yang 100% normal.
Dan aku jatuh cinta padanya.[]
NB.
Aku pernah membuat catatan tentang M ketika kami belum
lama hidup bersama. Tapi butuh waktu lama untuk meredam malu sebelum berani
mengunggah ini ke blog. Kau jangan senyum-senyum saat membacanya, ya :-P
Alisnya
tebal. Tahi lalatnya sama dengan kepunyaan saya, cuma letaknya agak berbeda.
Tatanan rambutnya seperti bapak saya punya. Hidungnya tidak mancung, tapi juga
tidak melesak ke belakang. Lalu tingginya. Lebih tinggi daripada saya. Saya
memang tak pernah suka pasangan pendek. Tidak maskulin. Sayangnya, ia tidak
suka umbar senyum, padahal kalau tersenyum manis sekali.
Saya
ketemu dia beberapa tahun lalu, tapi tak pernah menganggap dia mengesankan. Lalu
saya tahu: dia lelaki yang kalau bicara bisa bikin kita tertawa, tidak
tergelak, tapi cukup bahagia; dia juga tidak membuat kita menangis
tersedu-sedu. Dia manusia tengah-tengah. Tidak lucu, tapi tidak garing. Tidak
romantis, tapi sekali romantis berkesan sekali. Jangan lupa, dia berkulit
terang, ya, saya suka lelaki berkulit terang. Dan tentu saja: tidak boleh
berhidung melesak ke dalam.
Ia lelaki
cerdas. Kalau belajar sedikit lagi, punya fokus, dia pasti genial. Selera kami
sama. Ah, tidak, saya agak melankolis, dia cenderung koleris. Cuma bacaannya
agak menjauhi sastra, sayang sekali.
“Menemukan” dia adalah akhir penantian
panjang. Sudah begitu lama saya tak bertemu lelaki tenang... Lelaki yang tidak
membuat kekasihnya khawatir bahwa ia akan main belakang; lelaki yang tanpa
perlu jual kata pun akan dipercaya setia. Pendeknya, bersama dia kita akan
merasa "mapan". Lelaki yang para perempuan akan bilang, "saya
mencintainya karena ia menciptakan kedamaian." Rasa aman. Sesuatu yang
paling sensitif buat manusia. Esensial, dicari-cari. (Desember 2012)
6 Maret 2013
Cieeeee :v :v :v
BalasHapuscieeeeeeeeeeeeee :V
Hapuswow, tulisan pake perasaan memang meninggalkan memori kekal...
BalasHapusHmm, sepertinya teman saya tak masuk kategori cowok idaman anda :D
BalasHapus