PLESIR adalah salah satu kata serapan dari bahasa
Prancis, plaisir. Artinya bisa
menyenangkan (sso.), senang, atau kesenangan.
Saya yakin, dengar tema plesir, kawan-kawan yang
lain akan tulis sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan liburan ke suatu
tempat yang tidak menyehari. Padahal “senang” tak mesti dicari di tempat
wisata, bukan? Bahwa kemudian kita harus cari hari tertentu untuk pergi bersama
keluarga ke suatu tempat yang masuknya pakai biaya, main di wahana-wahananya
juga pakai biaya, lalu itu baru bisa dinamai plesir, saya kira mestinya ditolak
saja.
Kerja di hari Senin sampai Jumat, rehat di dua hari
sisanya; guru yang menjadi guru karena dia mengajar di sekolah, tukang cukur
yang menjadi tukang cukur karena ia punya kios cukur, pelajar yang jadi pelajar
karena dia terdaftar di sebuah sekolah: lihat, itu semua spesifikasi,
spesialisasi, yang dibuat oleh rezim modernitas. Semua punya tugasnya
masing-masing, alokasi khusus. Main ke tempat wisata di hari Senin jadi
janggal, kecuali sedang libur tanggal merah. Pelajar yang bisa mencukur dan
punya kios cukur sembari sekolah pun akan sulit mau disebut apa. Itulah dia
kuasa rezim, semua mesti dinamai, semua harus punya satu fungsi yang jelas.
Rezim modernitas inilah yang mengotak-kotakkan
aktivitas kita. Kerja lima hari seminggu, sekolah enam hari seminggu, sisanya
baru boleh untuk malas-malasan. Cukup sehari dua hari, sebab malas pangkal
miskin dan bodoh. Yang modern benci kegiatan kontraproduktif macam
malas-malasan. Dan hari libur, hari plesir itu identik dengan yang tidak
produktif. Kita justru didorong untuk konsumtif. Buang uang sebanyak-banyaknya
untuk jalan-jalan. Plesir itu kegiatan luang yang jarang di mana kita tak perlu
berpikir rumit.
Mau analisa yang lebih mengerikan? Pakai cara
Marxis, mungkin: plesir itu suplemen minimum untuk kita supaya tetap
bertahan hidup. Seperti halnya upah yang
sebisa mungkin tetap bisa dibelikan makanan supaya buruh tetap bisa bekerja.
Kita harus menolak itu. Menolak hari-hari plesir
yang terjadwal, menolak plesir yang seremonial.
***
Sebab hakikat plesir adalah plaisir, rasa senang.
Saya belum pernah ke Dufan atau Seaworld, tapi dulu
pernah sekali diajak tante dan om ke Taman Safari di Prigen, Pasuruan. Itukah
yang namanya plesir? Kalau iya, saya mau mengaku: ke taman safari tidak enak.
Terkungkung di dalam mobil, tidak boleh buka kaca padahal kijang merubung di
baliknya, dan bea masuknya mahal sekali. Apa saya merasakan sebuah plaisir?
Mungkin itu yang om dan tante harapkan, tapi nyatanya tidak.
Yang saya rindukan justru plesir yang tidak seperti
plesir blas. Waktu SMP misalnya, ketika musim badminton, tiap hari saya main
badminton sama sepupu dari jam 4 sampai setengah 6. Pulang keringatan dan pasti
sudah terlewat waktu asar sehingga bolos salat. Plesir itu main sepeda
siang-siang ke sawah dan sejenak merasa jadi George di Lima Sekawan-nya Enyd Blyton. Plesir itu duduk di depan TV sampai
larut malam sama bapak dan ibu tiap kali mudik. Plesir itu bengong di Malioboro
dengan pacar sambil mengomentari ini-itu. Plesir itu saat suatu ketika saat
kuliah dapat telepon dari surat kabar dan ditanya nomor rekeningnya berapa.
Plesir itu diberi ucapan selamat ulang tahun oleh teman-teman. Plesir itu
menjaili adik yang sedang nonton TV sampai dia marah-marah sendiri. Juga bisa
berupa meringkuk di balik selimut sambil baca buku sementara di luar hujan
tengah deras-derasnya.
Atau plesir yang ekstrem.
Yakni, menghabiskan waktu untuk membentuk satu
pemikiran. Atau bikin catatan macam ini. Sebab plesir bisa apa saja, di mana
saja.[]
Addendum:
Catatan untuk KCM EKSPRESI.
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)