BELUM ada satu dekade ketika para pekerja kreatif
benci setengah mati pada musuh yang sama: pembajakan. Hak cipta jadi tameng
untuk melindungi karya kreatif. Namun waktu berjalan begitu cepat, kini, pembajakan
justru menjadi tindakan yang diharap-harapkan.
Mulanya adalah musik. Tahun 2000-an Radiohead, kalau
tidak salah, merilis album yang bisa diunduh gratis. Menghadapi pembajakan
dengan mengeluh di televisi dan memohon dengan sangat pada para penggemar untuk
beli kaset asli sudah jelas tak ampuh. Menular di Indonesia jelang akhir dekade
2000-an, saat ini pemusik lebih banyak hidup dari iklan, penjualan merchandise,
pembelian lagu digital secara online, dan konser.
Industri buku juga menghadapi musuh serupa. Buku
bajakan luar biasa membajir pasar. Belum lagi edaran buku digital yang mudah
diunduh. Lalu penulis mau hidup dari mana?
Mungkin ini kesannya seperti kabar buruk. Pembajakan
seperti epidemi yang tak peduli bahwa pekerja kreatif juga minta dihargai.
Memang, karya kreatif dilindungi hak cipta yang dijamin oleh undang-undang.
Tapi saya kira aplikasinya nol. Toh di mana-mana kita masih melihat rental film
dan lapak kaset bajakan, juga kios-kios yang jualan buku bajakan macam di
Terban ayem tentrem saja.
Tapi di sisi lain, pembajakan adalah upaya membuat
pengetahuan egaliter. Sebentar, jangan ringkus pengetahuan sekadar berarti
buku-buku eksakta. Musik juga pengetahuan, film juga pegetahuan. Semua karya
kreatif adalah pengetahuan. Mendengar dan membaca banyak meluaskan cakrawala
kompetensi pembaca dan pendengar. Kata siapa orang di desa hanya dengar musim
dangdut atau baca novel stensil? Surfing
saja sebentar dengan ponsel pintar atau laptop, segera aja kamu bisa mengunduh karya
Chopin atau What Is Literature-nya
Sartre. Luar biasa.
Di sinilah masalahnya: siapapun yang bermimpi hidup
dari menulis akan menjumpai dilema saat mengetahui dua wajah Janus pembajakan
itu. Di satu sisi sepakat bahwa pengetahuan adalah hak semua orang, di sisi
lain menyadari bahwa hidup tidak bisa hanya bermodal idealisme.
Tapi percayalah, zaman bergerak dan berdialektika.
Sekarang, si musuh itu justru menjadi tema baik.
***
"Musuh
para penulis bukanlah pembajakan, tapi tak dikenal" - Penerbit Tim O'Reilly
Di era
atom, saat hero masih menempati posisi terhormat, hidup yang eksentrik selalu
menimbulkan rasa decak. Ada yang tiba-tiba menghilangkan diri selama
bertahun-tahun. Ada yang menepi di ceruk-ceruk tempat yang sepi. Sosok yang
dengan sempurna dirangkai Seno Gumira Ajidarma dalam "Manusia Kamar".
Ini era
bit, ketika kelimpahan dan kemudahan informasi menjadi ciri khas; ketika
seseorang dinilai bukan karna eksentrikannya tapi bagaimana tampil di publik
dengan diferensiasinya. Di era bit ini, hero mati. Yang dianggit adalah yang
muncul terus-menerus tiada henti.
Di era ini kedangkalan adalah konsekuensi. Berjalan
beriringan dengan kecepatan. Cepat dan dangkal. Dan di situasi masyarakat yang
seperti ini, kehebatanmu membaca puluhan buku dalam sebulan atau kekuatanmu
meriset bertahun-tahun terhadap satu topik akan dilihat sebagai anomali. Atau
mendapatkan pengakuan ringkas: wowwwww! Ya begitu saja. Tak ada yang lain.
Ini era
ketika kamu harus dikenal seluas-luasnya untuk mendapatkan kapital dari
tulisanmu. Dan kapital itu adalah GRATIS. Gak salah tulis. Ya, gratis. Kamu
dituntut untuk menggratiskan karyamu. Tak peduli kamu mengerjakannya selama
bertahun-tahun.
Jangan
bersedih ya. Jangan menggerutu bahwa dunia ini tak adil. Pahami karakter zaman
ini dan berkaryalah dengan karakter itu. Jika tidak, terimalah nasib lahir di
masa yang tak tepat.
Jadi
sudah jelas, musuh besar penulis saat ini bukan lagi pembajakan, tapi tak
dikenal. (MMD, “Musuh Terbaru Penulis”)
Tulisan ini menyadarkan bahwa rintangan penulis hari
ini adalah tetap bertahan dalam terjangan badai informasi. Digitalisasi dan
koneksi global lewat internet mengubah cara hidup kita—pembaca. Apa, misalnya,
yang menggerakkan pilihan kita untuk membaca ini dan tidak membaca itu? Tesis
Gus Muh di atas menjawab, yakni nama penulis. Dengan begitu, penulis justru
mesti berkawan dengan pembajakan untuk melawan musuh terbarunya, yakni “tidak
dikenal”.
Komentar Cory Doctorow, aktivis teknologi, di majalah
New Scientist bernada serupa. “Obscurity,
not piracy, is the biggest problem writers face. In the 21st century, if you
are not making art with the intention of it being copied, you are not making
contemporary art.”
Ini bukan cuma masalah penulis, juga penerbit. Dan dua
komponen itu turut dihidupkan di EKSPRESI. Apa jalan keluarnya?
:: “We have a
name for things that don’t copy themselves: dead”, Cory Doctorow.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar