HERMINARTO Sofyan atau Pak Hermin adalah orang
Rektorat semasa
saya masih bergiat di organisasi kampus. Kerjanya sebagai pembantu rektor 3,
sekarang disebut wakil rektor 3, yang mengatasi urusan-urusan kemahasiswaan di
UNY. Saya beberapa kali bersinggungan dengan dia, datang ke kantornya, dan
pernah dua kali main ke rumahnya bersama teman-teman EKSPRESI. Maret 2012 lalu jabatannya selesai. Dua
periode (2004-2012) mengurusi mahasiswa tentulah bukan urusan mudah, apalagi
menghadapi segerombolan anak yang selalu mau tahu dan gemar demo. Anehnya, dia
tak pernah didemo. Tak pernah.
Bersamaan dengan kabar selesai jabatannya, saya
ditawari membantu penulisan buku "kenang-kenangan" dari UNY untuk Pak
Hermin. Saya terima. Jadilah saya mengunjungi 10 orang untuk menggali sosok satu
itu. Ada yang birokrat, ada yang dosen, ada dosen yang mantan aktivis kampus,
serta mahasiswa yang pernah bersinggungan dengan Pak Hermin. Saya juga meminta
satu tulisan dari Nisrina soal beliau, serta meliput satu acara perpisahan
khusus gawenya anak-anak dari gabungan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UNY.
Iya, dia dibuatkan acara perpisahan khusus. Dapat
kado dari masing-masing UKM. UKM Paduan Suara menyanyikan lagu, EKSPRESI
menyumbang lukisan bergambar Pak Hermin dan istrinya, UKM Menwa
bahkan kasih kado baret ungu yang langsung Pak Hermin pakai.
Saya tak punya kesan khusus dengan beliau selain
ingatan bahwa istrinya selalu membungkuskan kue-kue beserta toples-toplesnya
saban kami sowan Idul Fitri ke rumah mereka. Rumah mereka tak mewah, saya
pikir. Di gang. Ruang tamunya sempit. Tak ada pekarangan. Mobilnya cuma satu.
Setelah banyak wawancara, saya mendapat kesan: bapak
satu ini lovable. Dicintai.
Bawahannya hormat. Dia tak pernah membentak, tak pernah marah. Tak pernah
mengadu satu bawahan dengan bawahan lainnya. Pengertian. Mau memahami orang
yang kemampuannya pas-pasan. Tidak arogan. Tahu cara bersikap menghadapi
mahasiswa. Kisah dengan Pak Gun, misalnya, orang yang tadinya cuma mbengkel, ngurusi air dan perawatan
mesin—kerja-kerja kasar, pokoknya—di Fakultas Teknik, akhirnya bisa jadi kepala
bidang yang mengurusi barang bernilai ratusan juta rupiah. Kantornya bagus dan
wangi, walau masih berantakan dengan berbagai tumpukan barang peralatan.
Tulisan ini tulisan lama. Kesan wawancara yang saya
rangkum. Mungkin, kelak, jika saya jadi orang tua, yang model beginilah yang
patut dicontoh. Sungguh, saya pikir, jadi kaya atau terkenal tak berarti
apa-apa dibandingkan dicintai banyak orang. Ah, Pak Hermin… Dia bikin saya,
untuk pertama kalinya dalam hidup, memuji-muji seorang birokrat.
Catatan
Reportase: Si Periang yang Menyanyikan Sepasang Mata Bola
oleh Prima S. W.
NASKAH-naskah dalam buku ini
disusun dari berbagai wawancara. Subyeknya adalah orang-orang yang pernah
bekerja bersama dengan tokoh utama dalam buku ini, Prof. Herminarto Sofyan.
Mereka adalah kolega Pak Hermin, begitu beliau biasa disapa, selama delapan
tahun terakhir: dua periode jabatan beliau sebagai Wakil Rektor 3 UNY. Jabatan
yang sebelum tahun 2012 disebut Pembantu Rektor 3.
Ketika hendak memulai bincang
tanya-jawab, kepada narasumber selalu dijelaskan bahwa ingatan mereka akan
digali dan dituliskan dalam sebuah buku kenang-kenangan untuk Pak Hermin.
Artinya, Pak Hermin pasti akan membaca ini kelak, setelah semua kisah tersebut
mewujud dalam bentuk buku.
Karena sebab ini, kita bisa saja
berprasangka bahwa para narasumber akan bercerita yang baik-baik saja; yang
indah dan menyanjung jua; atau bahkan bisa saja mengarang-ngarang kesan
sehingga kenangan akan beliau yang sesungguhnya tak menyenangkan seakan-akan
indah.
Jika membaca kisah-kisah di dalam
buku ini, cerita indah memang mendominasi. Namun, bukan berarti kisah itu tidak
nyata atau karangan saja.
Rata-rata narasumber menampilkan
mimik serupa saat diwawancarai: tersenyum. Pak Rumpis, misalnya, sambil
memainkan ponsel di tangan kanannya, terus tersenyum hingga wawancara kami usai
setengah jam kemudian. Atau Bu Mami yang ditemui pukul 7 pagi di kantornya.
Dengan wajah riang, ia menunjukkan buah tangan dari Pak Hermin yang terpajang
di meja kerjanya. Dua buah hiasan meja dari logam bertatahkan tulisan
“Malaysia” dan “Australia”.
Pak Pram juga serupa. Ia bilang,
Pak Hermin punya jasa besar untuknya. Terutama ketika ia akan melanjutkan studi
S3-nya. Bahkan Pak Jumadi yang ketika diam wajahnya agak angker pun jadi
berubah menyenangkan. Senyumnya terus mengembang.
Selain dari mimik muka, para narasumber
menceritakan kesan-kesan yang sama mengenai Pak Hermin. Wawancara ini dilakukan
secara acak, antarmereka tidak tahu siapa saja yang terpilih sebagai
narasumber. Jadi, rasanya muskil jika mereka saling mencocokkan cerita terlebih
dahulu sebelum diwawacarai.
Beberapa kesan yang sama tentang
Pak Hermin: suka membelikan suvenir ketika berpergian menurut Bu Mami, Pak
Budi, Pak Bambang. Pak Jumadi dan Pak Bambang seiya bahwa watak kepemimpinannya
kolegial. Lalu, hampir semua narasumber sepakat bahwa Pak Hermin adalah pribadi
kebapakan dan nyaris tak pernah marah. Sampai-sampai Pak Rumpis, sambil
tertawa, menyarankan bahwa sesekali ada perlunya beliau menunjukkan kemarahan.
Narasumber dari mahasiswa atau mantan mahasiswa seperti Franky dan Pak Deni
juga sependapat: beliau dekat dengan mahasiwa.
Ada beberapa kesamaan persepsi
lainnya tentang Pak Hermin. Anda bisa temui itu di lembar-lembar kisah dalam
buku ini. Mungkin ceritanya terkesan klise, namun komentar-komentar yang sama,
gambaran tentang mimik muka mereka saat bicara tentang sosok satu ini mungkin
bisa jadi pertimbangan Anda ketika menanggapi buku ini. Cerita itu kemungkinan
besar mengandung kebenaran faktual. Barangkali memang begitulah Pak Hermin.
Bapak yang sabar, dekat dengan mahasiswa, suka membawa buah tangan, dan gemar
menciptakan situasi nonformal. Misalnya dengan mengirim pesan singkat ala anak
muda yang ditambahi “hehehe”—onomatope tawa dalam SMS—seperti yang dikisahkan
Nisrina, mantan pegiat UKM.
***
ADA satu wawancara tambahan yang
terlalu singkat untuk dituangkan dalam sebuah tulisan mandiri, namun terlalu
menarik untuk dibuang. Itulah cerita dari Pak Gunawan Aryantapa, kepala Bidang
Umum, Hukum, Tatausaha, dan Perlengkapan UNY. Mulanya Pak Gunawan hanya
diwawancarai mengenai Pak Sutrisna Wibawa—yang usai masa jabatannya bersamaan
dengan Pak Hermin. Namun, ternyata Pak Gun adalah rekan lama Pak Hermin di
Fakultas Teknik. Maka mengalirlah cerita dari Pak Gun yang akan dituturkan
berikut ini:
Pak Gun mengenal Pak Hermin sejak
mula-mula menjadi pegawai negeri di IKIP Yogya, nama UNY kala itu. Pak Hermin
dan Pak Gun berada di rumpun yang sama: jurusan Pendidikan Teknik Mesin.
Bedanya, Pak Hermin dosen muda, sedangkan Pak Gun teknisi lulusan STM yang
berkutat di bengkel Mesin. Ketika itu awal tahun ’80-an.
Rupa-rupanya, semasa muda Pak
Hermin sering pula main di kampung Pak Gun, di Pakem, Sleman. “Dulu Pak Hermin,
kan, kosnya di Samirono, dekat masjid,” tutur Pak Gun. Namun beda usia mereka
cukup jauh sehingga Pak Gun hanya dengar kabar saja.
Pak Hermin, kata Pak Gun, selama
di Mesin kerap menyemangati Pak Gun dan kawan-kawan untuk terus sekolah.”Dia
selalu memotivasi kami untuk kuliah, ketika itu kami masih di bengkel,”
ujarnya. Berkat beliau pula, Pak Gun dipermudah untuk bisa kuliah D3 di UNY pada
tahun 1987. Tahun ’95, Pak Gun kuliah lagi, strata 1, juga berkat beliau yang
kala itu menjadi dekan FT. Padahal, kata Pak Gun, saat itu sulit bagi pegawai
negeri untuk bekerja sembari kuliah.
Saking dekatnya, Pak Gun mengaku
menjadi juru ketik penelitian Pak Hermin. “Pakai tik onthel.” Menurut Pak Gun, Pak Hermin itu sosok periang, suka
menyanyi, dan sewaktu muda adalah pemain band. Jika ada acara-acara di FT, ia
kerap menyanyi keroncong. Lagu yang biasa ia bawakan: “Sepasang Mata Bola”.
Ada kisah lain. Suatu ketika Pak
Gun akan menikah. Saking mindernya, ia tidak berani mengundang dosen dan atasan
di kampus. “Akhirnya saya hanya ngundang
dekan.” Tiba-tiba di hari-H, beberapa dosen datang. Termasuk Pak Hermin.
kejadian ini benar-benar membuat Pak Gun terharu dan merasa sangat berterima
kasih. Ketika anak pertama Pak Gun lahir, Pak Hermin juga menjenguk.
Pak Gun merasa banyak diberi
dukungan oleh Pak Hermin. Selain soal melanjutkan sekolah, Pak Hermin juga
pernah merekomendasikan Pak Gun yang teknisi untuk menjadi dosen. “Dia memberi
rekomendasi yang cukup banyak,” kisah Pak Gun. Walau akhirnya Pak Gun ditolak,
ia tetap terkesan akan perjuangan Pak Hermin untuknya. Sampai sekarang ia masih
menyimpan rekomendasi Pak Hermin dan surat penolakan tersebut. Untuk kenang-kenangannya
akan Pak Hermin, barangkali.
Kisah ini adalah pengantar Anda
untuk menyelami lebih dalam tentang sosok Pak Hermin. Kisah yang segar dan
penuh pelajaran hidup, tentunya. Selamat membaca.
Sepasang
mata bola
Seolah-olah
berkata
Pergilah
pahlawanku
Jangan
bimbang ragu
Bersama
doaku….[]
baguuss..
BalasHapusberuntung kalian dengan pak hermin..