“Mengapa
kau selalu berangkat dari kelam ke kelam
Dari kecemasan
sampai ke istirahat-dalam-kecemasan”
—Conrad
Aiken
DALAM cerpen itu Seno menulis, “Tiada yang lebih sendu selain wanita yang menangis
karena cinta.”
Sebab menangis untuk pertama atau keseratus kalinya tak ada bedanya. Cinta yang selesai selalu sesakit itu, semenyengat itu. Impian-impian patah, cerita-cerita tuntas, tak ada lagi dekap, tak ada lagi kerlingan tiap akan berpisah sebelum bertemu lagi esok hari. Kode-kode rahasia kita lenyap. Panggilan-panggilan itu pelan-pelan jadi usang. Kita bersimpangan jalan suatu ketika, aku melambai, kau membalas, sudah, begitu saja.
Tapi apa
gunanya Seno tahu, atau kau tahu, bahwa tiada yang lebih sendu selain wanita
yang menangis karena cinta?
Toh, ia akhirnya
tetap menangis sendiri, bukan? Aku benci kenyataan bahwa cinta berakhir selalu
dengan alasan sepele. Seakan ratusan hari yang lewat: cerita indah, kebaikan
bertubi-tubi, mata yang kau tahu binarnya sepenuhnya tulus, semua itu tak punya
harga. Satu, dua, tiga alasan sepele, dan lalu kau pun tak peduli. Seakan
ratusan hari lalu cuma jejak di pinggir pantai, atau padang pasir. Selekas angin
lewat, selekas ombak datang, semua segera hilang.
Kau tahu,
ia baru saja berangkat dari kekelaman. Kau baginya cahaya seluruh. Kau baginya
adalah mimpi yang menyatakan diri. Kau adalah doa yang terkabul. Kau adalah fantasi
yang tak lagi utopis.
Kau tahu
dan kau tak mau tahu. Sebab bagimu kau adalah kau, dan aku adalah aku. Kau dan aku—tiga huruf yang sama membentuk satu kata. Kronologi berbeda,
urutan yang lain, maka bunyinya pun lain. Cerita yang lain. U, K, A. Kau. Aku.
Bukankah
kita berdua sama saja dengan dua kata itu. Disusun dari perasaan yang sama,
kebaikan yang sama, kasih yang sama, juga… dosa yang sama, kesalahan yang sama?
Hanya kronologinya yang berbeda?
Ah, alasanmu. Kau memang pintar bikin alasan. Pokoknya
aku mau pisah, titik!
Selalu seperti
itu. Kalau mataku sudah cukup meyakinkanmu bahwa cinta tak butuh masa lalu,
cinta cuma soal kini dan besok, aku pastilah tak akan bersimpai kata soal
ini-itu. Soalnya satu: kau tak mau percaya. Atau tak mau peduli?
Kalau
pada akhirnya, kenyataan-kenyataan sepele, keengganan untuk mencoba, dan cinta
yang selalu kepentok amarah, bikin apa-apa yang dibangun ratusan bahkan ribuan
hari selesai begitu saja, lalu buat apa mencinta?
Mungkin
hanya sebagai variasi. Segelas minuman yang segera tandas. Senja yang keburu
benam. Omong kosong kehidupan. Sumber inspirasi cerpenis melankolis. Alasan untuk
air mata yang kebelet turun.
Aku tak
tahu apa jawaban sesungguhnya atau jawaban lain yang lebih optimis bagi sebuah
pertanyaan untuk cinta. Tak tahu.
I'm stepping out into the great unknown.
“Right to
be Wrong”, Joss Stone.[]
Menjelang senja yang memar,
kali ini tanpa kamu, seterusnya tanpa kamu
9 Mei 2013
* Judul
cerpen Seno Gumira Ajidarma, dari kumpulan cerpen Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, GPU, 2008 (vi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar