TANGGAL 1 Maret semestinya tidak menjadi biasa-biasa saja bagi Yogyakarta,
baik sebagai kota maupun sebagai provinsi. Ini bukan tentang hari nasional atau
seremoni basa-basi; ini tentang sebuah kota yang meraih eksistensinya melalui
pengekalan-pengekalan memori. Yogyakarta akan dibicarakan sebagai kota karena
lebih relevan secara spasial dengan apa yang akan dibicarakan selanjutnya.
Sejarah bisa dibekukan. Dalam tulisan, foto, film, dan benda-benda
peringatan. Benda-benda tersebut terus hidup dan bergerak bersama kita. Pergerakan benda
itu membuat sejarah dan wacana arkaik yang ia bawa akan terus-menerus
ditafsirkan. Seperti sejarah Serangan Oemoem (SO) 1 Maret .
SO 1 Maret terjadi di Yogya pada tahun 1949, nyaris tiga bulan setelah Agresi
Militer II menggempur Yogya. Serangan balasan ini dimulai pukul 06.00 dan berakhir
dengan kemenangan pukul 12.00, sehingga disebut serangan fajar. Keberhasilan
serangan ini kemudian dipolitisir untuk kepentingan perjuangan diplomasi yang
berujung pada perundingan Roem-Royen, medio 1949.
Sebagai sebuah peristiwa besar yang gemilang, maka kenangan akan peristiwa
itu terus dihidupkan. Setahun selepas SO 1 Maret, Usmar Ismail membuat film 6 Djam di Djokja. Bahkan, 29 tahun
setelah 6 Djam di Djokja, kisah itu
masih digubah lewat film Janur Kuning oleh Alam Rengga Surawidjaja. Dalam
teks-teks sejarah, kisah ini dihidupkan dengan fokus cerita pada Letkol
Soeharto. Di Yogya sendiri, dua monumen didirikan, yaitu Monumen Serangan
Oemoem 1 Maret dan Monumen Jogja Kembali (Monjali).
Film, teks sejarah, dan monumen menjadi, mengutip Abidin Kusno, penjaga memori akan peristiwa 62 tahun silam itu. Penjaga
memori inilah yang senantiasa membuhulkan ingatan kita dalam-dalam,
sampai-sampai kita merasa ingatan atas itu mengada begitu saja. Seperti sebuah
ingatan bahwa gula berasa manis atau lampu merah itu berarti berhenti. Kita
tidak menyadari kehadiran penjaga memori atau menganggapnya terlalu “serius”,
namun kita merasakan dampak kehadirannya: eksistensi memori.
Tapi, ingatan macam apa yang dijaga oleh para penjaga memori itu?
Ingatan akan sesuatu yang indah, tulis Goenawan Mohammad di tahun 1977
tentang apa yang dirasakan orang-orang saat menonton 6 Djam di Djokja. Indah karena ia bicara tentang setia kawan dan
perjuangan.
Tapi, Goenawan Mohamad melanjutkan, seseorang berkomentar bahwa “itu hanya nostalgia biasa dan agak kuno dari seorang
yang mulai berumur”. Komentar orang itu relevan karena kini kita berjarak
dengan peristiwa-peristiwa semacam itu. Lagipula 6
Djam di Djokja atau Janur Kuning sekarang bukan film yang
umum ditemukan.
Ingatan tentang tokohkah? Tidak juga. Buku-buku sejarah pun
mulai dibantah. Menurut Sejarawan Dr. Anhar Gonggong, serangan itu digagas Jenderal
Soedirman dan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX, bukan Soeharto.
SO 1 Maret sebagai peringatan nasional lalu cuma jadi
basa-basi formalitas. Mungkin akan ada keramaian pawai onthel dan pengendaranya yang berseragam tentara republik, lalu
satu-dua stasiun televisi akan memutar film dokumenter atau laporan reportase
singkat.
Kita sebagai penonton, duduk di depan televisi, akan
tergugu barang beberapa jenak, merasa tersentuh dan sentimental, lalu sudah.
Acara selesai, saluran diganti.
Siaran di televisi membuat kita merasa penghargaan yang
kita berikan dengan cara menjadi sentimental lima menit di depan televisi sudah
cukup. Dialog kita dengan televisi sudah jadi realitas sendiri yang lebih riil.
Monjali (sumber: panduanwisata.com) |
Monumen-monumen
Ingatan
Di ujung Malioboro yang terkenal dan tak pernah sepi dari
riuh, Monumen SO 1 Maret berdiri. Monumen ini punya pelataran yang sering
dipakai bila ada pentas-pentas di hari tertentu. Panggung yang dipasang ketika
pentas adalah panggung tinggi yang, alhasil, lima patung yang merepresentasikan
SO 1 Maret ngumpet di kegelapan
selama acara berlangsung.
Di lain waktu, tampak beberapa remaja sedang berlatih
papan seluncur di sana. Mereka asyik melaju di depan patung-patung yang
membatu. Masing-masing di dalam dunianya sendiri. Seakan-akan monumen itu hadir
begitu saja, kosong, dan sekedar pemanis lanskap.
Tapi itu hanya seakan-akan. Ada kenyataan yang tidak
boleh dinafikkan kalau monumen itu dibangun di depan Gedung Agung—bekas istana negara—sekaligus
dalam kawasan pariwisata paling terkenal di Yogya. Ia berada di tengah jejaring
lalu lintas manusia yang tak kunjung sepi.
Bagi penduduk Yogya, melintasinya adalah perulangan yang
menanamkan memori tentang kebanggaan. Yogya adalah tempat yang lebih istimewa
ketimbang Jakarta, dalam posisinya sebagai ibu kota negara, karena dalam sejarah kemerdekaan, tak pernah ada
kontak senjata secara frontal yang berakhir dengan kemenangan di Jakarta.
Terlebih lagi, Sri Sultan Hamengku Buwana IX punya peran penting dalam SO 1
Maret dan proses kemerdekaan RI.
Sedangkan bagi pendatang dan pelancong, monumen ini
adalah pertunjukan superioritas kota yang hanya ada di Yogya. Inilah bekas
ibukota negara republik yang pernah berjuang atas nama kedaulatan nasional
dengan tenaganya sendiri. Peristiwa yang keberhasilannya membalas Agresi
Militer II berhasil membuat Indonesia punya wibawa untuk bicara lewat diplomasi
internasional.
Bila Monumen SO 1 Maret menjaga memori kita lewat letaknya, maka Monjali
mencamkan sesuatu lewat namanya. Meski posisi Yogya ketika direbut saat Agresi
Militer II adalah ibu kota negara, nama Jogja Kembali justru menegaskan
ke-provinsialistis-annya. Monumen ini tidak menghadirkan diri sebagai penanda
kenangan akan eksistensi Indonesia, namun Yogya.
Kota Yogya beserta isi ruangnya mengenangkan SO 1 Maret sebagai kebanggaan.
Itulah mengapa SO 1 Maret turut diumbar ketika riuh RUU keistimewaan Yogya. Maka, ketika foto nasi bungkus raksasa yang dipajang di
depan monumen SO 1 Maret menjadi headline
media nasional, monumen itu mengintip dari belakang dan turut berbicara.
Jadi, apakah akan ada keramaian seremoni 1 Maret atau
tidak, Yogya beserta isinya telah melakukan seremoni diam-diam yang tidak
terbatas waktu.[]
Jogja, 27 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar