17 Agustus 2012

Disiplin Ketat

BULAN lalu saya bertemu Ni’am.

Ni’am itu kawan saya yang tidak pantas disebut kawan. Dia lebih tua, lebih bijak, dan terlalu serius. Dia bukan tipe yang perlu ditemui ketika saya sedang sedih atau butuh hiburan. Satu-satunya alasan yang pantas mendorong saya mendatanginya adalah bertanya. Kalau kamu butuh tanya (atau dengan kata lain, berguru), mendatangi Ni’am barulah keputusan yang tepat.

Di pertemuan ini Ni’am bercerita tentang sesuatu yang ia sebut disiplin ketat. Katanya, saat ini ia sedang di tengah disiplin ketat. Apa yang ia kerjakan, saya dilarang cerita sama orang. Yang jelas, proyek hebat.

Tapi gara-gara dia bercerita soal disiplin ketat, haduh, saya jadi ingat bahwa seharusnya saya juga sedang memberlakukan itu untuk diri saya sendiri.

Tahun ini saya punya dua tanggungan yang pasti semua orang bisa tebak salah satunya: lulus dan menyelesaikan terjemahan. Kalau Desember ini saya tak lulus juga, matilah! Muka ini harus diletakkan di sela-sela pantat, sebab sejak awal tahun saya sudah janji demikian pada semua keluarga.

Terjemahan juga begitu. Saya enggak punya harapan mau kerja apa-apa lagi selain di dunia aksara. Ini sudah seperti membuat janji dengan setan, sebenarnya. Tapi bagaimana lagi: akan kerja kantor, saya tidak mampu bangun pagi. Lagipula tidak akan betah. Saya sudah coba dua kali mengakurkan diri dengan yang namanya jadwal kerja dan gagal semua. Kalau terjemahan ini tidak selesai, masa depan sayalah yang selesai.

Ini seperti karma. Beberapa tahun yang lalu saya suka mengejek senior-senior yang belum lulus. Mas Islah misalnya. Dan sekarang saya paham kenapa mahasiswa model kami susah lulus.

Pertama, gara-gara susah fokus. Mengapa? Karena—entah mengapa!—selalu ada order menulis paruh waktu. Adakah uangnya? Tentu saja. Tapi tak pernah bersisa. Habis buat apa? Macam-macam, yang pasti selalu tak bersisa.

Kedua, adalah karena di hati yang terdalam ada ketakutan buat melepas apa yang sudah disandang selama 17 tahun: predikat pelajar. Cerita dari banyak orang bahwa kalau sudah lulus, idealisme akan luntur dan kehilangan kesempatan belajar sesuka hati benar-benar mengerikan.

Untunglah bertemu Ni’am bulan lalu: ini saatnya pasang mata, siapkan tenaga; larung takut dan siap jadi orang dewasa.

Saya siap menjalani disiplin ketat! Kawan-kawan juga harus begitu, ya. Yang akan KKN, yang sedang mengerjakan skripsi juga, yang sedang dihimpit tenggat pekerjaan, pokoknya yang sedang apapun!

Salam anti-jadi-pecundang, wo yo![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar