04 September 2012

Payung Teduh: Berteduh pada Sendunya Malam

akmal.blogspot.com

Album : Payung Teduh
Band : Payung Teduh
Rilis         : 16 Desember 2010

BANYAK juga yang bilang ini: musik Indonesia tak bergerak linear ke arah kebobrokan. Saya setuju. Memang, bahwa kehadiran musik populer khas Dahsyat, Derings, dll. adalah tanda-tanda buruk. Tapi masih ada band-band bawah tanah yang memberikan optimisme jika musik memang berkembang lebih baik. Tak percaya? Dengarkanlah Payung Teduh dalam album self titled-nya.

Payung Teduh adalah band yang beranggotakan Is (vokal, gitar), Comi (contrabass), Cito (drum), dan Ivan (guitalele). Formasi ini adalah formasi terakhir setelah sempat berganti personel. Didirikan oleh Is dan Comi tahun 2007, mulanya Payung Teduh hanyalah pengisi musik latar untuk Teater Pagupon Universitas Indonesia sembari iseng bermain musik di kantin sastra UI. Soal genre, mereka sendiri menyerahkannya pada pendengar, namun disebut-sebut bahwa Payung Teduh memadukan keroncong dan jazz ala tahun 60-an.

Sementara band populer menjadikan rupa vokalis yang tampan sebagai senjata penjualan, wajah vokalisnya justru jauh dari itu. Tapi apa pentingnya? Musik adalah soal telinga. Jemari Is, bagi kita para penyimak musik, jauh lebih berharga. Gitarnyalah yang pertama-tama akan menyihir. Lalu suaranya: tenor maskulin yang gemar menanjaki nada-nada tinggi.

Anggaplah itu keberuntungan pertama yang dibawa Payung Teduh. Keberuntungan kedua adalah sihir yang hadir saat kita mendengarkan rekaman album pertama mereka ini; rekaman langsung (live) yang keren. Mereka juga tampaknya tidak melakukan penyuntingan (editing) suara yang berarti, sehingga suara-suara “kotor” khas piringan hitam dan kaset masuk semua—hal-hal yang muskil kita jumpai di rekaman-rekaman digital sekarang.

Akan tetapi, yang paling menyihir dari Payung Teduh, terutama bagi anda yang menghargai lagu berkat lirik puitisnya, adalah kenikmatan untuk menyesapi puisi-puisi dalam lagu mereka.

Gabungan ketiga sihir itu bermula sejak lagu pertama “Angin Pujaan Hujan”. Lagu ini bermula dengan intro getir selama sepuluh detik yang ditimpali pukulan lembut cajòn (alat music pukul khas Peru berupa kotak kayu dengan lubang), yang segera disusul dengan petikan kencrung alias guitalele yang membuat kita, tanpa sempat menduga, terlempar dalam nostalgia cinta. Nuansa klasik ala keroncong hadir pula berkat petikan contrabass yang megah sekaligus sederhana. Kombinasi cajòn dan suara tenor Is menjadikan lagu ini tak jatuh dalam suara cempreng alat musik petik. Menyusul itu, kata-kata indah pun berjatuhan:

Datang dari mimpi semalam/Bulan bundar/Bermandikan sejuta cahaya/Di langit yang merah/Ranum seperti anggur/... 

Kata anggur adalah puncak sihir itu. Bayangkan, berapa banyak penyair yang mengatakan langit semerah anggur, bukan biru atau hitam?

Namun di balik nada-nada indahnya, “Angin Pujaan Hujan” adalah lagu sendu. Dalam reff, bulan dan langit yang ranum bagaikan anggur ternyata hanya mengingatkan pada “sang pujaan (yang) tak juga datang” sehingga “angin berhembus bercabang” dan “rinduku berbuah lara”.

Sendunya lagu tersebut menjadi dera pertama. Lagu kedua, “Resah”, yang sudah terdengar menyakitkan sejak judulnya, adalah dera yang lebih dahsyat. Dibuka dengan petikan gitar yang sedih yang menyiapkan kita untuk memejamkan mata, lalu satu per satu lirik datang bagai menetes:

Aku ingin berjalan bersamamu/dalam hujan dan malam gelap/tapi aku tak bisa/melihat matamu/aku ingin berdua denganmu/di antara daun gugur/aku ingin berdua denganmu/tapi aku hanya melihat keresahanmu.

Sepertinya Payung Teduh menyenangi lagu-lagu kelam yang khas dengan kesenduan yang sendiri. Dari sepuluh lagu, delapan di antaranya bicara tentang penantian yang sia-sia (“Angin Pujaan Hujan”), kematian (“Kita adalah Sisa-sisa Keikhlasan yang Tak Diikhlaskan”), kemurungan (“Cerita Gunung dan Laut”), ketersingkiran (“Resah”), kehilangan harapan (“Malam”), pencarian yang berakhir tragis (“Kucari Kamu”), dan hubungan yang akhirnya berakhir (“Tidurlah”). Hanya satu lagu yang mengisahkan romantisme yang manis, yaitu “Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan”. Namun dalam keduanya (kesenduan dan romantisme), Payung Teduh mampu menjadikannya begitu berkesan. Coba lihat perbandingan lirik antara “Kucari Kamu”,

Aku cari kamu/Di setiap bayang kau tersenyum/Aku cari kamu/Kutemui…/Kau berubah//

dan “Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan”,

Tak terasa gelap pun jatuh/Di ujung malam/Menuju pagi yang dingin/Hanya ada sedikit bintang malam ini/Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya//

Kesedihan ketika pencarian yang penuh harap berakhir dengan “...kutemui/kau berubah” dibalas tuntas dengan sebuah tanya retoris: mengapa hanya ada sedikit bintang malam ini? Ah, mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya! Terlebih, lirik yang disebut terakhir menyerupai romantisme yang melayangkan ingatan kita pada pertemuan-pertemuan sunyi dengan kekasih, di mana kata tak ada, hanya bahasa mata dan alam.

Setelah memutar lagu demi lagu dalam album ini, kita akan menemukan fakta lain: Payung Teduh tergila-gila pada kata malam. Kata itu disebut dalam tujuh lagu, seakan hendak menegaskan kesenduan dalam tema-tema lagu mereka.

Hampir semua lagu dalam album ini patut diulas, karena kesemuanya menawarkan sihir-sihir. Juga pada “Cerita Gunung dan Laut” yang dinyanyikan seperti mantra—intro yang lambat dan rendah kemudian semakin naik, naik, dan naik— yang seperti disebut musikalisasi puisi.

Satu-satunya hal yang saya anggap cacat dalam album ini adalah munculnya lagu “Amy” sebagai penutup. Bangunan lagu-lagu liris yang sudah terbangun dari sembilan track sebelumnya ditutup dengan tak nyaman oleh lagu yang lebih mirip rekaman akustik tanpa lirik (hanya ada lirik “amy.. amy..” yang diulang-ulang).

Namun yang pasti, cacat itu tidaklah berarti dibanding sembilan lagu lainnya. Kita digiring pada sebuah oksimoron sensasi: antara keindahan musik dan kesenduan lirik-lirik yang menusuk. Keduanya tetaplah meneduhkan kita sejenak dari serbuan lagu-lagu banal yang memekakkan.[]


4 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar