13 November 2013

#5BukuDalamHidupku Apa yang Kau Cari, Kundera?

Sumber: amazon.fr
Judul: La Lenteur
Pengarang: Milan Kundera
Terbit: 1995
Penerbit: Gallimard
Bahasa: Prancis


“BUKU apa yang paling bagus? Yang paling disuka?”

Itu pertanyaan yang suka iseng saya lontarkan jika bertemu bibliomania. Bandung Mawardi, penulis yang jumlah koleksi bukunya mengalahkan perpustakaan TBM Indonesia Buku, berpikir agak lama sampai akhirnya dia jawab: buku serial Catatan Pinggir. Luar biasa, ada ribuan buku di rumahnya, dari yang rapuh saking tuanya sampai yang masih wangi toko, dia justru pilih karya populer.

Buku apa yang disuka atau buku apa yang bagus adalah pertanyaan sulit. Banyak orang yang saya tanya tak mampu menjawab. Bisa jadi karena saking banyaknya. Saya juga merasa serupa: jika dapat pertanyaan itu, mendadak memori daftar bacaan saya kosong. Menyebut mana buku yang bagus lebih sulit daripada mengajak pacar menikah.

Nah, apa lagi ini, ulahnya Irwan Bajang. Tantangannya menyerupai mustahil: menyebut buku yang berpengaruh dalam hidup. Hanya lima lagi. Memangnya yang mengubah itu yang bagaimana? Membuat orientasi hidup berubah? Memancing aksi? Senantiasa terkenang? Selalu mengundang untuk membaca berulang-ulang?

Pertanyaan ini seperti pertanyaan filsafat, harus matang-matang dipikirkan. Kenangan bacaan disisir satu-satu. Punggung-punggung buku ditatapi sambil mengungkit ingatan akan isinya. Melelahkan, menguras mental, bikin dag-dig dug.

Pada akhirnya, saya menyerah. Saya lupa banyak sekali buku-buku yang pernah saya baca. Pokoknya, saya cuma ingat: saya pernah baca buku bagus dulu… dulu…. Entah baca di mana. Di perpustakaan? Di rumah teman? Di kios koran depan SMP?

Jadilah, daftar ini hanya akan saya isi dengan yang ingatan atas buku yang masih saya miliki sekarang.

Dan mengubah, ini versi saya. Buku yang akan saya sebut hari ini plus empat hari ke depan adalah buku-buku yang mengubah cara pandang saya. Mereka adalah buku-buku yang tak melepaskan cengkeramnya bahkan setelah selesai dibaca—yang karena itu, kadang saya kutip berkali-kali ketika menulis.

Ini dia, yang pertama….
****

Dalam novel La Lenteur (Kelambanan) karangan Milan Kundera, Kundera ditanyai isterinya yang kurang lebih begini. “Mengapa sih orang-orang suka ngebut-ngebut? Enggak takut mati apa?”

Kundera menjawab dengan teorinya sendiri, katanya:

Mungkin begini: seseorang yang condong pada motornya hanya dapat berkonsentrasi pada detik ketika ia melesat; ia bergelayut pada sepenggal waktu yang terpotong dari masa lalu dan masa depan. Ia tercerabut dari keberlangsungan waktu; ia berada di luar waktu; dengan kata lain, ia berada dalam keadaan ekstase; dalam keadaan begitu, ia tidak tahu apa-apa tentang umurnya, istrinya, anak-anaknya, kecemasannya dan, oleh karena itu, ia tidak memiliki rasa takut, karena sumber ketakutan berada di masa depan, dan siapa yang terbebas dari masa depan tidak memiliki apapun untuk ditakutkan.” (La Lenteur, hlm. 10)

Penjelasan macam ini selalu bikin saya terpesona dengan Kundera. Dia selalu bisa begitu, menjelaskan apa yang kita pertanyakan, yang kita rasakan, dengan kosakata yang tepat dan lugas. Siapa orang lainnya yang pernah menjelaskan mengapa orang suka ngebut?—hal yang begitu akrab dengan kita—selain Kundera? Sejauh yang saya tahu, tidak ada.

Penjelasan-penjelasan adalah ciri Kundera. Lihat saja di Kitab Lupa dan Gelak Tawa, Unbearable Lightness of Being, Kekekalan.

Dan kerap penjelasan itu kurang ajar. Seperti sedang menelanjangi modus-modus sehari-hari. Seperti ketika di Kitab Lupa dan Gelak Tawa. Seorang lelaki yang menampar pacarnya karena dia berenang lebih cepat. Saat perempuan itu bertanya alasannya, kata lelaki itu, ia marah karena perempuan itu tidak hati-hati dalam berenang. Masalah selesai. Kata Kundera, selubung alasan (yang sakral; “supaya kamu berhati-hati”) untuk menutupi hasrat (profan; “marah karena kamu berenang mendahului saya”) disebut litost.

La Lenteur juga ditebari penjelasan-penjelasan kurang ajar begitu. Ada teori tentang penari, tentang seni kelambanan, tentang makna keterkenalan. Ini adalah jenis novel yang bikin saya ingin merenungkan ulang hal-hal yang sedemikian akrabnya ada di sekitar hidup, sampai-sampai selalu lepas dari perhatian.

Oke, buku ini bagus karena penjelasan yang kurang ajar. Itu pertama.

Kedua, saya tak habis pikir, apa yang Kundera sasar dalam buku ini. Mengapa judulnya La Lenteur alias Kelambanan? Mengapa ia bicara ini dan itu—hal-hal yang berkait sebagai peristiwa, tapi tak bisa saya lihat jejaring esensinya.

Dan juga: mengapa ia jadi tokoh? Mengapa ia, sebagai pengarang, terang-terangan angkat suara dalam karangannya? Mengapa ia menjelaskan ini dan itu, seakan-akan tokoh-tokohnya tak cukup untuk dibuat bersuara sendiri?

Singkatnya, apa sebenarnya yang Kundera cari?

Saya masih cari tahu. Namun, sebagai buku bagus dan dengan kapasitas saya sebagai mahasiswa, hanya satu penghargaan yang paling terhormat untuknya: objek penelitian skripsi.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar