13 Agustus 2014

Ia yang Selalu Disebut Kedua

Salah satu dari sekian foto yang sedikit, menampilkan Hatta tersenyum.

(Mengenang 112 Tahun Kelahiran Bung Hatta, 12 Agustus 1902-12 Agustus 2014)

BAYANGKAN Sukarno dan Hatta adalah kenalan kita yang kadang kita temui ketika sedang berkumpul dengan teman-teman. Bayangkan bahwa mereka selalu datang berdua dan duduk berdekatan, mungkin jadinya akan seperti ini: Sukarno sibuk membuat lelucon-lelucon, tangannya bergerak-gerak ketika bercerita, sembari terus senyum dan ketawa (memamerkan gingsulnya yang manis). Di sebelahnya, Hatta duduk dengan tenang, memakai kemeja lengan panjang licin, celana panjang lipatan bekas seterikanya lurus kaku, dan sepatu tanpa debu. Sambil menyimak guyonan Karno, ia memasukkan gula ke dalam teh, mengaduknya dengan sikap yang benar (siku di atas meja), dan tak banyak bicara.

Di tengah obrolan, Sukarno membual berlebihan. Hatta yang dari tadi diam lalu bersuara, menjelaskan duduk persoalannya dengan benar. Mungkin Sukarno akan meledeknya sambil merangkul, mengatakan ia terlalu serius. Hatta kembali diam dan mendengarkan, sambil makan dan minum. Sejam kemudian, ia melihat jam tangannya dan undur diri. Menurut jadwal hariannya, ini waktunya untuk pulang dan belajar. Sukarno masih di sana, membuat orang-orang tertawa atau bicara dengan berapi-api mengenai masalah politik. Orang-orang betah diam dan memandangnya dengan kagum. Hatta pulang ke rumah dan mulai menulis artikel untuk dikirimkan ke surat kabar.

***

Pasangan dwitunggal ini adalah pasangan yang unik. Sifat mereka bagai langit dan bumi, tapi takdir membuat mereka justru dikenang selalu sebagai duet. Yang seorang, Sukarno, menyukai perempuan dan seni. Ia juga suka menari. Istrinya, Fatmawati jago menari. Demikian juga dengan anak-anaknya, Megawati salah satunya. Pengalaman Guntur dengan sang bapak di istana salah satunya adalah membersihkan lukisan-lukisan koleksi Sang Putra Fajar. Koleksi barang seninya ribuan. Koleksi istrinya juga banyak: yang sah ada tujuh, meski petualangan cintanya baru dimulai setelah ia berdiam di Istana Merdeka.



Yang seorang lagi cinta matinya pada buku. Konon ada anekdot, istrinya yang baru dinikahi tahun 1945, Rahmi Rachim, adalah istri ketiga. Istri pertama dan kedua adalah buku. Pulang dari Belanda setelah sebelas tahun kuliah di sana, oleh-olehnya adalah enam belas peti buku. Ketika pertama kali diasingkan, ke Boven Digul tahun 1935, bawaannya enam belas peti buku. Ketika sampai di Tanah Merah, ia diledek, ini diasingkan atau mau buka toko buku? Saat dijemput pulang dari pengasingan di Banda Neira pada Januari 1942, ia bertengkar dengan Sjahrir yang dibuang bersamanya. Sjahrir ingin bawa anak-anak angkatnya—yang juga keponakan angkat Hatta, sementara Hatta ingin bawa bukunya yang belasan peti tersebut. Ketika mengundurkan diri sebagai wakil presiden tahun 1957, barang pertama yang dikemasi dari kantor wakil presiden adalah isi perpustakaannya. Ketika berpulang, Hatta meninggalkan perpustakaan besar berisi 30 ribu judul buku.


Hatta dan Rahmi
Bersama dengan ketiga putrinya: dari kanan, Meutia, Gemala, dan Halida (digendong).
Soal perempuan, Hatta adalah lelaki yang payah. Setidaknya menurut Sukarno. Cerita legendaris tentang Hatta vs. perempuan ada dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Sukarno mengisahkan bahwa pernah suatu sore, Hatta yang masih lajang bermobil dengan seorang gadis cantik dan sopir. Di sebuah tempat terpencil dan sepi, ban mobil meletus sehingga sopir harus pergi untuk mencari bantuan. Dua jam kemudian ia kembali, menjumpai Hatta yang meringkuk di satu sudut dan si gadis meringkuk di sudut terjauh lainnya. “Hatta yang masih lajang itu adalah seorang lelaki yang mukanya menjadi merah bila berhadapan dengan seorang gadis,” kata Sukarno.

Hatta baru menikah di usia 43 tahun, pada 18 November 1945. Begitu terlambat karena ia bersumpah baru akan menikah setelah Indonesia merdeka. Itu pun tanpa romantika pacaran atau sejenisnya. Di umur yang sama, Sukarno sendiri sudah tiga kali menikah. Hatta melihat Rahmi Rachim di sebuah acara makan malam di rumah Mr. Sartono, tokoh PNI, di Jakarta pada pertengahan 1943. Dua tahun kemudian, tak lama selepas Proklamasi, Bung Karno datang ke rumah keluarga Rachim di Bandung untuk melamar Rahmi buat Hatta. Hatta sendiri tidak ikut serta. Adik Rahmi, Raharty, sempat menyeletuk, “Jangan mau Yu (Yuke, nama kecil Rahmi), sudah tua!” Saat itu usia Rahmi 19 tahun. Toh, Rahmi mau juga.

Kedua orang itu, dwitunggal, memang bersahabat dengan cara aneh. Keduanya saling mengenal di tahun ’20-an karena Hatta adalah tokoh pergerakan mahasiswa di Belanda, sedangkan Sukarno tokoh di Hindia-Belanda. Hatta menjadi ketua Perhimpoenan Indonesia (Indonesische Vereeniging) selama enam tahun, 1926-1932, sedangkan Sukarno menjadi ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927 hingga 1929.

Menurut cerita Sukarno, sejak tahun ’20-an itu mereka sudah tak akur. Ia adalah eksponen utama gerakan nonkooperasi, sedangkan Hatta ia nilai sebagai pemimpin golongan yang kompromistis, kerja sama dengan Belanda pun tak apa-apa. Tapi oleh sahabat-sahabatnya, Hatta dikenal sebagai tokoh nonkooperatif pula.


Hatta adalah tokoh gerakan yang aktif berorasi. Citra karikatural Hatta sebagai sosok tenang dan pendiam yang selalu di samping Sukarno mungkin muncul sejak zaman pendudukan Jepang. Sebelumnya Hatta adalah tokoh besar tersendiri.
Desember 1929, Sukarno dan beberapa tokoh PNI ditangkap dengan alasan overmacht (terpaksa). Kekosongan kepemimpinan membuat Sartono membubarkan PNI lewat kongres di Solo, kemudian mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Hatta dari Belanda menentang keras pembubaran PNI. Tahun 1931, ia meminta Sjahrir pulang untuk mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia, partai yang namanya mungkin adalah pelesetan Partai Nasional Indonesia. Desember ’31, Sukarno bebas. Ketika ditawari masuk Partindo, ia berkata, “Pertama aku harus berbicara dengan Hatta dulu. Untuk mendengarkan isi hatinya.”

Tapi, dalam percakapan dengan Hatta, mereka silang pendapat. Hatta ingin membuat partai kader. Rakyat diberi pendidikan politik. Sukarno ingin kekuatan massa digalang, bukan dididik bertahun-tahun. Sama-sama keras kepala, ujung-ujungnya Sukarno masuk Partindo pada 1932 dan menjadi ketuanya. “Hatta tidak mau mundur satu milimeter pun,” kata Sukarno, “orangnya memang sulit. Kami tak pernah sependapat dalam suatu masalah.”

Dua orang yang tak sependapat toh kelak ditakdirkan untuk dikenang selalu sebagai duet. Anak-anak mereka juga mengenang mereka sebagai sahabat. Di luar perbedaan pendapat dan soal politik, keduanya tak bermusuhan. Setidaknya itu yang tampak di mata lingkungan terdekat mereka.

Padahal, semasa masih jadi pasangan presiden dan wakil pun, mereka masih kerap beda pendapat. Misalnya soal sistem partai di Indonesia. Hatta yang pro model parlementer menandatangani Maklumat X pada November 1945 yang memulai sistem multipartai dan demokrasi parlementer. Sukarno sendiri tak cocok dengan ide ini, ia berpendapat jumlah partai harus dibatasi. Seorang pakar menyebut aksi Hatta dengan Maklumat X-nya adalah bentuk kudeta senyap (quiet coup).

Tahun 1950-an, “perkelahian antarpartai mulai menjengkelkan publik”. Dengan terang-terangan, Sukarno berkata, “Terima kasih, Tuhan, bukan Sukarno yang menandatangani dekrit itu.” Tahun 1956, Sukarno melibas Hatta dengan menyatakan Indonesia berdasarkan Demokrasi Terpimpin. “Marilah sekarang kita kubur semua partai,” katanya.

Hatta juga kesal karena Sukarno berpoligini dengan menikahi Hartini di tahun 1953, hanya beberapa saat setelah Fatma melahirkan anak mereka yang kelima, Guruh. Hatta marah besar dan tidak mau menjumpai istri muda temannya itu. Kemarahan Hatta memuncak ketika Demokrasi Terpimpin dimulai. Juga karena Sukarno memasukkan unsur komunis dalam kabinet. Hatta sejak dulu berlawanan dengan golongan komunis. Pada 1 Desember 1956, ia menyatakan mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Tidak ada yang sanggup merayunya untuk mengurungkan niat.


Hatta berpidato di Konferensi Meja Bundar (KMB), 1949.
Dialek Sumatranya tampak.

Sukarno juga sempat berlaku kejam pada Hatta. Karangan Hatta, Demokrasi Kita, dibredel karena kritiknya yang keras. Dalam karangan itu, Hatta sampai menulis, “Dalam jangka waktu lama, Indonesia hidup dalam bayangan feodalisme. Tetapi neofeodalisme Sukarno lebih jahat dan lebih ganas.” Pandji Masjarakat yang memuatnya juga diberangus dan pengelolanya dipenjarakan. Harian Pikiran Rakjat yang sering memuat tulisan Hatta juga “dipaksa untuk tidak lagi memuatnya”. Padahal sejak mundur dari jabatan wakil presiden, praktis profesi utama Hatta adalah menulis, meski sesekali juga mengajar.

Dengan segala pertengkaran itu, apa dampaknya pada hubungan pribadi mereka? Tahun 1957, diselenggarakan sebuah pertemuan bertajuk Musyawarah Nasional. Konon, tujuannya adalah merujukkan dua proklamator itu. Memang, pertemuan tersebut tidak berhasil membuat Hatta kembali menjadi wakil presiden. Namun, terekam dalam sebuah foto keduanya bersalaman saat bertemu di gelaran itu. Hatta tersenyum.

Anak-anak Hatta dan Sukarno mengatakan bahwa mereka tetap bersahabat seumur hidup. Sukarno-lah yang melamarkan Rahmi untuk Hatta. Tahun 1970, Sukarno yang tengah sakit dan dalam tahanan rezim baru menyuruh Guntur yang hendak menikah meminta Hatta sebagai walinya. Guntur sempat ragu, namun bapaknya meyakinkannya. Hatta sendiri langsung mengiyakan saat diminta.

Pertemuan terakhir mereka terjadi pada 19 Juni 1970, dua hari sebelum Sukarno meninggal. Dalam pertemuan itu, keduanya bersalaman. Satu-satunya kalimat yang keluar hanyalah pertanyaan tentang kabar. Sambil menggenggam tangan Hatta, Sukarno menangis.

***

Sukarno dan Hatta adalah nama yang begitu melekat, nyaris seperti nama satu orang. Sesungguhnya mereka adalah tandem yang “tak pernah sependapat dalam suatu masalah”. Namun, nama Hatta terkesan tenggelam dalam glorifikasi nama Sukarno. Pribadi dan jejak Hatta yang gemilang disederhanakan hanya sebagai bapak koperasi, sesuatu yang gaungnya senyap hari ini.

Ong Hok Ham menulis, Hatta adalah orang yang kesadaran politik dan nasionalismenya lahir dari penumpasan pemberontakan di Minangkabau. Ia adalah bagian dari periode gemilang Minangkabau ketika melahirkan cendekiawan-cendekiawan paling maju di Indonesia. Mengenali pribadi Hatta berarti akan menemukan bahwa lelaki yang yatim sejak kanak itu, “yang tidak pernah tertawa”, yang memerah mukanya ketika bertemu perempuan, yang mengusulkan agar sila pertama Pancasila dipotong tujuh katanya, dan yang dibenci oleh kaum komunis itu sesungguhnya adalah orang besar. Ia, orang yang selalu disebut kedua. (Bersambung ke tulisan kedua, diunggah 17 Agustus 2014)

2 komentar:

  1. Ngomong2 soal buku Hatta, perpusnya yg di Jogja itu bubar dan buku-bukunya dipindah di UGM bener ga sih?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener, Nis. Dulu kan di depan Wanitatama. Sekarang sudah diakuisisi UGM. Bisa diakses di UPT Pusat UGM, di Sampoerna Corner.

      Hapus