23 April 2015

Hikayat Pencuri Buku



Oleh Prima S. W.

“PENULIS adalah pencuri buku terlihai.”

Kata itu keluar dari mulut Dwicipta, penulis yang jamak dikenal sebagai cerpenis. Ia berdomisili di Yogya. Siang ini, 23 April 2015, saya duduk berhadap-hadapan dengannya di warungnya, hanya lima ratus meter dari perpustakaan Universitas Gadjah Mada. Hari ini peringatan hari buku sedunia dan kami memutuskan untuk mengobrol tentang pencuri buku. Atau lebih tepatnya: dirinya sebagai pencuri buku.

Pengalaman kriminal buku pertamanya, satu di antara kelakukan curi-mencuri lainnya seperti mencuri buah-buahan atau mencuri uang nenek, terjadi di tahun 1990 di sebuah persewaan buku langganan di kampung halamannya di Pemalang. Cipto, demikian ia biasa kami sapa, yang duduk di kelas enam SD meminjam buku yang akhirnya menjadi colongannya yang pertama—karena tidak pernah dikembalikan. Karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo berjudul Pendekar Bodoh.

Ia sangat suka buku itu, larut dalam ceritanya tentang seorang pendekar berpedang ranting yang selalu diremehkan. Sang Pendekar Bodoh kelak menjadi pendekar mandraguna.

Persewaan itu berjarak setengah jam bersepeda dari rumahnya. Membuatnya yakin jika ketahuan pun, pemilik persewaan tidak akan menemukannya. Toh, pikir Cipto kecil, ada begitu banyak buku di sana. Hilang buku satu tentu bukan masalah besar.

Kalau pinjam buku tidak dikembalikan, mana perlu lihai segala, saya membatin.

Cerita Pendekar Bodoh itu begitu meresap dalam dirinya, tertakik dalam kepalanya. Kisah bertema from zero to hero yang terus ia cintai hingga puluhan tahun kemudian. “Kenapa aku sangat hafal kisah hidup Gorbachev itu karena kucuri. Buku-buku yang aku curi itu biasanya membekas di kepala.” Ia menyebut Mikhail Gorbachev: Sebuah Biografi Penuh Keakraban, buku yang ia curi ketika kuliah di Universitas Diponegoro tahun 1997.

Pencurian pertama itu ibarat pemanasan kelewat lama. Tidak ada pencurian susulan setelahnya hingga kemudian ia lulus SMA. Setelah pencurian di perpustakaan universitas Undip tersebut, barulah pencurian bermodus pinjam-buku-tidak-kembali menjadi kebiasaan. Setahun di Jurusan Kimia murni Undip, ia lalu pindah ke Jurusan Hubungan Internasional Universtas Gadjah Mada pada 1998. Di kampus ini, buku-buku di perpustakaan fakultas dan perpustakaan universitas mulai diprivatisasi satu-satu. Beberapa ia ingat, seperti antologi tulisan Mohtar Mas’oed dan satu buku yang diangkat dari disertasi Mas’oed tentang struktur ekonomi politik Orde Baru dari perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Lalu Ernest Hemingway: The Collected Stories dari perpustakaan American Corner, juga di UGM.

Mahasiswa adalah salah satu kriminal buku paling aktif dan berbahaya bagi perpustakaan, toko buku, maupun lingkaran pertemanan mereka. Cipto membenarkan itu dan turut menjadi pelakunya.

“Sama ngambil skripsi Didik Wartanada. Itu satu-satunya (eksemplar) skripsi (itu) di Jurusan Sejarah dan sangat bagus.” Cipto mengatakan itu sambil tertawa. Skripsi itu sekarang dipegang temannya, seorang penulis sangat produktif sekaligus dosen psikologi di sebuah universitas negeri di Yogyakarta.

Di American Corner, ia sebenarnya tak bisa dibilang mencuri. Penjaganya adalah kenalan Cipto, namanya Pak Aris. Begitu seringnya ia berkunjung ke sana, ia sampai akrab dengan Pak Aris sehingga lelaki ini tahu Cipto seorang pembaca berat. Ada kalanya, dan ini sering terjadi, Cipto menginginkan buku di perpustakaan itu. Ia cukup bilang ke Pak Aris, “Pak, tak (saya) bawa pulang, ya?” dan buku itu jadi miliknya. Perpustakaan tersebut kini sudah gulung tikar.

Cipto memang besar di antara timbunan buku yang membuat otomatis menjadi pembaca berat. Semasa kecil, pamannya mengelola sebuah klub baca. Puluhan buku bertumpuk-tumpuk di meja ruang tamu rumah neneknya. Ia membaca buku legendaris 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia dari Michael H. Hart saat kelas tiga SD, membuatnya terheran-heran mengapa Isaac Newton ada di peringkat kedua sementara Nabi Isa ada di peringkat ketiga. Ketika lulus SMA, ia sudah mengumpulkan lima ratus buku yang kini sudah hilang karena dipinjami teman-temannya tanpa pernah kembali. Tahun 2008, setelah sepuluh tahun tinggal di Yogya, ia kehilangan tiga belas kardus bukunya yang berisi 1.300 buku. Ironi dari cerita ini: Cipto adalah pencuri yang kecurian.

Kisah Cipto mengingatkan saya pada guyonan lama, “Meminjamkan buku itu bodoh, tapi mengembalikan buku pinjaman itu lebih bodoh lagi.”

Petualangan pencurian buku itu berjalan bersama semakin mekarnya cinta pada tulisan dan menulis. Di perpustakaan-perpustakaan UGM, sambil mengambili buku-buku politik dan sastra, ia terus menulis cerpen. Ia berguru pada buku-buku itu, walau tidak semuanya curian: kepada semua karya Pramoedya Ananta Toer yang ia hikmati gaya menulis dan pilihan berbahasanya; pada Kata-Kata, The Age of Reason, dan Troubled Sleep Jean-Paul Sartre yang membuatnya kagum tak putus-putus; pada Orientalisme Edward W. Said dan Wawancara dengan Sejarah Oriana Fallaci yang gayanya ia adaptasi ketika menulis esai.

Tapi Cipto cuma pencuri buku medioker. Ia tak penah menyelipkan buku di karet pinggang celana atau dalam tas setelah sebelumnya merobek barcode. Apalagi melempar buku ke pojok sepi di luar jendela perpustakaan. Juga tidak pernah menguliti plastik pelindung di toko buku dan menggelontorkan bundel kertas bersampul itu ke plastik belanjaan sebagaimana kisah-kisah pencurian buku pernah saya dengar dari para sahabat. Tidak perlu juga membayangkan Cipto menyamar dan membeli buku dengan cek curian seperti yang dilakukan John Gilkey, tokoh nyata dalam The Man Who Loved Books Too Much. Tapi ia punya teman yang nyaris senekad itu.

“Sampai ber-rak-rak. Anaknya anak Sosiologi UGM, angkatan 1996.” Ia menyebut nama temannya itu. Untuk mencuri buku, si teman ini memodifikasi celana jinnya agar bisa dipakai menyembunyikan buku. Ada pula teman-temannya lulusan sebuah seminari di Yogya yang ia sebut “pembaca yang kencang”, yang rupanya juga “pencuri buku yang kencang”. Kencang adalah bahasa kami untuk giat, tekun, rajin, dan semacam itu. Teman lainnya bahkan meminjam buku—tentu saja tidak dikembalikan—dari Buya Syafi’i Maarif, orang yang Cipto sebut “sangat menjaga bukunya”.

Cipto sendiri tidak pernah mencuri di toko buku. Mau Gramedia, Togamas, Social Agency, bahkan pasar buku yang lemah pengawasannya seperti Shopping Center maupun pameran. “Aku gemeter,” katanya tentang responsnya tiap kali niat itu muncul di tempat-tempat demikian. Bahkan di perpustakaan kota maupun perpustakaan daerah ia tetap tidak berani. “Aku paling takut dipermalukan di depan umum.”

“Kenapa nyuri buku, Mas?”

“Karena aku sangat suka (buku yang diambil). Kalau pinjam kan terbatas. Kalau jadi milik kan enak gitu, anytime.”

“Enggak takut menghilangkan hak orang untuk baca buku?” saya bertanya, mengingat buku-buku yang ia ambil berada di perpustakaan.  

Cipto punya pembelaan diri. “(Buku yang dicuri) itu jelas akan berputar di kalangan orang yang suka buku itu. Misal aku ambil Hemingway, terus aku ketemu orang yang suka, orang itu pasti akan baca.”

Toh, ia mengenang, selama bertengger di rak perpustakaan, buku yang ia ambil jarang dibaca. “Buku Hemingway itu terakhir dipinjam dua atau tiga tahun lalu.” Lagi pula, ia menambahkan, buku itu sudah tidak di tangannya. “Muter kan, artinya?”

Atau dengan kata lain, menurutnya mencuri buku sama dengan “membawa buku ke tangan yang berhak”. Ia bilang begitu sambil tertawa.

“Aku sampai saat ini tidak menganggapnya (mencuri buku) kriminal. Karena itu bagian dari kewajiban negara untuk mencerdaskan bangsa. Orang tidak akan mencuri buku kalau pasokan banyak sekali. Tapi negara melalui institusi pendidikannya tidak mampu menyediakan. Kelangkaan buku itu yang membuat orang mencuri buku.”

Cipto tidak menyelesaikan kuliahnya di UGM. Selain menulis cerpen, ia kini aktif menulis esai dan memasak. Bersamaan dengan berakhirnya masa-masa di kampus, berakhir pula petualangannya mencuri buku.

“Punya buku yang sedang diinginkan sekarang?”

Ada, katanya. Biografi Jenderal Spoor, pemimpin agresi militer Belanda sesudah kemerdekaan Indonesia. Ia banyak membaca cerita tentang jenderal ini semasa kecil dan menganggapnya “musuh”. Kapan hari ia melihat biografi itu di toko buku Social Agency lalu membatin, “Ini musuhku waktu kecil!” Tapi buku itu tidak akan dicuri.

“Kalau buku yang pengin dicuri?”

Adalah biografi Sun Yat Sen. Buku ini “nyarinya susah setengah mati”. Kalau ketemu, Cipto rela mencurinya.

Saya berharap suatu hari buku itu nangkring di rak Gramedia dan Cipto melihatnya dalam kondisi tidak punya uang. Lalu bersama seorang teman, kami akan memasang taruhan yang mengasyikkan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar