BAHKAN semisal korupsi artinya sama dengan mencuri, membedakan mana korupsi dan
mana yang bukan korupsi pun masih susah.
Sebab kala saya masih di semester awal kuliah, ketika melihat semua tawaran beasiswa dalam bentuk apapun dan sejumlah berapapun, saya tak merasa berhak untuk mengajukan aplikasi guna mendapatkannya. Saya dibekali motor, mendapat subsidi ketika membayar SPP—sehingga tarif SPP saya hanya separuh dari mahasiswa lain yang masuk lewat jalur “premium”, dan masih mampu belajar dengan tenang tanpa harus bekerja. Jadi saya ini—menurut saya—adalah golongan mampu yang tak usahlah berserakah diri dengan menyerobot kesempatan orang lain yang lebih berhak dalam mendapatkan pembiayaan pendidikan.
Sebab kala saya masih di semester awal kuliah, ketika melihat semua tawaran beasiswa dalam bentuk apapun dan sejumlah berapapun, saya tak merasa berhak untuk mengajukan aplikasi guna mendapatkannya. Saya dibekali motor, mendapat subsidi ketika membayar SPP—sehingga tarif SPP saya hanya separuh dari mahasiswa lain yang masuk lewat jalur “premium”, dan masih mampu belajar dengan tenang tanpa harus bekerja. Jadi saya ini—menurut saya—adalah golongan mampu yang tak usahlah berserakah diri dengan menyerobot kesempatan orang lain yang lebih berhak dalam mendapatkan pembiayaan pendidikan.
Nyatanya orang
tua di rumah tak sependapat. Saban saya pulang ke rumah, karena saya bersekolah
di kota lain, mereka berulang kali menanyakan apakah saya memantau peluang
beasiswa. Saya bilang, iya, tapi saya tidak tertarik dan merasa tidak berhak.
Atau lebih ekstrem, kalau ikut-ikutan dalam beasiswa itu, saya merasa
mengorupsi sesuatu yang orang lain lebih berhak. Menurut orang tua, saya harus
bedakan beasiswa itu. Memang, ada yang dilabeli beasiswa BBM (Bantuan Belajar
Mahasiswa) yang ditujukan untuk mahasiswa tidak mampu serta beasiwa PPA
(Peningkatan Prestasi Akademik) yang memprioritaskan mahasiswa ber-IP lumayan
tanpa harus miskin. Kata Bapak, sah-sah saja jika saya ambil itu beasiswa PPA.
Di kali lain,
teman saya, Hikam, saya tanyai soal beasiswa. Dia bilang dia juga tidak mau
ambil beasiswa. Alasan kami sama. Dia merasa mampu. Toh ke kampus masih bawa
motor. Keputusan semacam itu atas dasar pertimbangan etis tak etis saja, sebab
banyak juga teman yang penampilannya parlente dan hidup berkecukupan kadang
tetap berani mengambil beasiswa, bahkan, BBM.
Soal beasiswa
itu cuma ilustrasi, betapa korupsi bisa begitu relatif dalam pemahaman
masing-masing orang. Naik mobil seharga 250 juta tapi beli bensin premium,
korupsikah? Orang pasti punya pendapat variatif. Akan lebih mudah bila sebut penyelewengan
dana instansi, penggelembungan anggaran belanja, dan sebagainya sebagai korupsi
daripada hal-hal semacam itu. Namun, memberi gratifikasi kepada pejabat disebut
KPK sebagai korupsi, padahal tidak menimbulkan kerugian negara secara langsung.
Kadang, apa yang
legal pun bisa dianggap sebagai korupsi. Sejak dua atau tiga tahun lalu, di
kampus saya, mendadak ada program studi banding—semacam itulah—bagi para ketua
Badan Eksekutif Mahasiswa di tingkat fakultas dan universitas ke luar negeri.
Tahun 2010, mereka ke Australia. Yang dibawa pulang ke Indonesia kemudian
adalah beberapa selebaran kampanye calon ketua semacam BEM di perguruan tinggi
di sana. Saya baca, isinya konyol: kampanye mereka berbunyi semisal “jika saya
terpilih, akan ada perbaikan menu makan siang di kafetaria dan pengadaan pesta
tiap akhir minggu”. Lucu sekali, karena meski sama-sama organisasi
kemahasiswaan, antara sana dan sini punya konteks yang berbeda. Bagi saya,
jalan-jalan itu masuk korupsi. Pakai uang kampus untuk perjalanan yang tidak
membawa manfaat bagi kami yang tak turut serta. Mirip dengan gratifikasi yang
KPK kategorikan sebagai korupsi.
Barangkali yang
relatif-relatif tadi bukanlah korupsi, tetapi sesuatu yang menyuburkan peluang
seseorang melakukan korupsi kelak? Bisa jadi. Seseorang yang sudah nyaman
menerima fasilitas yang sebenarnya ia tak butuhkan—sementara ada orang lain
yang lebih pantas menerimanya—bukankah bisa disebut tengah berbuat semena-mena?
Dan korupsi adalah bentuk kesemena-menaan pula.
Copycat
Korupsi yang
kultural; yang tidak dikategorikan dalam undang-undang; yang tidak dicontohkan
dalam buku KPK yang berjudul Memahami
untuk Membasmi bukan berarti tidak berbahaya. Memang masih banyak orang
yang punya hati (untuk tidak sampai mencuri, membunuh), namun kadang, agak
sulit menjelaskan bagaimana sesuatu bisa berdampak tanpa orang itu punya
kesempatan merasakan dampak tersebut. Seperti berusaha menjelaskan secara
verbal apa itu rasa lapar pada orang yang tak pernah lapar. Itulah mengapa
kadang ada orang yang masih tega makan di “rumah kaca” sementara di lampu merah
di seberangnya ada yang sedang meminta-minta.
Jadi, daripada
mencari-cari macam apa yang termasuk korupsi, saya pikir lebih mudah untuk
membudayakan apa-apa yang menjauhkan orang dari tindakan itu sendiri. Untuk
memulainya, perlu dibaca kecenderungan zaman yang sedang berlaku.
Sebab katanya
ini zaman citra; visual; orang mudah terpengaruh dengan apa-apa yang nampak.
Jadi yang pertama-tama harus diolah adalah bagaimana antikorupsi menjadi tren
yang tampak. Yang bila menyebarluaskannya, terlibat di dalamnya, orang akan
merasa keren.
Ketika
antikorupsi bisa menjadi simbol atas sesuatu yang “keren”, maka ia akan jadi
perilaku yang menyebar. Untuk itu butuh figur yang siap dijadikan objek copycat. Copycat sendiri adalah tindakan mengimitasi yang dilakukan
seseorang atas apa yang ia anggap bernilai lebih dan berharga, seperti peniruan
gaya musikus oleh para penggemarnya. Beberapa pejabar negara menunjukkan contoh
baik dengan tidak menggunakan mobil mewah saat berdinas, bahkan menggunakan
kendaraan pribadi. Berkat pemberitaan media, pejabat tersebut mendapat stigma
positif sehingga memantik pejabat lainnya untuk berbuat serupa dalam menjaring
simpati masyarakat.
Praktis membuat
antikorupsi mewabah dengan copycat
menyerupai apa yang terjadi dengan koin Prita, solidaritas untuk PDS H.B.
Jassin, atau solidaritas untuk KPK. Lewat jejaring sosial, misalnya, orang bisa
“memamerkan” keikutsertaannya. Entah berupa foto atau tautan yang dibagi.
Jadi sebagaimana
korupsi bisa menular, kali ini adalah sebaliknya, yaitu menjadikan sikap
antikorupsi menular, bahkan kalau bisa menjadi pandemi, sesuatu yang mewabah
secara serentak di mana-mana. Untuk memulai menjangkitnya pandemi antikorupsi
ini, media-media penyebaran budaya populer bisa digunakan.[]
NB: Ini alasan saya menulis ini: http://www.indonesiamenulis.co/?tampil=umumx&id=3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar