Judul : Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke
Roma
Pengarang :
Idrus
Penerbit :
Balai Pustaka
INILAH buku dari orang yang dikagumi Pram. Ia pernah mengatakan bahwa Pram menulis seperti orang berak. Buku tentang rasa sakit yang membumi.
Jakarta pada perkenalan pertama adalah Jakarta yang mengerikan. Jauh lebih mengerikan daripada di televisi. Dari balik kaca kereta ekonomi, memasuki Jakarta, hadirlah satu per satu: pasar kotor yang cuma 2-3 meter dari rel; bedeng-bedeng gelap dari seng atau papan, atapnya berderak-derak tiap kereta melintas; tak tampak toilet (di mana mereka buang air? Dapat air bersih dari mana untuk masak atau mandi?).
Turun di Stasiun
Senen, beberapa hari kemudian saya lewat Stasiun Juanda. Stasiun itu tingkat dua.
Di lantai bawah, pada empernya, ada orang-orang hidup di sana. Bersama anak-anaknya.
Ada baskom berisi rendaman cucian. Di seberang emper, baju-baju dijemur di
dinding pagar semen.
Saya tak pernah tidur di emper toko atau stasiun. Cuma
sekali tidur di kursi ruang tunggu stasiun, suatu subuh. Rasanya bangsat: perut masuk angin,
debu-debu mengerak di wajah dan pakaian, bising lalu-lintas orang-orang.
Itu cuma
tidur. Belum lagi kalau ditambah lapar yang tak pasti kapan bisa disumpal
makanan. Semoga bukan makanan sisa di tempat sampah.
Di Jakarta, perasaan kemanusiaan kita diuji
sejadi-jadinya. Di antara raksasa-raksasa di kanan-kiri jalan raya yang
membelah Kuningan, ada pengemis yang kencing di pinggir jalan. Di manakah rasa
malu? Apakah ia lenyap ditelan kemiskinan? Bisa jadi.
Itu tahun 2009.
Idrus (wikimedia.org) |
Saya yakin, menyamakan perasaan saya ketika memandang
kemiskinan belum tentu sama dengan perasaan orang miskin memandang
kemiskinannya sendiri. Kemiskinan jadi tragis ketika ia didefinisikan orang
yang tak miskin. Dulu, ada masa di mana saya hanya punya satu pasang sepatu,
satu tas, dan pakaian-pakaian yang itu-itu saja. Rasanya tak sedih-sedih amat. Baru
menyedihkan ketika bertemu kawan yang gelang emasnya bergemerincing dan rantang
makan siangnya berkilau.
Kemiskinan hari ini rupanya tak jauh beda dengan masa
penjajahan.
Apa kamu pikir dijajah itu cuma soal harga diri yang
diinjak-injak? Soal perjuangan founding
fathers (tak ada founding mothers,
oh, negara nan patriarkal ini). Penjajahan menjadi memuakkan, menjadi
menggiriskan, menjadi tak tertahankan, ketika kamu orang miskin.
Kemuakan dengan kemiskinan yang bukan karena dosa pribadi melainkan karena
kita berada di negara yang salah, diatur orang-orang yang salah, dan
dimanfaatkan sejadi-jadinya bermula karena Dari Ave
Maria ke Jalan Lain ke Roma.
Dalam buku ini, Idrus mungkin tidak menyuarakan dengan
terang, seperti Pram yang dia katai menulis seperti berak, bahwa kita harus ini
dan itu. Ia tak seperti Pram yang menulis “Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”
dalam Rumah Kaca.
Ia bercerita hal-hal kecil. Tak mendefinisikan, tak memerintahkan, hanya bercerita. Mungkin temanya memang khas penulis era
penjajahan Jepang. Misalnya tentang penjual kacang rebus. Kadir namanya.
Di depan kantor radio
pemerintah Jepang, Kadir sedang mendengarkan siaran lewat pengeras suara. Ia menemukan
kata baru, “sanyo” (sebutan untuk pembesar pemerintah Jepang). Sepanjang cerita,
ia bertanya-tanya apa arti sanyo itu. Tukang es lilin yang jualan di dekatnya tak
bisa menjawab. Ketika seseorang yang membeli kacangnya, ia bertanya:
"Yang hendak saya tanyakan ini, Tuan. Apa sanyo itu tukang catut?"
Kadir cuma ingin tahu, bukannya hendak subversif. Laki-laki pembeli itu terkejut dan marah. Rupanya dia mata-mata. Kadir diringkus.
Di "Pasar Malam Zaman Jepang", ada sepasang suami-istri yang pakai sarung karet (ya,
dari karet, terbayangkan?) dan baju bolong-bolong. Di "Kisah Sebuah Celana Pendek", ada seorang pemuda, Kusno namanya, yang celananya tak pernah ganti
sejak ia mulai akil balig hingga dewasa.
Dalam “Jawa Baru”, Idrus menulis:
Di Malang, rumah gadai membayar
empat rupiah untuk sebuah karung beras. Pemerintah perlu karung untuk membawa
beras ke negeri Nippon, rakyat perlu karung untuk penutup aurat.
Di Jakarta juga susah kopi, tetapi
orang di Bantam hampir tenggelam dalam kopi. Orang-orang di Bantam pun mati
kelaparan juga, karena mereka tidak dapat hidup dengan kopi saja.
Di Bandung, jalan-jalan raya penuh dengan perempuan-perempuan Belanda Indo. Mereka berjualan ... badannya.
Tokyo letaknya di utara, jauh sekali
dari Pulau Jawa, tetapi jika Tokyo memerlukan beras, menjadi dekat sekali
dengan Pulau Jawa. Seorang telegrafis bekerja sebentar, dan dua hari sesudah
itu, beras sudah di Tokyo dibawa oleh kapal-kapal terbang.
Kehidupan susah terjadi di Jakarta,
Surabaya, Plered, dan di seluruh Pulau Jawa. Semua orang menengadahkan tangan
ke langit, meminta rezeki dari Tuhan Yang Maha Kuasa, seperti Tuhan lupa
memberi mereka rezeki. Setiap tahun padi menguning juga, beras digiling ...
Tuhankah yang salah?
Tak usah repot-repot jadi Marxis yang kadang contohnya
saja kau sulit ungkapkan. Baca saja buku ini. Segera kau sadar, jadi miskin
karena kekuasaan, dulu atau sekarang begitu menyakitkan. Ia hadir kapan saja, bahkan
di saat kau sedang pelesir di depan layar seperti saat ini.
Dan Idrus, oh, kemana pengarang-pengarang sepertimu saat ini?[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar