Sumber: bloggersukabumi.blogspot.com |
LUPUS
itu satu tapi banyak, banyak tapi satu. Bukunya ada banyak, tapi yang kita
kenal, ya, Lupus. Mirip-mirip serial Sherlock Holmes atau Hercule Poirot. Bukunya ada banyak, tapi
kita kenal sebagai keutuhan. Lupus.
Lupus
adalah bacaan kocak sebelum era Raditya Dika dimulai. Di perpustakaan sekolah,
di taman baca, saya selalu ketemu Lupus.
Kata sampul belakangnya, Lupus sudah
terjual lebih dari 1 juta sekian-sekian eksemplar. Makin dahsyat, ditambahi
foto Hilman, sang pengarang, juga. Plus embel-embel “Jago Ngocol Seindonesia”.
Slapstick, Hiperbol, tapi Ya Suka!
Humor
dalam Lupus sebenarnya sederhana. Kerap
plesetan, pantun, atau tebak-tebakan. Gaya bercanda 90-an banget, lah. Lupus Kecil paling jago kalau soal
melucu dengan tebak-tebakan dengan pantun. Di edisi apa saya lupa, pernah ada
sayembara bagi pembaca untuk berpantun. Sepertinya ada sekitar 50 pantun. Lucunya
minta ampun, sampai-sampai saya catat semua, lalu saya saling dua-tiga dalam
surat untuk gebetan waktu SMP. Haha.
Ada satu pantun kiriman pembaca yang saya ingat banget. Kurang lebih begini:
Buah nanas buah semangka
Buah melon buah pepaya
Buah anggur buah rambutan
Itu semua nama buah-buahan
Sial,
susah untuk menceritakan hal lucu dengan sama lucunya.
Ya
begitulah. Lupus adalah hiburan
paling asyik. Saya jarang nonton televisi dan dengarkan radio. Zaman dulu juga
belum ada 9gag atau stand up comedy.
Selain
pantun atau tebak-tebakan—yang jawabannya ngasal banget—guyon di Lupus sering slapstick yang hiperbol, seperti kepentok pintu, kesandung, jatuh,
ditimpuk. Atau, misal, kucing yang pingsan gara-gara cium bau kaus kaki Lupus. Atau
ayam yang balapan berkokok pagi-pagi.
Waktu
kuliah, saya baca-baca Lupus lagi,
rasa lucunya drastis berkurang. Mungkin makin dewasa humor begitu makin basi;
kalau tidak memang zaman sudah berubah (ah, kayaknya tidak juga, ya. Yang slapstick
masih seliweran di Tv juga….)
Jakartasentris
Tapi
tidak semua isi serial Lupus
bercanda. Cerita Lupus dewasa sering
serius. Entah soal cinta, keluarga (bapak Lupus sudah meninggal di Lupus
dewasa), atau kisah teman-teman. Tapi, bercanda atau tidak, saya merasa selalu
ada sisipan pesan moral dari pengarang.
Selain
lucu, Lupus jadi pengisi imajinasi
akan kehidupan remaja gaul anak Jakarta. Main ke mal, lu-gue, pacaran,
telepon-teleponan, dengarin lagu-lagu Barat (kalau enggak salah, Lupus suka
Deep Purple dan dia kemudian jadi wartawan musik atau gaya hidup gitu lah).
Jakartasentris dalam Lupus sangat kuat.
Karena saya suka, tanpa sadar saya mengakuisi standar-standar gaul Jakarta itu
dalam kehidupan saya (untung, sekarang saya sudah sadar, haha). Yang paling
menonjol adalah gaya ber-lu-gue. Ya, memang tak Lupus saja sih, Tv juga punya andil. Itulah mengapa, ketika saya
(berencana) menulis novel remaja pertama saya (hahaha, itu kelas 2 SMP), saya
pakai gaya lu-gue: gaya bahasa yang tak familiar, bukan bagian dari budaya
saya, dan saya anggap penanda keren.
Iya,
saya nulis novel (yang tak selesai). Inilah mengapa saya anggap Lupus mengubah hidup saya. Rasanya heroik
sekali ingat masa itu. Saya beli buku tulis, saya sampuli, terus saya tulis
ceritanya dari halaman pertama. Sehari bisa menulis dua-tiga halaman. Besoknya saya
kasih ke teman-teman sekelas. Saya ingat—dan ingat ini tiba-tiba bikin terharu—kata
mereka, “Bagus, Priiiim!”
Bangsat,
proyek #5BukuDalamHidupku bikin saya pertama kali ingat, setelah sekian tahun,
bahwa pujian macam itu pernah datang ketika saya masih SMP. Ketika menulis
masih kegiatan bersenang-senang, bukan belajar atau cari uang.
Ah,
sialan, saya enggak mampu lanjut. Saya teringat novel enggak selesai itu. Tokohnya
laki-laki, SMP. Punya saudara perempuan. Pernah ngumpet di kandang ayam karena
dikejar teman yang mau nagih hutang. Temannya dua. Semuanya imitasi Lupus. Tapi
itulah dia, karya yang saya tulis dengan tangan di buku tulis bersampul kertas
kado. Yang saya tulis murni karena ingin menulis, yang seperti Hilman lakukan.
Yang saya bahagia karenanya sebab teman-teman memuji saya. Di mana buku itu
sekarang?
Ah,
saya kangen masa-masa itu. Gara-gara si anak berjambul yang doyan permen karet.
Duh![]
ketauan umurnya! hahahaha
BalasHapusLupus juga suka Duran Duraaan :D
BalasHapus