Foto di sampul depan: tahanan politik di Buru sedang bersawah. Foto di sampul belakang: perjumpaan Pram dengan istri, pertama setelah 14 tahun, 21 Desember 1979. (Sumber: haryolawe.blogspot.com) |
Judul : Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid
I
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera
Tahun terbit : 1995
MESKI benci untuk mengakuinya, saya sendiri adalah
bagian dari demam Pram. Tapi keadaan memang memungkinkan/memaksakan begitu. Karya-karya
Pram baru saya temui saat kuliah, ketika teman-teman juga membacai Pram. Waktu SMA
atau sebelum-sebelumnya, blas, melintas pun tak pernah nama itu.
Direkomendasikan teman, yang pertama dari Pram saya baca adalah tetralogi Buru (saya hapal urutannya: Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca). Buku-buku itu bagus, terutama Jejak Langkah dan Rumah Kaca (saya paling suka Jejak Langkah).
Ketika bacaan sudah mulai melebar, saya baca karya
nonfiksi Pram seperti Panggil Aku Kartini
Saja (astaga, dulu saya pernah debat dengan orang yang berkeras kalau Panggil Aku Kartini Saja itu novel. Benar-benar
tak habis pikir!). Tahun lalu, saya menemukan Hoakiau di Indonesia yang belum dicetak penerbit besar sehingga
langka. Dan terakhir, buku yang dikata otobiografi Pram: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid I dan II.
Pram lebih mengagumkan dalam karya nonfiksinya. Di Panggil Aku Kartini Saja—biografi Kartini—ia
tak hanya meneliti setumpuk pustaka, tapi juga pergi ke Jepara mengumpulkan
keterangan. Dan mungkin karena ia juga seorang sastrawan, cerita Kartini tidak
hanya cerita, tapi juga mau membentuk citra Kartini. Itulah mengapa penolakan
Kartini pada feodalisme ia tonjolkan bulat-bulat dalam judulnya, “Panggil aku Kartini
saja.”
Di Hoakiau di
Indonesia, jujur, saya ternganga. Pram cuma lulus sekolah dasar (yang
dihabiskannya selama 10 tahun, kalau tak salah, karena pernah tak naik kelas). Waktu melanjutkan ke sekolah radio di Surabaya, perang pecah sehingga tak
tuntas. Ia mengaku pernah kursus filsafat dan sempat akan kuliah di Jurusan Sejarah
di Universitas Indonesia, namun urung karena banyak dosen yang menolak karena segan
mengajar Pram.
Dengan bekal ilmu yang dengan tak banyak ditempuh
secara formal, ia bisa menyusun buku dengan argumen runtut dan bukti tak
terbantahkan. Membaca Hoakiau
sebenarnya juga belajar menyusun argumen.
Panggil Aku Kartini Saja dan Hoakiau di Indonesia adalah bukti bahwa
mengglorifikasi Pram semata lewat karya fiksinya saja adalah berlebihan. Oke, Bukan Pasarmalam itu bagus. Tapi bukan satu-satunya. Sementara, Kartini dan Hoakiau adalah kombinasi antara bekal data yang tangguh dan gaya
menulis khas Pram. Kombinasi yang tak ada duanya. Dan sayangnya, kedua buku ini
tak sepopuler karya fiksi Pram.
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu bahkan lebih
tak populer lagi. Bisa jadi karena susah mencarinya. Punya saya sendiri hasil
fotokopi.
Menyukai Pram tanpa membaca buku ini berarti larut
dalam demam Pram dan omong besar. Dari buku inilah kita sadar, sebenarnya tolol
jika menerima mentah-mentah fakta bahwa Pram bisa menyelesaikan tetralogi dan Arus Balik di kamp penjara macam Buru. Di
instalasi rehabilitasi (bahasa Orba untuk pengasingan) Buru, semua tahanan
harus bekerja dari nol untuk membangun penjaranya sendiri. Dari bangunan sampai
jalan, mereka yang bikin. Plus harus bisa mengolah hutan jadi sawah agar tak
terus menerus makan cicak hidup-hidup. Itu masih ditambah beternak, menggergaji
kayu di hutan, dan apel rutin. Bagaimana Pram bisa punya waktu untuk menulis?
Pram adalah bagian dari pekerja itu. Namun kemudian,
ia diistimewakan oleh teman-temannya karena pengarang. Pram diusahakan punya kamar
sendiri, sementara yang lain tidak. Pram menulis, sementara yang lain bekerja. Tugas
Pram digantikan kawan-kawannya bergotong royong. Pokoknya: kalau tak ada
kawan-kawan yang mengusahan privilese untuk Pram, mustahil kita bisa mendaku
punya pengarang yang berkali-kali jadi nomine Nobel Sastra.
Tapi, mengapa kawan-kawan Pram mau melakukan itu
semua? Untuk apa bersusah-susah menggantikan kerjaan seorang pengarang,
sementara pengarang itu toh nantinya mendapat kemahsyuran untuk dirinya
seorang?
Di titik ini, kita harus memahami perasaan menjadi
seorang yang dibuang. Tak ada keadilan, tak ada kebebasan, tak ada keluarga,
tak ada masa depan, tak ada harga diri. Maut mengintai setiap saat.
Untuk orang yang tak yakin dengan masa depan, ia akan
lari ke masa lalu. Dengan, misalnya, meyakini bahwa ia masih ada dalam kenangan
orang-orang. Sehingga ketika ia tiada, sesungguhnya ia masih “ada”. Dengan begitu,
hidupnya bukanlah kesia-siaan.
Itulah yang kawan-kawan Pram rasakan. Ketika mendengar
Pram akan dibebaskan, mereka berkata, “Tulislah tentang kami, agar bagian dari
hidup kami yang paling vital dan terserap habis ini jangan hilang sia-sia
seperti Tanah Merah dan Digul, Banda, Endeh dan Bengkulu, Sailan dan Afrika
Selatan.”
Buku ini adalah karya Pram yang paling menyentuh. Berupa
kumpulan tulisan, ada surat untuk anaknya yang tak pernah terkirimkan, ada
catatan tentang kawan-kawan yang sudah meninggal, cerita kunjungan orang-orang
Jakarta yang menebar janji semata. Saya menangis ketika sampai di “Pembebasan
Pertama”. Ceritanya, di tahun 1977, datang kabar bahwa tahanan Buru akan dibebaskan
bertahap. Termasuk dalam gelombang pertama yang dibebaskan adalah Pram. Segera saja
teman-temannya memberi selamat.
Di antara yang memberi selamat, ada seorang pemuda
jangkung. Ia datang ke kamar Pram tanpa kata-kata. Lalu ia serahkan bungkusan
plastik berisi 10 meter tali plastik, sepasang kaus kaki nilon, sabun, odol, dan susu kaleng, kemudian pergi. Seorang kawan lain menaruh enam telur
bebek—makanan mewah—di kamar, juga tanpa berbicara.
Habis membaca buku ini, saya merasa menjadi bagian
dari demam Pram adalah hal yang menjijikkan. Untuk apa kutip-mengutip bukunya,
kalau tak bisa memahami bagaimana ia menuliskannya, bagaimana kawan-kawannya
kerja setengah mati, bagaimana mereka menjalani hari sementara satu per satu
dari mereka mati. Jangan-jangan, sebenarnya hingga hari suara Pram belum lagi
kita dengar. Apa yang ia tulis masihlah… nyanyi sunyi seorang bisu. Sebab kita
tak kunjung paham.[]
Kalo nggak salah di pengantar atau penutup Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ada tulisan yang menjelaskan, dalam memahami tulisan seseorang ada dua cara, yakni membaca karyanya saja dan menelusuri kehidupan si penulis yang membuat penulis mempunyai alur berpikir seperti di dalam tulisannya.
BalasHapusDi tulisanmu ini kamu seolah-olah menyepelekan orang-orang yang mencoba menghargai tulisan berdasarkan tulisan itu sendiri. Padahal nggak salah kan?
Di buku yang aku pegang, gak ada kalimat begitu di pengantar. Pun gak ada penutup.
BalasHapusDi kalimat pertama kamu bilang soal cara memahami tulisan, tapi di bagian pertanyaan kamu tanya soal cara menghargai tulisan. Itu dua hal yang berbeda.
Aku gak menyepelekan orang yang menghargai karya (fiksi) Pram. Aku menyesalkan glorifikasi berlebihan atas karya fiksinya. Itu yang kusebut demam Pram. Kenapa aku bilang glorifikasi berlebihan? Karena aku menemukan banyak kasus di mana Pram selesai pada bacaan saja, tidak ada kritik atau penerusan metode. Pram mengaku, karya fiksi yang ia susun di Buru banyak kelemahan karena tak ada akses ke dokumen yg diperlukan. Tapi, sekarang lihat, adakah kritik validitas karya Pram? Adakah yang berusaha menemukan kelemahan dlm karya-karyanya? Adakah yang pernah berusaha menyelidiki, mengapa Idrus bisa bilang Pram menulis seperti berak? Tidak ada. Dan itu menyedihkan.
Iya. Aku juga kadang geli sih soal fanboy Pram ini. Apalagi mereka yang merasa keren hanya dengan mengutip satu-dua kalimat di novelnya Pram. Kaya aku dulu. Hahahaha.
HapusMungkin ketika orang hendak mengkritik Pram, mereka terkena sindrom inferior? Merasa kecil di hadapan Pram yang begitu besar. Dan ngomong-ngomong Idrus komen ke Pram gitu bukannya karena Pram nulis terlalu banyak? Yang Pram sendiri mengakui bahwa dia terpaksa menulis begitu banyak (layaknya orang berak; setiap hari) dan kurang mempertimbangkan mutu tulisan karena dia sangat kekurangan uang?
Kamu baca di mana? Aku sndiri kurang tahu soal fakta itu. Ya, brrti semua gak ada yg perlu kita perdebatkan lagi, kan? Hahaha. Kau ini, kapan mau nulis serius?
BalasHapusgita gak bakal nulis serius kayaknya. Kalo gita nulis serius brarti dia udah gak galau yang sepertinya mustahil. Soalnya saya denger sendiri pengakuannya kalo "kesedihan" itu nama tengah sebenarnya mas gita. :3
BalasHapusBtw, saya jadi berniat buat baca bukunya pram juga setelah baca tulisan yg ini. Karena sebelumnya cuma dijejelin quote-quote nya tok yang biasa saya temuin di tulisannya gita dan temen-temen yang lain. Kalo boleh minta saran, judul buku pram yang mana yang cocok buat saya yg belum pernah sekalipun baca tulisannya "si pendendam yang elegan" itu.
Wah, parah nih, dia. Nanti melayani wajib pajak dengan muka sedih, bisa masuk pelanggaran SOP gak? Hahaha. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Fan. Bagus untuk memulai. Dari situ kita bisa kritis sama karya-karya fiksi yang dia tulis di Buru. Habis itu baca "Panggil Aku Kartini Saja". Tempo aja lewaaat! *denger-denger, buku Panggil Aku Kartini saja itu dibiayai Lekra. Isu Kartini emang gencar diusung sama Gerwani juga.
Hapus