Film "Sophie's World" yang diangkat dari novel Dunia Sophie.
Keluar di tahun 1999.
Dunia Sophie | Jostein Gaarder | Mizan | Cet. XVIII,
November 2006
DALAM
kamar gelap, sambil terbujur di ranjang, kadang pikiran-pikiran itu melintas:
bagaimana rupa Tuhan? Sampai di mana keluasan semesta? Apakah kita akan
sepenuhnya sirna setelah mati? Jika pada akhirnya jawaban-jawaban yang hadir
terlalu mengerikan, kadang saya memilih segera tidur.
Jauh
sebelum mengenal filsafat, ternyata kita sudah kerap berfilsafat. Seorang kawan
pernah bercerita, sewaktu duduk di kelas I SD, ia bertanya pada gurunya, “Malaikat
itu laki-laki atau perempuan?” Tak sesusah paparan dalam buku-buku, filsafat
justru keluar dari mulut anak kecil.
Hatta
dalam Alam Pikiran Yunani juga
sependapat. Dalam penjelasannya soal metode filsafat Sokrates, sesungguhnya
Sokrates tidak menyusun langkah-langkah yang rumit. Ia hanya terus bertanya, “Apakah
berani?”, “Apakah indah?”. Pertanyaan soal apa itu adalah pertanyaan anak
kecil, tulis Hatta.
Namun,
Sokrates tak selesai dengan satu apa. Ia terus melanjutkan pertanyaannya dengan
“apa” yang selanjutnya, selanjutnya. Hingga pada akhirnya ia menemukan definisi yang bisa merangkum satu hal secara utuh dan berlaku di segala kondisi.
Konon,
Sokrates berjalan-jalan di kota Athena dan bertanya tentang ini dan itu kepada
orang-orang. Ia bertanya “apa itu berani?” kepada prajurit, “apa itu indah?” kepada
pematung. Orang-orang yang ia tanyai mula-mula menjawab dengan fasih. Namun ketika
pertanyaan terus mengalir, orang itu mulai sadar bahwa yang disangkanya ia tahu
banyak, sesungguhnya tak tahu apa-apa. Karena itu maka kebijaksanaan Sokrates
terangkum dalam kalimat “satu-satunya yang aku tahu adalah bahwa aku tak tahu
apa-apa”.
Filsafat
memang pelik, tapi ia memberi makna bagi hidup (atau kadang, menegaskan bahwa
hidup tak bermakna). Belajar filsafat sama dengan meningkatkan
kualitas hidup: cogito ergo sum. Tambah
lagi, filsafat yang mengkaji persoalan makrokosmos, seperti asal-usul dunia,
erat berkaitan dengan ilmu alam.
Makanya,
kadang lucu jika yang gandrung pada filsafat justru mahasiswa ilmu sosial atau
humaniora. Di tangan mereka, filsafat lebih sering menjadi permainan asumsi.
***
Dunia Sophie mengubah
hidup saya.
Buku
ini adalah persinggungan saya dengan pertama dengan filsafat. Bab kesukaan saya
adalah Hume. Sebagai seorang empirisis—orang yang hanya mau mempercayai apa
yang bisa ia indrai, Hume menyelidiki gagasan-gagasan kompleks yang tampaknya
tidak berkaitan dengan realitas. Surga, menurut Hume, adalah kumpulan gagasan
tunggal yang dijahit menjadi gagasan kompleks, sehingga tampak terpisah dari
realitas. Hal-hal yang menyusun surga, seperti jalan-jalan emas,
gerbang-gerbang mutiara, dan para malaikat, sebenarnya adalah kumpulan dari
gagasan-gagasan tunggal yang terbayangkan oleh kita. Itu adalah jalan, emas,
gerbang, mutiara, sosok berpakai putih, sayap.
Pegasus,
makhluk mitologi, adalah contoh lain betapa berbagai pengalaman manusia yang
disatukan bisa membentuk gambaran yang artifisial. Bayangkan pegasus adalah
kolase, maka ia adalah seekor kuda putih yang kita tempeli tanduk berulir. Tambahkanlah
banyak gagasan tunggal lainnya, maka citra itu akan semakin kompleks dan
terkesan makin jauh dari kenyataan.
Dengan
kata lain, Hume menyampaikan bahwa tak ada yang namanya imajinasi murni yang
datang sekonyong-konyong berkat ilham dari langit atau dari penjuru otak yang
tersembunyi. Imajinasi adalah kumpulan pengalaman yang disusun-bongkar oleh
kita.
Bicara
tentang Dunia Sophie, buku ini memang
luar biasa. Penulisnya, Jostein Gaarder, guru yang mengajar filsafat di SMA, mengantarkan
paparan berbagai pemikiran filsafat Barat secara kronologis dalam bentuk kisah
seorang gadis cilik bernama Sophie.
Sophie,
yang hidup berdua dengan ibunya, suatu kali menerima surat kaleng. Isinya berupa
pertanyaan filsafat. Surat ini mengantarkan pertemuannya dengan Alberto Knox,
lelaki tua pengirim surat-surat tersebut. Pada akhirnya, Sophie dan Alberto
sadar bahwa mereka berdua hanyalah tokoh rekaan dalam imajinasi seorang
prajurit PBB. Tapi mereka tak menyerah dan berencana berontak.
Bagaimana
caranya dua tokoh cerita berontak pada pengarangnya? Baca saja langsung buku
ini. Jika tidak bisa menikmati ceritanya, setidaknya kita bisa tahu dari mana datangnya pegasus. Tapi jujur, saya tak tahu mana yang lebih bagus, pengantar filsafat baratnya yang
sederhana atau kisah fiksinya yang dramatis.[]
Pernah baca Gadis Jeruk, sama-sama karangan Jostein Gaarder. Bagus. Konon sih memang penuh dengan filsafat. Tapi aku lebih menikmati jalan ceritanya sih. Hehehe.
BalasHapusDan buku yang ini, bikin penasaran juga pengen baca. Tapi kayaknya kalah sama hasrat kepingin baca trilogi Hunger Games. Hahaha..
Baca buku filsafat kaya baca buku agama. Bisa mencerahkan, bisa jadi ekstremis. Haha. Pas Hunger Games keluar filmnya, aku gak tertarik. Ada film Jepang yang duluan, isinya persis. Judulnya Battle Royale.
HapusYang Battle Royale juga sudah nonton. Tapi intrik di Hunger Games lebih hore. Jadi lebih suka HG, meski itu 'keliatan' meniru.
Hapus