![]() |
Kalau dengar Lombok pasti yang pertama tebersit adalah pantai. Ini Pantai Malimbu. (Prima SW) |
“LO,
TERBANGNYA KATANYA satu jam dua puluh menit, kok ini dua jam dua puluh menit
baru sampai?” saya bertanya kepada pacar yang mengantar ke Bandara Adisujtipto
sambil menunjukkan tiket digital rute Yogya–Lombok di ponsel.
“Transit
kali?”
“Enggak ada
tulisannya.”
Dua puluh menit saya menunggu hingga Tiwi
datang. Ternyata kami pernah bertemu di Workshop Proofreader #2 Bentang
Pustaka. Kemudian Adit
mengabari, ia dan Mas Dona sudah check-in.
Saya dan Tiwi masuk dan ikut mengantre check-in.
Saya menebar pandang agak jumawa ke kanan-kiri, antrean lain menuju Jakarta dan
Bandung. Piye kabare, bro? Aku arep
plesir neng Lombok. Congkak.
Saat sudah duduk di ruang tunggu
penumpang, saya memanggil Mas Dona yang duduk di samping. Mas Dona entah
mengapa mirip sekali dengan Hesti Pratiwi, anak Balairung paling cantik,
temannya teman saya. Kenapa harus mirip dengan Mas Dona? Kenapa tidak dengan
saya?
“Mas Dona, ini kok di tiket antara
jam berangkat sama sampai selisih dua jam-an, ya? Padahal keterangannya
penerbangan selama satu jam.”
“Kan, nambah sejam.”
“Hah?”
“Eh, Lombok itu WIT atau WITA?” Mas
Dona bertanya kepada Adit di depannya.
“WITA.” kata Adit kalem. Selalu
begitu.
Bangke. Inilah akibat jarang ngukur
jalan. Sekali meyeberang zona waktu, kali ini Waktu Indonesia Barat ke Waktu
Indonesia Tengah, saja sudah bikin gegar tempo.
Sambil menunggu Mas Bebe dan Wiro
Sableng Pendekar Kapak Geni 212, soal melintasi zona waktu itu diam-diam
membuat saya senang. Dengan Ofa dan Dafi, dua teman di Yogya, kami pernah
ngobrol soal mesin waktu. Bahkan hingga bagaimana cara membuatnya. Kini, saya
akan merasakannya.
Lima belas menit sebelum waktunya
naik pesawat, kami lengkap sudah. Mas Dona, saya, Adit, Tiwi, Mas Bebe, dan
Wiro. Kami berenam akan bertemu belasan teman lain dari Jakarta, Bandung,
Surabaya, Jember, dan Bali di Mataram, untuk melakukan perjalanan di salah satu
pulau pusat destinasi wisata Indonesia itu. Agenda kali ini bernama Jelajah Negeri
Tembakau.
Daun tembakau kering yang sudah direklasifikasi. (Viriya Paramita) |
MESIN
WAKTU MEMBUAT kami terbang “lebih lama”. Dari Yogya pukul 6, kami tiba di
Lombok setengah sembilan. Bandara Internasional Lombok-Praya tak semegah yang
saya bayangkan. Kosong dan sepi malah. Padahal, sebagai pegiat Instagram dan
Path, saya sudah siap dengan kamera ponsel.
Dari bandara, kami dijemput minibus
untuk diantar ke Mataram, Ibu Kota Nusa Tenggara Barat. Setengah jam kami di
dalam mobil melintasi Kabupaten Lombok Barat menuju Kabupaten Lombok Tengah.
Pukul sembilan lebih, gelap di luar kaca agak keterlaluan untuk wilayah dengan
nama luar biasa tenar seperti Lombok. Bayangan serbagemerlap tentang
Lombok—saya bayangkan mirip Bali—meleset. Besok saya akan tahu, pariwisata di
Lombok baru meledak tiga tahun terakhir. Pantas. Aspalnya kelihatan baru, masih
bagus, tapi entah mengapa mobil berjalan tak mulus. Di gelap luar, pemandangan
rumah hunian yang berjauhan selang-seling dengan pepohonan. Guncangan dalam
mobil membuat saya mabuk.
Gelap segera berganti terang ketika
masuk Mataram. Kami melewati sebuah bundaran yang di tengahnya berdiri miniatur
masjid. Ini kota seribu masjid, kata Pak Sopir. Beberapa waktu lalu, saya
memeriksa aksara draf buku Melawat
ke Timur, kumpulan catatan menilik Islam di Indonesia Timur karangan
Kardono Setyorakhmadi. Ia menemukan bahwa di Maluku, di tengah permukiman
dengan rumah-rumah sederhana sekalipun akan berdiri masjid yang megah.
Kelihatannya, hal yang sama berlaku di sini.
Tiba di Hotel Arianz, Mataram,
teman-teman dari Jakarta sudah menunggu di teras. Beberapa adalah teman lama:
Nuran, Yandri, Miko. Lainnya baru berjabat tangan kali pertama di sini, yakni Iffah,
Erika, Viriya alias Jawir alias Ahok
KW, Mas Joni, dan Mas Alfa. Dunia memang sempit karena esoknya saya tahu,
Iffah ternyata murid bapak saya di SMA. Ia juga editor yang menangani buku Surat
Terbuka kepada Pemilih Jokowi Sedunia. Sedangkan Ahok KW saya tahu
karena ia menang hibah buku dari Pindai, situs web
tempat saya bekerja, dan dengan Mas Alfa saya sudah berteman di Facebook.
Habis ramah tamah, ruang makan langsung
saya serang. Menunya sate lilit dan mendoan. Ya Tuhan, saya ini berkampung di
Purwokerto, terbang jauh ke timur melintasi satu zona waktu dan disuguhi makanan
khas kampung sendiri.
Habis makan kami merokok di teras.
Seseorang bertanya, apa lapangan besar di
depan kami ini alun-alun?
Gayanya memang mirip. Seorang lain
menjawab, bukan. Ini lapangan saja.
Apa ada masjid di
sebelah baratnya? Saya bertanya.
Iya.
Lalu di utaranya
apakah itu kantor pemerintahan?
Iya.
Bukankah itu konsep alun-alun? Tapi
debat tak perlu dipanjang-panjangkan. Ngantuk. Ngantuk lawan penasaran, menang
ngantuk.
saya IBU ENDANG seorang TKI DI MALAYSIA
BalasHapuspengen pulang ke indonesia tapi gak ada ongkos
sempat saya putus asa apalagi dengan keadaan susah
gaji suami saya itupun buat makan sehari2. sedangkan hutang banyak
kebetulan suami saya buka-buka internet Dan mendapatkan
nomor MBAH KASSENG (0853-4288-2547) katanya bisa bantu orang melunasi hutang
melalui jalan TOGEL dan dengan keadaan susah, terpaksa saya
hubungi dan minta angka bocoran Toto/malaysia
angka yang di berikan waktu itu 4D
ternyata betul-betul tembus 100% alhamdulillah dapat 269.jt Oleh Karna itu saya posting no HP MBAH KASSENG ini supaya saudarah-saudara ku di indonesia maupun di luar negri yang sangat kesulitan masalah ekonomi (kesusahan) jangan anda putus asa. Karna jalan masih panjang yang penting anda tdk malu atau takut menghubungi MBAH KASSENG. Semua akan berubah Karna kesuksesan ada pada diri kita sendiri. Yakin dan percaya bahwa itu semua akan tercapai berkat bantuan dari mbah AMIN.
MBAH KASSENG
NO: 0853-4288-2547 / +6285-342-882-547