17 Oktober 2015

Jelajah Negeri Tembakau “Lombok”: Cerita Gunung dan Laut (Bagian I)

Kalau dengar Lombok pasti yang pertama tebersit adalah pantai. Ini Pantai Malimbu. (Prima SW)

“LO, TERBANGNYA KATANYA satu jam dua puluh menit, kok ini dua jam dua puluh menit baru sampai?” saya bertanya kepada pacar yang mengantar ke Bandara Adisujtipto sambil menunjukkan tiket digital rute Yogya–Lombok di ponsel.

“Transit kali?”

“Enggak ada tulisannya.”

Kami sama-sama bingung lalu terdiam. Tapi, rasanya masih mengganjal.

Dua puluh menit saya menunggu hingga Tiwi datang. Ternyata kami pernah bertemu di Workshop Proofreader #2 Bentang Pustaka. Kemudian Adit mengabari, ia dan Mas Dona sudah check-in. Saya dan Tiwi masuk dan ikut mengantre check-in. Saya menebar pandang agak jumawa ke kanan-kiri, antrean lain menuju Jakarta dan Bandung. Piye kabare, bro? Aku arep plesir neng Lombok. Congkak.

Saat sudah duduk di ruang tunggu penumpang, saya memanggil Mas Dona yang duduk di samping. Mas Dona entah mengapa mirip sekali dengan Hesti Pratiwi, anak Balairung paling cantik, temannya teman saya. Kenapa harus mirip dengan Mas Dona? Kenapa tidak dengan saya?

“Mas Dona, ini kok di tiket antara jam berangkat sama sampai selisih dua jam-an, ya? Padahal keterangannya penerbangan selama satu jam.”

“Kan, nambah sejam.”

“Hah?”

“Eh, Lombok itu WIT atau WITA?” Mas Dona bertanya kepada Adit di depannya.

“WITA.” kata Adit kalem. Selalu begitu.

Bangke. Inilah akibat jarang ngukur jalan. Sekali meyeberang zona waktu, kali ini Waktu Indonesia Barat ke Waktu Indonesia Tengah, saja sudah bikin gegar tempo.

Sambil menunggu Mas Bebe dan Wiro Sableng Pendekar Kapak Geni 212, soal melintasi zona waktu itu diam-diam membuat saya senang. Dengan Ofa dan Dafi, dua teman di Yogya, kami pernah ngobrol soal mesin waktu. Bahkan hingga bagaimana cara membuatnya. Kini, saya akan merasakannya.

Lima belas menit sebelum waktunya naik pesawat, kami lengkap sudah. Mas Dona, saya, Adit, Tiwi, Mas Bebe, dan Wiro. Kami berenam akan bertemu belasan teman lain dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Jember, dan Bali di Mataram, untuk melakukan perjalanan di salah satu pulau pusat destinasi wisata Indonesia itu. Agenda kali ini bernama Jelajah Negeri Tembakau.

Daun tembakau kering yang sudah direklasifikasi. (Viriya Paramita)
MESIN WAKTU MEMBUAT kami terbang “lebih lama”. Dari Yogya pukul 6, kami tiba di Lombok setengah sembilan. Bandara Internasional Lombok-Praya tak semegah yang saya bayangkan. Kosong dan sepi malah. Padahal, sebagai pegiat Instagram dan Path, saya sudah siap dengan kamera ponsel.

Dari bandara, kami dijemput minibus untuk diantar ke Mataram, Ibu Kota Nusa Tenggara Barat. Setengah jam kami di dalam mobil melintasi Kabupaten Lombok Barat menuju Kabupaten Lombok Tengah. Pukul sembilan lebih, gelap di luar kaca agak keterlaluan untuk wilayah dengan nama luar biasa tenar seperti Lombok. Bayangan serbagemerlap tentang Lombok—saya bayangkan mirip Bali—meleset. Besok saya akan tahu, pariwisata di Lombok baru meledak tiga tahun terakhir. Pantas. Aspalnya kelihatan baru, masih bagus, tapi entah mengapa mobil berjalan tak mulus. Di gelap luar, pemandangan rumah hunian yang berjauhan selang-seling dengan pepohonan. Guncangan dalam mobil membuat saya mabuk.

Gelap segera berganti terang ketika masuk Mataram. Kami melewati sebuah bundaran yang di tengahnya berdiri miniatur masjid. Ini kota seribu masjid, kata Pak Sopir. Beberapa waktu lalu, saya memeriksa aksara draf buku Melawat ke Timur, kumpulan catatan menilik Islam di Indonesia Timur karangan Kardono Setyorakhmadi. Ia menemukan bahwa di Maluku, di tengah permukiman dengan rumah-rumah sederhana sekalipun akan berdiri masjid yang megah. Kelihatannya, hal yang sama berlaku di sini.

Tiba di Hotel Arianz, Mataram, teman-teman dari Jakarta sudah menunggu di teras. Beberapa adalah teman lama: Nuran, Yandri, Miko. Lainnya baru berjabat tangan kali pertama di sini, yakni Iffah, Erika, Viriya alias Jawir alias Ahok KW, Mas Joni, dan Mas Alfa. Dunia memang sempit karena esoknya saya tahu, Iffah ternyata murid bapak saya di SMA. Ia juga editor yang menangani buku Surat Terbuka kepada Pemilih Jokowi Sedunia. Sedangkan Ahok KW saya tahu karena ia menang hibah buku dari Pindai, situs web tempat saya bekerja, dan dengan Mas Alfa saya sudah berteman di Facebook.

Habis ramah tamah, ruang makan langsung saya serang. Menunya sate lilit dan mendoan. Ya Tuhan, saya ini berkampung di Purwokerto, terbang jauh ke timur melintasi satu zona waktu dan disuguhi makanan khas kampung sendiri.

Habis makan kami merokok di teras. Seseorang bertanya, apa lapangan besar di depan kami ini alun-alun?

Gayanya memang mirip. Seorang lain menjawab, bukan. Ini lapangan saja.

Apa ada masjid di sebelah baratnya? Saya bertanya.

Iya.

Lalu di utaranya apakah itu kantor pemerintahan?

Iya.

Bukankah itu konsep alun-alun? Tapi debat tak perlu dipanjang-panjangkan. Ngantuk. Ngantuk lawan penasaran, menang ngantuk.

1 komentar:

  1. saya IBU ENDANG seorang TKI DI MALAYSIA
    pengen pulang ke indonesia tapi gak ada ongkos
    sempat saya putus asa apalagi dengan keadaan susah
    gaji suami saya itupun buat makan sehari2. sedangkan hutang banyak
    kebetulan suami saya buka-buka internet Dan mendapatkan
    nomor MBAH KASSENG (0853-4288-2547) katanya bisa bantu orang melunasi hutang
    melalui jalan TOGEL dan dengan keadaan susah, terpaksa saya
    hubungi dan minta angka bocoran Toto/malaysia
    angka yang di berikan waktu itu 4D 
    ternyata betul-betul tembus 100% alhamdulillah dapat 269.jt Oleh Karna itu saya posting no HP MBAH KASSENG ini supaya saudarah-saudara ku di indonesia maupun di luar negri yang sangat kesulitan masalah ekonomi (kesusahan) jangan anda putus asa. Karna jalan masih panjang yang penting anda tdk malu atau takut menghubungi MBAH KASSENG. Semua akan berubah Karna kesuksesan ada pada diri kita sendiri. Yakin dan percaya bahwa itu semua akan tercapai berkat bantuan dari mbah AMIN.
    MBAH KASSENG
    NO: 0853-4288-2547 / +6285-342-882-547

    BalasHapus