![]() |
Prima SW |
ANGKA TADI BELUM berarti apa-apa. Beruntung kami
dibawa ke Desa Paok Rengge, Lombok Tengah, untuk menengok macam apa rupa kebun
tembakau.
Kami bergeser ke Paok Rengge tepat di
jam makan siang. Di rumah Syamsul, petani tembakau muda yang melanjutkan kebun
tembakau ibunya—dan disekolahkan dari hasil itu. Tidak ada mendoan hari ini,
berganti dengan ayam taliwang, urap, dan sate lilit. Khas Lombok.
Habis makan, kami mengobrol di dengan
Sukirman dan Syamsul. “Haji Sukirman,” ia mengenalkan diri. Haji dari tembakau.
Ia bangga dengan itu dan berterima kasih kepada Djarum.
“Rokoknya apa, Pak?” Saya menanyakan
rokok yang diisapnya sehari-hari.
“Surya.” Ia jawab begitu sambil
senyum. Produk Gudang Garam.
Salah satu yang membuat Sukirman
nyaman bermitra dengan Djarum karena Iskandar menetapkan harga beli lewat
musyawarah dengan petani. Luas kebun Sukirman 0,8 hektare. Artinya, jika panen
terbaik, ia mendapat margin Rp18,4 juta per panen. Dalam setahun panen sekali.
Jika 18,4 juta itu dibagi untuk biaya hidup setahun, ada 1,5 juta untuk makan
sekeluarga sebulan. Mengapa ia bisa naik haji?
Selama masa tidak menanam tembakau,
kebun beralih menjadi sawah untuk padi. Padi gogo. Juga disambi menanam sayur.
Di halaman rumah juga tampak oleh kami ternak seperti ayam. Semuanya untuk
dimakan sendiri. Itulah mengapa banyak uang yang bisa disimpan dan konsumsi
uang sangat kecil. Jangan tertipu oleh standar pengeluaran 2 dolar sehari yang
ditetapkan Bank Dunia untuk kategori miskin. Justru model yang begini yang
berdaulat.
![]() |
Prima SW |
Keluarga petani di desa umumnya
memang tidak konsumtif untuk urusan pangan. Namun, situasi tertentu bisa
menyebabkan rumah tangga di desa bisa konsumtif pangan. Hal tersebut ditemukan
dalam riset
sederhana Serikat Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) tahun lalu. Malangnya
lagi, penghasilan keluarga kemudian habis separuhnya hanya untuk beli makanan.
Bekal pengetahuan serupa yang bisa
dipakai ketika mendapati bahwa buruh tani tembakau dihargai Rp35 ribu untuk
kerja sehari. Itu untuk laki-laki. Sementara tenaga perempuan dihargai Rp20
ribu per hari. Rantai produksi tembakau memang banyak, dan pasti, menyerap
buruh harian lepas (BHL). Cuma karena kami tidak bertemu BHL, saya tidak bisa
yakin pasti upah sebesar itu pantas.
Gudang tembakau juga menyerap banyak
BHL. Di masa panen, ada 858 orang yang bekerja di sana, tapi yang tetap hanya
50–80-an (saya tidak ingat). Sehari upahnya Rp50 ribu.
“Dapat rokok gratis enggak, Pak?”
Pertanyaan itu ditujukan untuk Pak
Cik, ia pegawai tetap Djarum. Itu nama julukan dari teman-temannya karena dulu
sempat jadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia.
“Enggaklah. Beli sendiri.”
“Rokoknya apa?”
Lagi-lagi Surya. Walau kadang-kadang
ganti L.A., katanya.
Sukirman adalah salah satu petani
tembakau awal di desanya. Mulai tahun 1998. Tadinya sentra tembakau ada di
Lombok Timur, kebunnya BAT. Melihat dia sukses, tetangganya ikut-ikutan. Wah,
cerita sukses ini.
“Jadi, jumlah petani tembakau di sini
berapa, Pak?” Sukirman tepat untuk menjawab itu karena ia juga kepala dusun.
“Sekitar lima keluargalah.”
Lo?
Rupanya tahun 2010 sempat terjadi
gagal panen karena hujan terus turun. Banyak petani yang terbelit utang lalu
berhenti menanam dan pergi jadi TKI ke Malaysia. Nusa Tenggara Barat adalah
lumbung TKI terbesar keempat di Indonesia.
Usai
makan kami melihat “oven” untuk mengeringkan tembakau. Wujudnya rumah bata
berplafon tinggi. Bahan bakar tungkunya cangkang kemiri. Kalau sedang menyala,
harus dijaga siang malam. Di dekat oven kami lihat saung terbuka. Itu tempat
tidur Syamsul di malam hari jika sedang menjaga api.
“Tembakau
di dalam rumah, orangnya di luar,” ia berkelakar.
Kami
lalu pamit. Di jalan sempat mampir ke ladang tembakau, tapi tidak aktivitas
apa-apa karena panen sudah rampung.
Ngopi dan makan jagung bakar. Nuran nadah air mata. (Andrey Gromico) |
KE LOMBOK TAPI absen ke pantai itu ibarat pakai
ikat pinggang tapi celananya kelupaan. Jadi, menuruti suara hati orang-orang
yang sudah pasti siap-siap pamer foto Sengigi di semua media sosial, mampirlah
kami ke Pantai Senggigi tepat menjelang senja.
Senja
di Senggigi bagus. Tapi di Kuta lebih bagus. Makanan di kaki lima juga murah.
Jagung bakar dan kopi seduh sepuluh ribu. Di sini saya tahu jika yang khas
Lombok lainnya adalah mutiara air tawar. Di sini dan di rumah makan yang kami
singgahi selepas dari sini, saya dan teman-teman perempuan lainnya langsung
memborong mutiara. Sangat bagus membeli barang yang dijual pedagang kecil di
lokasi wisata alih-alih belanja di waralaba. Mulai dari pakaian, makanan,
oleh-oleh. Semacam distribusi uang, bukan memusatkannya ke satu toko.
Kami
makan malam di restoran dekat hotel bersama Iskandar dan istri, Syamsul, dan kawan-kawan lainnya. Karena hari
itu, 3 Oktober, bertepatan dengan Hari Kretek, sehabis makan kami berdiskusi
tentang tembakau dan ekonomi Lombok dengan Paox Iben, orang Semarang yang sudah
lama meneliti Lombok. Lengkapnya bisa dibaca di
sini.
saya IBU ENDANG seorang TKI DI MALAYSIA
BalasHapuspengen pulang ke indonesia tapi gak ada ongkos
sempat saya putus asa apalagi dengan keadaan susah
gaji suami saya itupun buat makan sehari2. sedangkan hutang banyak
kebetulan suami saya buka-buka internet Dan mendapatkan
nomor MBAH KASSENG (0853-4288-2547) katanya bisa bantu orang melunasi hutang
melalui jalan TOGEL dan dengan keadaan susah, terpaksa saya
hubungi dan minta angka bocoran Toto/malaysia
angka yang di berikan waktu itu 4D
ternyata betul-betul tembus 100% alhamdulillah dapat 269.jt Oleh Karna itu saya posting no HP MBAH KASSENG ini supaya saudarah-saudara ku di indonesia maupun di luar negri yang sangat kesulitan masalah ekonomi (kesusahan) jangan anda putus asa. Karna jalan masih panjang yang penting anda tdk malu atau takut menghubungi MBAH KASSENG. Semua akan berubah Karna kesuksesan ada pada diri kita sendiri. Yakin dan percaya bahwa itu semua akan tercapai berkat bantuan dari mbah AMIN.
MBAH KASSENG
NO: 0853-4288-2547 / +6285-342-882-547