04 Juli 2011

Pramoedya Ananta Toer 80 Tahun: Berlomba dengan Maut

Pramoedya A. Toer dalam WPAP.
Oleh P Hasudungan Sirait dan Rin Hindryati P


PRAMOEDYA Ananta Toer sangat mendambakan anak laki-laki. Tujuh sudah anaknya dan semuanya perempuan-tiga dari istri pertama dan empat dari istri kedua. Tatkala Maemunah, istri keduanya, mengandung anak mereka yang kelima, Pram kembali mengutarakan dambaan itu. Maemunah yang tak asing dengan lagu permintaan itu-sejak kali pertama mengandung ia sudah mendengarnya-kembali menjawab serupa, "laki perempuan sama saja, yang penting sehat", walau dia tahu kini nada bicara suaminya jauh lebih sungguh. Pram tak hanya mengulang pintanya, tetapi juga berujar sesumbar: kalau yang lahir laki-laki, aku akan mengurung diri dan tak ke mana-mana sekian tahun.

MAEMUNAH melahirkan. Anak laki ternyata. Pram girang bukan kepalang. Ia, seperti cerita Maemunah dan anaknya, Astuti Ananta Toer (Titi), laksana orang gila saking senangnya. Ia terus bernyanyi dengan lagu yang sepertinya ia sendiri saja yang tahu. Lagunya sepotong-sepotong, tak pernah tuntas. Tak hanya di rumah sakit ia demikian. Ketika pulang pun, di sepanjang jalan hingga masuk gang menuju rumahnya di Rawamangun terus saja ia bersenandung. Sampai beberapa hari masih begitu: di rumah ketika kembali bekerja ia masih berdendang ria seperti orang hilang akal.

Ternyata masa bahagia itu segera berujung. Sang putra dambaan yang diberi nama Yudi baru berusia dua bulan ketika pada 13 Oktober 1965 rumah Pram di Rawamangun dikepung sekelompok orang. Rumah itu kemudian dilempari. Tentara muncul dan mengajak Pram pergi, katanya supaya aman dari amuk massa. Nyatanya, dirinya tak menjadi aman. Di dalam mobil yang membawanya, ia merasakan aniaya. Gagang besi senjata sten seorang opsir--menurut Pram, namanya Koptu Sulaiman--menghantam pipinya, hal yang membuat ia kehilangan sebagian besar daya pendengaran selamanya. Periode kembali jadi manusia bubu dimulai. Tak tanggung-tanggung, sampai 14 tahun.

Pram akhirnya beroleh anak laki, tetapi segera masuk bui untuk waktu sangat lama. Apa yang bisa kita katakan tentang ironi ini? Penggenapan ucapan--"kalau yang lahir laki-laki, aku akan mengurung diri dan tak ke mana-mana sekian tahun"--itukah? Bisakah kita bilang ia dengan ucapannya secara tak sadar telah meramalkan nasibnya, sama halnya dengan ketika sebelumnya ia menyebut "tahun 1965 tahun pembabatan total" (judul tulisannya di Lentera, suplemen harian Bintang Timur, 9 Mei 1965)? Kualatkah dia karena kelewat girang? Entahlah. Purba tafsir bisa muncul.

Menjadi tahanan sesungguhnya bukan kali itu saja bagi lelaki kelahiran Blora, 6 Februari 1925 itu. Tahun 1947-1949 ia tawanan Belanda di Jakarta, antara lain di Bukitduri, Jatinegara. Kesalahannya, membawa pamflet perlawanan terhadap aksi militer I Belanda. Tahun 1960 ia disekap di rumah tahanan militer di Jakarta setelah bukunya, Hoakiau di Indonesia, terbit. Dosanya, dalam kitab itu ia kritik Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 yang melarang kaum Tionghoa bergiat di pedalaman negeri ini. Kendati sudah dua kali jadi manusia bubu, penahanan yang terakhir ini merupakan pengalaman eksistensial yang luar biasa baginya. Sebuah fase yang juga melengkapi tragik keluarga besarnya, keluarga Toer.

Saat rumahnya dikepung dan dihujani batu tahun 1965, Maemunah tak ada di sana. Ia, dan bayinya, ada di rumah orangtuanya untuk mengembalikan kebugarannya. Adalah kebiasaan perempuan keponakan pahlawan nasional M Husni Thamrin ini tinggal di rumah orangtuanya sampai 40 hari saban habis bersalin. Selain Pram, yang ada di rumah kala itu adalah adiknya, Koesalah Soebagyo Toer. Koesalah kebetulan sedang di Indonesia mempersiapkan disertasi ihwal bahasa Indonesia untuk program doktornya di Fakultas Sastra dan Filologi Universitas Patrice Lumumba, Moskwa, setelah merampungkan masternya di situ. Koesalah ikut diciduk tentara.

Sesampai di rumah keduanya, ia dan tahanan lain diinterogasi. Tahulah mereka kemudian bahwa di tempat interogasi ada anggota keluarga mereka yang diambil. Moedigdo, paman yang rumahnya di Jakarta pernah ditumpangi Pram selama 3,5 tahun di masa pendudukan Jepang, ikut ditahan. Mereka bersua di sana. Masih tahun 1965, dalam pembersihan kaum yang dianggap komunis itu, adik Pram lainnya juga ditangkap. Prawito Waluyadi namanya, mantan tentara. Saat ditangkap ia penerjemah di Bapos, Badan Penerangan Rusia di Jakarta.

Beberapa hari saja Koesalah ditahan. Ia dibebaskan tetapi tak bisa kembali ke Moskwa merampungkan studi. Adapun Pram, berpindah dari satu rumah tahanan ke rumah tahanan lain: Kodam, Guntur, Cipinang, Tangerang, Salemba, dan Nusakambangan, sebelum diasingkan ke Pulau Buru, Agustus 1969. Waluyadi akhirnya dibuang ke Buru juga. Sebuah keputusan yang sangat mengejutkan dirinya dan mengguncang jiwanya. Sebab, seperti ia katakan, menurut hasil pemeriksaan, ia golongan C-1, tetapi kemudian entah mengapa diubah jadi golongan B yang berarti dipulauburukan.

Kebebasan Koesalah sementara saja. Tahun 1968, ia ditahan lagi dan dijebloskan ke RTC Salemba. Sepuluh tahun kemudian baru ia bebas. Mengapa demikian? Tak ada penjelasan. Satu saja yang perlu kita ingat: di zaman itu Soeharto dan orang-orangnya tak memerlukan reasoning manakala membuikan siapa saja yang mereka anggap musuh politik, bahkan ketika meniadakan mereka pun. Keluarga Toer belum putus dirundung malang. Tahun 1973 seorang lagi adik Pram ditangkap. Soesilo Toer dijemput Satgas Intel Jakarta sesaat setelah menjejakkan kaki di Bandara Halim Perdanakusumah. Ia baru pulang dari Moskwa setelah meraih doktor ekonomi di Institut Plekhanov. Soesilo ditahan dan baru bebas tahun 1980.

Terpukul betul Pram. Ia merasa sangat bersalah karena menyuruh kedua adiknya bersekolah di Rusia. Menurut jalan pikirannya, kalau saja mereka tak ia suruh sekolah, ceritanya akan sangat lain. Juga kalau ia suruh sekolah tetapi tak ke Rusia. Namun, adakah negeri seperti negeri beruang merah waktu itu yang menggratiskan biaya pendidikan? Sangat berbeda dengan Indonesia yang ongkos sekolahnya kelewat mahal untuk ukuran orang seperti mereka. Pram berdialog sendiri.

Dengan ditahannya Soesilo, sudah empat putra pasangan Mas Toer-Oemi Saidah dibuikan. Tinggal Soesatya, laki termuda, yang bebas. Anak ketujuh ini tak ditangkap barangkali karena tak menonjol seperti abang-abangnya. Pram bersaudara sembilan orang, lima lelaki empat perempuan. Pram tertua, Soesanti termuda. Si bungsu meninggal, bersamaan dengan ibunya, dalam usia delapan tahun. Bisa dibayangkan betapa berat cobaan untuk keluarga Toer. Adakah isyarat buruk yang mereka tangkap sebelumnya?

Adik perempuan Pram, Oemi Syafa'atun bercerita. Ada sebuah kejadian aneh sebelum nestapa itu meraja. Ada makam di kuburan keluarga Toer di pinggiran Blora yang amblas. Di pekuburan ini terdapat sejumlah makam, antara lain makam ayah-ibu Pram serta nenek dari ibunya, Satimah, yang diceritakan Pram sebagai gadis pantai. Oemi membaca realitas amblasnya tanah itu sebagai pertanda buruk. Ia mencoba memaknainya dan saudara laki-lakinya lalu ditangkapi.

Tak seperti Oemi Syafa'atun, Maemunah tak punya firasat tertentu menjelang suaminya ditahan tahun 1965. Ia memang gelisah, tetapi lebih karena melihat temannya mulai ditangkapi atau melarikan diri. Di puncak kegelisahan itu, seiring dengan situasi kian buruk, ia menyarankan sang suami pergi saja. Tak apa kalau dia dan anak-anak ditinggal. Namun, menurut dia, Pram menampik dan menyatakan dirinyalah yang harus bertanggung jawab (kelak, tak lama setelah mendekam di bui, justru Pram yang balik menyuruh istrinya kawin lagi sebab masih muda).

SEPERTI pengalaman banyak keluarga di negeri ini, nestapa yang tak berkesudahan mendera keluarga besar Toer setelah pembersihan kaum kiri pasca-G30S. Penyebabnya adalah penistaan dan teror sistematis untuk melumpuhkan. Keluarga Oemi salah satu korban. Perempuan yang kini semua anaknya sarjana itu, misalnya, dituduh menghimpun kekuatan PKI di rumahnya. Padahal, yang berlangsung di sana hanya pengajian rutin. Sejak tuduhan muncul, tak boleh lagi ada pengajian di kediamannya. Yang pernah menjadi imam dalam pengajian di sana tak lagi boleh memberi pengajian di kantor-kantor. Anggota keluarga adik perempuan Pram yang perkasa ini-setelah ibu dan ayah mereka meninggal ia berhenti sekolah mengurus dan menghidupi adiknya yang masih kecil-ikut disasar penguasa. Caranya macam-macam. Nilai anaknya dijatuhkan guru. Suaminya diperas. Tak ada yang bisa dilakukan Oemi untuk keselamatan kakak-adiknya yang dibuikan, selain tahunan puasa Senin-Kamis.

Sebagai keluarga batih Pramoedya Ananta Toer, niscaya Maemunah dan kelima anaknya menderita penistaan dan teror. Maemunah berkisah. Ketika suaminya diciduk, ia mengira perpisahan mereka tak lama. Paling beberapa bulan. Karena itu, uang hasil mengontrakkan rumahnya serta pemberian sanak saudaranya ia habiskan membeli makan sebanyaknya saban membesuk suaminya. Makanan setas penuh. Maksudnya, untuk diganyang beramai di bui. Yang terjadi kemudian, uangnya ludes, sementara sang suami tak kunjung bebas kendati beberapa purnama sudah lewat.

The show must goes on. Untuk menghidupi keluarga, Maemunah bukannya kawin lagi seperti anjuran Pram. Ia membuat es mambo dengan mengaryakan kulkas pemberian adiknya. Di malam hari, anak-anaknya membantu mengikati es yang akan dijual itu. Hasil es mambo tentu tak seberapa. Maka, ia juga membuat bolu, kue coklat, dan kudapan lain untuk dijual. Kalau ada pemesan akan dilayaninya. Hasilnya, ditambah sewa sebuah taksi miliknya dan pemberian saudaranya yang sekian lama tetap pemurah, untuk mengasapi dapur selama suaminya ditahan. Ia mendengar ada uang kiriman untuk keluarganya dari mereka yang bersimpati, tetapi tak pernah sampai di tangannya.

Menghadapi dunia luar jauh lebih berat bagi Maemunah ketimbang mengurusi rumah tangga. Otak harus sering ia putar untuk bermuka-muka dengan lingkungan yang sontak tak ramah. Karena sering dipersulit saat mengurus surat-surat, misalnya, namanya ia ganti. Maemunah Thamrin seterusnya yang ia pakai. Ternyata strategi ini cukup jitu. Namun, persoalan hidup jauh lebih banyak dan pelik dari itu. Taruhannya nyawa. Terlalu berat cobaan yang pernah dihadapi perempuan yang oleh Pram disebut sehebat ibunya itu. Untuk mengisahkannya sekarang masih saja ia belum kuat. Trauma itu belum hilang.

Kelima anak Pram-Maemunah sering dihina di sekolah. Sekali peristiwa, seperti diceritakan Pram, seorang anaknya dikeroyok temannya. Tatkala polisi datang, yang ditangkap malah yang dikeroyok. Sambil membekuk, petugas itu berucap "ini ajaran bapakmu, ya" ke anak itu. Hal seperti itu bagi Titi biasa. Lebih dari itu sudah mereka alami. Ditakut-takuti orang dengan pistol kerap mereka hadapi selagi masih kecil. Ia biasanya tak tinggal diam. Berkali ia berkelahi membela kehormatan ayahnya. Bagaimanapun, penistaan dan teror ini secara efektif telah mengabadikan luka dalam jiwa sebagian besar anak Pram- Maemunah.

Pram sendiri, terlepas dari pencapaiannya yang luar biasa dalam kepenulisan, secara kejiwaan juga digerogoti penguasa Orde Baru. Lihatlah, kepribadiannya banyak berubah sepulang dari penjara Orde Baru. Sebagai suami, menurut Maemunah, Pram tadinya romantis dan lembut. Sebelum punya anak mereka kerap menonton berdua. Kebiasaan menonton ini berkurang setelah anak mereka berlahiran dan Pram makin sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai ayah, dulunya Pram sangat perhatian dan hangat. Dialah yang mengurusi anak- anaknya, bukan istrinya. Memandikan dan membajui mereka. Juga membuatkan pakaian untuk mereka. Saking dekatnya, sampai dewasa pun menurut Titi, ia masih tidur dengan ayahnya.

Pram sangat memerhatikan pendidikan anaknya. Kepada Maemunah ia mengatakan anak mereka sebaiknya nanti sekolah di Rusia saja. Alasannya, selain bagus, di sana sekolah gratis. Serius dia dengan ucapannya. Titi ia persiapkan secara khusus untuk itu. Titi yang kelas empat SD berumur 10 tahun saat Pram ditangkap masih mengingat bagaimana bersungguhnya sang ayah menangani pendidikannya. Adik-adiknya waktu itu masih kecil, dia saja yang digembleng khusus oleh bapaknya. Menurut rencana Pram, kelas empat SD Titi sudah harus berangkat ke Rusia. Maka, sejak kelas dua anak itu sudah ikut les bahasa, di antaranya bahasa Belanda. Saban ke kedutaan, Pram selalu membawa bocah itu dan melepaskannya di sana agar bersoalisasi dengan orang banyak. Titi masih ingat dia satu-satunya bocah waktu itu yang kerap berdansa dengan teman-teman ayahnya. Dia pula yang acap membaca puisi di depan orang banyak. Bapaknya telah mengajari dia berani di depan siapa pun.

Kendati hangat, dalam mendidik Titi, Pram tegas. Setiap hari ia memeriksa buku putrinya itu. Pernah, kenang Titi, dalam ujian ia hanya mendapat 6 dan 7. Oleh ayahnya ia disuruh mengulang pelajaran sampai benar semua. Seterusnya nilai ujiannya rata-rata selalu 9. Setiap hari Titi harus belajar menulis. Kalau sore, Pram sudah duduk di depan meja tulis dan meminta putrinya itu mengetik beberapa lembar. Pram memilih Rusia sebagai tempat sekolah Titi nanti karena alasan tertentu. Pertama, tak perlu membayar uang sekolah. Kedua, Koesalah dan Soesilo masih kuliah di sana. Ketiga, Rusia berada di Eropa. Pram pernah bercita-cita bersekolah di Eropa karena terpengaruh anjuran ibunya. Namun, kemiskinan keluarga kemudian membuat cita-cita itu kandas. Tak menyerah, yang ia lakukan kemudian, mendorong Koesalah dan Soesilo bersekolah ke Eropa dan kini mendorong anaknya, Titi. Tahun 1965 itu Titi sebenarnya akan bertolak ke Rusia, tetapi G30S terjadi sebelum rencana terealiasi.

Teranglah, tadinya Pram hangat dan care sebagai suami dan ayah. Perangainya jadi sangat lain sekembali dari penjara. Ia sangat keras dan cuek. Ia sendiri menyadari peranjakan drastis ini. Dalam beberapa kesempatan ia mengatakan yang membuat ia demikian adalah perlakuan tentara Soeharto. Dulu, menurut Maemunah, Pram selalu rapi. Rajin berkemeja, berpantalon, dan bersepatu. Berkaos oblong pun ia tetap rapi. Saat merokok, jika abunya jatuh ke lantai, ia akan membersihkan sendiri dengan jarinya. Ruang kerjanya senantiasa terjaga. Yang terjadi kemudian lain. Ia tak keruan berpakaian. Kertas-kertasnya berserakan di mana-mana. Tempat sampah yang tersedia tak ia hiraukan. Kalau datang dari ladang, sepatu beceknya ia injakkan begitu saja di lantai, tak peduli apakah lantai itu baru dipel. Kelembutannya telah pupus. Namun, Maemunah masih bisa bersyukur sebab sampai sekarang sama sekali belum pernah dibentak apalagi dipukul sang suami. Malah dia yang sering mencereweti lakinya.

Pram bukan lagi ayah yang hangat dan sangat peduli, tetapi ayah yang kelewat serius dan selalu asyik dengan dirinya. Akibatnya, ia tak akrab dengan anaknya, kecuali dengan Titi. Menurut penilaian Maemunah dan Titi, ada sejumlah kemungkinan yang membuat keberjarakan itu. Pertama, perpisahan Pram dengan anaknya terlalu lama. Setelah bertemu lagi 14 tahun kemudian, mereka telanjur saling merasa asing. Kedua, Pram sering digambarkan orang sebagai sosok galak. Karena tak sempat kenal secara intens, anak-anak percaya begitu saja penggambaran itu. Ketiga, sang ayah yang mereka kenal cenderung penyendiri. Sudah begitu, pendengarannya terganggu pula. Salah pengertian sering terjadi. Pram yang suaranya memang keras sering dikira marah oleh anak-anak. Padahal tidak. Sementara kalau anak bercanda sambil tertawa-tawa, Pram bisa memaknainya lain. Kadang ia kira dirinyalah yang ditertawakan. Padahal tidak. Serba salah jadinya.

Titi adalah hasil didikan langsung Pram. Ia mengenal betul karakter sang ayah. Itu sebabnya ia tak memedulikan ucapan atau penilaian orang tentang ayahnya. Sebaliknya, Pram merasa kenal luar-dalam kepribadian Titi. Selain itu, ia menyukai sikap berani sang anak. Dalam penilaian Pram, dialah yang paling bernyali di antara semua anaknya. Maka, klop keduanya. Pertalian emosi mereka terus berlanjut.


Astuti Ananta Toer (berbaju oranye)

Sebagai orang yang paling mampu berkomunikasi dengan ayahnya, Titi selama ini berupaya mendekatkan adiknya dengan sang ayah. Ini tentu tak mudah. Untunglah ia sabar. Seiring dengan gerak waktu, jerih payahnya berbuah walau tak bernas. Kini hubungan ayah beranak sudah lebih cair kendati tak secair relasi sang ayah dengan ke-16 cucunya. Misi lain yang juga dijalankan Titi selama ini adalah merekatkan ayahnya dengan saudara tirinya. Hubungan Pram dengan ketiga putri hasil perkawinannya yang pertama lebih renggang lagi. Ada kendala psikologis di antara mereka. Pram selalu mengatakan ia diusir istri pertamanya. Seperti dirinya, bekas istrinya itu menikah lagi dan punya anak. Entah karena itu nama Ananta Toer dihilangkan dari nama ketiga putrinya itu, Pram kecewa berat karenanya. Meski demikian, ia masih membantu mereka secara finansial. Bahkan, saudara tiri mereka juga. Mantan istri Pram itu sudah tiada.

Seperti telah disebut, hanya Titi anak yang akrab dengan Pram. Tak heran kalau kemudian, di antara semua anaknya, dia yang dipersiapkan Pram mengurusi hak cipta dan penerbitan buku-bukunya. Untuk itu Pram meminta sarjana akuntansi ini keluar dari pekerjaannya dari sebuah perusahaan besar. Awalnya, tahun 1990-an, Titi tak serius menangapinya. Setelah berkali-kali diminta ayahnya, ia luluh juga. Ia berhenti dari pekerjaannya dan kini berkonsentrasi mengurusi hasil karya ayahnya. Bersama kawannya ia mendirikan Penerbit Lentera Dipantara. Pram bisa lega karena nasib buku-bukunya kini lebih jelas.

Kalau Pram berubah secara kepribadian akibat membui, tidak demikian dengan proses kreatifnya. Produktivitasnya tak ikut merosot. Ia tak rontok seperti banyak kawannya atau seperti adiknya, Prawito Waluyadi, yang kejiwaannya terusik sehingga sampai sekarang mengisolasi diri di rumah mereka di Blora. Mengapa dia sanggup bertahan? Ternyata Pram punya raison d'ĂȘtre yang membuat dirinya tak mau mampus begitu saja.

Pram yang lahir prematur dan sejak kecil sakit-sakitan memperkirakan umurnya tak akan panjang. Paling banter 40-an. Logikanya, ibunya meninggal usia 34 sedangkan ayahnya 55. Kalau 34 ditambah 55 dan dibagi dua, hasilnya 44. Maka paling top sekitar itulah masa hidupnya. Merasa umurnya tak bakal panjang, sejak muda ia sudah memutuskan berlomba dengan maut. Karena pekerjaannya menulis, yang ia lakukan menulis sebanyak-banyaknya sebelum ajal tiba. Produktivitasnya yang luar biasa sejak masuk penjara tahun 1947 merupakan buah perpacuannya dengan maut.

Tahun 1965 ketika ditangkap, Pram berusia 40 tahun. Agustus 1969 ia diasingkan ke Buru. Seperti tapol lain, di sana ia saban hari harus menjalani kerja paksa. Perlombaan dengan maut ia teruskan. Kerja paksa, menurut Pram, ia lakoni seperti sport. Bila sebelumnya dia ringkih digerogoti penyakit, kerja badan membuat tubuhnya lebih sehat dan berotot. Saat bebas dan pulang ke Jakarta, tubuhnya berbobot 70 kilogram. Laksana pegulat saja. Satu hal lagi, di tanah pembuangan di barat Pulau Ambon itu, ia melahirkan sejumlah karya, termasuk opus magnum-nya tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Penjara Orde Baru tak mampu menghentikan detak jantung serta kreativitasnya. Juga perambatan usianya jauh melampaui angka 44.

Sekeluar dari Buru, Pram kian berjaya. Karyanya diterbitkan dalam banyak bahasa. Kini 40 bahasa. Dengan demikian dialah sastrawan Indonesia yang paling dikenal dunia. Pelbagai penghargaan ia terima. Freedom to Write Award (PEN), Wertheim Award, Ramon Magsaysay Award, UNESCO Madanjeet Singh Price, New York Foundation for the Arts Award, dan Fukuoka Cultural Grand Prize. Selain itu, ia beroleh gelar Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan, AS (1999). Tak syak lagi, ia diapresiasi dunia sebagai sastrawan kelas satu. Maka, ia diundang ke sana ke mari melintasi Indonesia sebagai pembicara atau untuk menghadiri peluncuran terjemahan karyanya. Ini sebuah ironi lagi: sementara di negeri Pancasila ini tak ada lembaga yang memberinya penghargaan, kecuali PRD: Partai Rakyat Demokratik Award (1996). Adapun pemerintah, jangankan memberi penghargaan, mencabut larangan terhadap sejumlah bukunya pun belum sudi hingga kini. Pun mengembalikan rumah, naskah, dan harta lain miliknya yang pernah dirampas.

SUATU pagi di Blora. Pram sedang di ladang membakari sampah tatkala ada yang memberi tahu ia ditunggu murid-murid di SMP Negeri 5. Ia bergegas. Tanpa mandi ia berganti baju. Batik yang ia kenakan. Kepada adiknya, Soesilo Toer, ia minta dibelikan minyak kemiri. Di warung sebelah tak ada minyak kemiri. Yang ada minyak urang aring. Pram bilang urang aring pun tak apa. Sembari menunggu urang-aring, rambut ia rapikan dengan jarinya. Setelah menerima minyak itu, ia menumpahkannya ke telapaknya dan mengusapkannya ke rambut. Rapi sudah ia, siap naik becak.

Di SMP Negeri 5 Blora murid beberapa kelas telah menunggu. Juga sejumlah guru. Sebuah kelas khusus disiapkan untuk perhelatan pagi itu. Pram begitu ceria dan bergairah, laksana bocah di hari pertama bersekolah. Maklum dia sedang berada di sekolah yang tadinya sekolah Instituut Boedi Oetomo pimpinan ayahnya. Prasasti di depan sekolah ini menyebut sekolah ini didirikan Mas Toer Imam Badjuri. Foto sang pendiri terpampang di sana. Sudah puluhan tahun Pram tak menginjakkan kaki di sana. Ia enggan mampir karena menganggap hak kepemilikan sekolah itu dirampas dari tangan keluarganya. Memperkarakan hak kepemilikan sekolah ini pernah ia lakukan.

Pram tak pernah membayangkan akan bisa masuk kelas sekolah itu dan bertatap muka dengan murid. Yang pertama ia lakukan di sana setelah mengucapkan salam adalah menceritakan pendidikan formalnya hanya sampai kelas dua SMP. Ia bisa jadi penulis karena latihan sendiri, mendidik diri sendiri. Macam-macam pertanyaan muncul dari para murid, sebagian titipan dari guru mereka. Guru ada juga yang nimbrung. Mengapa Pram ditahan begitu lama oleh penguasa Orde Baru, mengapa karyanya sampai dicekal, bagaimana cara dia menulis, sudah berapa buku karyanya, apakah cerita dari Blora kisah nyata, bagaimana beroleh gelar doktor padahal tak tamat SMP, mengapa diberi hadiah Magsaysay, apakah selanjutnya akan tinggal di Blora, itu antara lain yang mereka tanyakan. Dengan sungguh-sungguh dan tangkas Pram menjawab pertanyaan itu. Terkadang Soesilo membantu menjelaskan detailnya. Ia bicara seperti ke orang dewasa saja. Tuturannya yang paling menarik adalah ketika menjawab murid yang minta arahan agar mereka punya bekal hidup nanti. Pram menggarisbawahi perlunya melatih keberanian. Tanpa keberanian, manusia hanya ternak. Produksi tak jalan, yang ada hanya konsumsi. Tanpa pengalaman produksi, dalam kesulitan pasti orang korupsi. Ia mencontohkan realitas di Indonesia selama ini.

Siang, sepulang dari SMP Negeri 5, Pram ditanggap sebagai pembicara dalam diskusi dadakan di Pendopo Perpustakaan Umum, Taman Sarbini, pusat kota Blora. Pertanyaan untuk Pram kurang lebih sama dengan yang di SMP Negeri 5. Petang, sekelompok anak muda mendatangi Pram di rumah orangtuanya di bilangan Jetis. Diskusi informal berlangsung akrab. Hari itu Pram surprised. Esoknya, ia mengatakan tak menyangka kalau di Blora ada yang mengikuti perkembangan karyanya. Blora, tanah kelahirannya, sungguh berarti baginya. Sebagian besar perkisahannya bertolak dari pengalaman eksistensialnya di kota itu. Wajar kalau apresiasi Blora sekarang bernilai lebih bagi dia.

Pram belakangan ini kerap rindu Blora. Kalau sedang bosan di Bojonggede atau Jakarta, selalu ingin ia pulang ke Blora. Keinginannya tak boleh ditunda. Fisik yang lemah saja terkadang perintang langkahnya. Kalau pulang ke Blora, yang ia lakukan paling mengumpulkan dan membakar sampah dedaunan di samping rumahnya, selain nyekar.

Pramoedya Ananta Toer genap 80 tahun pada 6 Februari kemarin. Fisiknya makin mundur dimakan waktu. Sejak tahun 2000, jantungnya sakit. Kadar gulanya belakangan sampai 430. Kakinya kehilangan kekuatan. Pandangannya kabur. Ia jarang membaca sekarang. Mimpi buruk tentang dirinya yang diuber-uber tentara, kerja paksa, naskah dan koleksi perpustakaannya yang dihacurkan penguasa kian kerap mengusik tidurnya. Kalau saja sejak dulu tak rajin kerja badan, makan bawang putih dan aspirin serta sesekali menenggak anggur merah, menurut Pram, ia sudah tinggal nama.

Pram merasa asing dengan ketuaannya sekarang. Merasa tak terdidik menjadi tua, pengalaman ini baru baginya. Namun, itu tak membuat semangatnya surut. Pram sudah merosot kecuali dalam semangat lama: berlomba dengan maut. Kerja otak dan fisik dioptimalkannya untuk memperlambat kepikunan. Pram memang sudah tak menulis novel. Yang ia lakukan belakangan ini mengkliping bahan untuk Ensiklopedi Kawasan Indonesia yang ia kerjakan sejak tahun 1980. Dalam lima bulan terakhir, begitu intens ia lakoni pekerjaan ini. Saban pagi ia bangun pukul lima. Yang ia kerjakan pertama kali adalah mengurusi kliping. Hasil kerja spartannya, tebal materi kliping untuk ensiklopedia itu sudah sampai lima meter. Kalau biayanya sudah ada, menurut Pram, materi ini sudah bisa mulai ditulis. Biaya diperlukan terutama untuk menggaji sekitar lima editor yang akan menulis dan menyuntingnya.

Sastrawan utama ini kian menjulang, sementara Soeharto yang memenjarakannya telah tumbang. Pram merasa semua dambaannya sudah menjadi kenyataan. Sekarang tinggal mati saja. Ia menegaskan siap untuk itu. Kapan pun. Wajar saja. Toh, bonus usianya sudah hampir seratus persen dari yang dulu ia perkirakan.[]

Catatan:
1. P Hasudungan Sirait Penulis Lepas
2. Rin Hindryati P Wartawan The Asian Wall Street Journal di Jakarta
3. Keduanya, bersama seorang kawan, sekitar dua tahun mempersiapkan buku tentang Pramoedya A. Toer.

artikel dari BENTARA, KOMPAS, 2 MARET 2005, Halaman 43 via http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/11228

6 komentar:

  1. akhirnya di up-date.... puji tuhan hhe
    mbak prima, I miss you *kecupbasah*

    BalasHapus
  2. Ya, Pram memang pribadi yang menarik. Tapi kapa orang sekaliber Pram kembali dilahirkan?
    Kalau orang sekarang ada yang sekaliber dia, siapa?

    *tidak pakai kecup

    BalasHapus
  3. Eh, ada Dinda :D (Kembali setelah ribuan tahun muter2 di Tumblr doang).

    BalasHapus
  4. Anda menggunakan gambar saya tanpa ijin,

    BalasHapus
  5. Gambar jenis wpap itu adalah murni buatan saya, kalau anda ingin bukti lihat galeri saya di facebook di email iamsoar_2milkyway@yahoo.co.id

    BalasHapus
  6. salam keplada segenap keluarga. Pramoedya relakani almarhum sebagai milik Bangsa dan Dunia

    BalasHapus