14 Mei 2012

Tua sebagai Ilusi: resensi singkat dua novel

Diambil dari mariamarley.wordpress.com.
Catatan: tulisan ini mengandung bocoran cerita Lelaki Tua dan Laut dan Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta.

DUA orang pria tua tengah berhadapan dengan kekuatan raksasa dalam jagad misterius alam. Yang seorang berkayuh di laut, yang seorang lagi menyusuri rimba dengan sepucuk pistol. Mereka adalah Santiago dan Antonio José Bolívar Proaño.

Keduanya lelaki tua. Tak pernah disebutkan berapa angka usia Santiago, namun ia disebut pria tua dan ia sendiri mengakuinya (1). Sementara Antonio José Bolívar berusia 60 menurut akta, tetapi menurutnya, usianya kurang lebih 70 tahun.

Kita dapat menemukan mereka berdua dalam lembar-lembar kertas. Santiago hidup bersama perairan Kuba dalam lembar-lembar Old Man and The Sea—Lelaki Tua dan Laut karangan Ernest Hemingway, sementara penulis Cile Luis Sepúlveda menuturkan kisah Antonio José Bolívar Proaño yang menjelajahi hutan Ekuador dalam Un viejo que leía historias de amor—Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta.

Dua buah buku berbeda, namun mengandung banyak kemiripan.

Bagi Santiago, hidup berjalan dengan rutinitas yang tak menjanjikan kesenangan berlebih. Menjadi nelayan miskin dengan kekuatan yang menurutnya sudah tak seberapa, perahu Santiago tak pernah disesaki ikan tangkapan. Ia kalah dengan yang muda-muda. Suatu kali ia melaut selama 87 hari tanpa mendapat apapun.

Sesekali ia berkunjung ke teras (2), akan tetapi nelayan-nelayan lainnya lebih banyak mengejeknya. Kata mereka ia salao, yang tersial dari para sial. Ia lebih suka mengurung diri di pondoknya. Seorang anak lelaki bernama Manolin senang menemaninya. Sepertinya keduanya merasa berteman baik dan saling mengerti satu sama lain.

Namun, hidup yang begitu biasa bukanlah sesuatu yang Santiago impikan. Ia tidak berkata, namun jelas kalau ia merindukan masa mudanya sebagai petualang. Berlayar ke Afrika dan dari kejauhan laut, ia melihat singa-singa bermain di pantai yang pasir putihnya menyilaukan mata.

Santiago beristri, tapi tidak beranak. Istrinya sudah meninggal. Di dinding pondoknya sempat tergantung foto perempuan itu, namun ia turunkan karena hanya menambah rasa kesepiannya (3). Hidup sebagai seorang jompo sepertinya bukanlah hal yang ia harapkan (5).

Antonio José Bolívar bernasib sama. Ia menikah muda, hidup miskin, namun bahagia. Tetapi mulut orang benar mampu menciptakan neraka. Karena tak kunjung hamil, semua orang menggunjingkan bahwa istrinya mandul. Perempuan itu frustasi. Cintanya yang besar membuat Antonio José Bolívar memutuskan bahwa mereka harus pindah. Mereka kemudian berlabuh di kampung terpencil El Idilio yang dikungkung rimba Ekuador.

Hidup makin berat ketika istrinya meninggal karena malaria. Antonio José Bolívar lalu menyulih hidupnya dengan tinggal bersama orang Indian Shuar. Ia hidup seperti mereka: berburu monyet, menombak ikan, dan menghapalkan kebiasaan hutan. Karena sebuah kesalahan, ia dikeluarkan dari Suku Shuar meski mereka tak lantas membencinya. Sejak saat itu ia memulai hidupnya yang sunyi di sebuah gubuk di pinggir hutan, tak jauh dari aliran sungai Amazon.

Antonio José Bolívar kesepian, tapi ia tidak menurunkan gambar istrinya. Kesepian Antonio José Bolívar bukan kesepian yang dilarung dengan bertemu orang ramai lalu tergelak-gelak bersama, sampai kemudian pulang kembali ke pondok dengan suasana hati yang kembali murung.

Suatu kali ia bertemu dengan dr. Rubicundo Loachamín yang tengah tertidur di dermaga dengan sebuah novel di tangannya. Ia baca, itu sebuah novel cinta. Sejak saat itu, Antonio José Bolívar ingin membaca novel-novel cinta. Ia mendapatkannya dari dr. Rubicundo Loachamín yang kemudian menjadi sahabat baiknya.

Berbeda dengan Santiago, Antonio José Bolívar sudah puas dengan hidupnya. Ketika lapar, ia mengaduk-aduk dasar sungai yang dangkal dan mendapatkan beberapa udang karang. Kadang ia menyeduh kopi liar tumbuk atau menyesap Frontera (5). Setelah kenyang, ia bisa tidur-tiduran di ranjang gantungnya. Namun hal paling penting yang membuat hidupnya berharga adalah kenyataan ia bisa membaca, sementara orang lain dirundung buta huruf.

 “Ia bisa baca! Inilah penemuan paling penting seumur hidupnya. Ia bisa baca. Ia punya penangkal racun atas usia tua yang mematikan,” (6) tulis Sepúlveda. Tapi ia tetap sadar, dirinya adalah Pak Tua. Ia boleh kuat dan memahami hutan seisinya lebih daripada orang-orang lainnya di El Idilio, namun suatu kali ia “merasa punggungnya linu untuk pertama kali” (7) maka “ia sadar usia senja sedang menyergapnya.” (8)

Mereka punya problema serupa: menjadi tua adalah bentuk kekalahan yang ingin ditolak. Santiago membenci dirinya menua yang membuat hidupnya jadi menyedihkan dengan rutinitas monoton. Pelariannya adalah mimpi-mimpi tentang singa-singa Afrika. Antonio José Bolívar “menangkal” nasib tuanya dengan membaca novel cinta.

Sebuah novel butuh konflik. Kisah mereka tak berhenti sampai di sini.

Tua adalah momok manusia sepanjang masa. Berbagai kisah dari seluruh dunia menceritakan tentang perjuangan manusia lari dari takdir tua. Usai kemudaan yang gemilang, tenaga penuh dan semangat hidup yang menyala, tua menyorongkan manusia pada jurang. Menjadi lemah tanpa kuasa menolak.

Si lelaki tua Santiago sedang melaut sendirian. Di hari ke-84, ikan marlin raksasa memakan umpannya. Perang dimulai. Ia tua, itulah sebabnya ia terus menggumam, “Andai saja aku bersama anak lelaki itu.” Ia berharap saat itu Manolin membantunya. Ia pernah, suatu ketika di masa mudanya, mengalahkan negro terkuat di Casablanca dalam adu panco. Meskipun begitu, tua membuatnya tak percaya diri lagi sampai-sampai ia menginginkan Manolin bersamanya.

Sementara hidup tenang Antonio José Bolívar terusik saat muncul teror seekor macan kumbang di desanya. Orang-orang terbunuh. Walikota memaksanya ikut dalam perburuan bersama sekawanan orang. Namun Walikota itu sepenuhnya amatir menghadapi hutan, sehingga Antonio José Bolívar memutuskan untuk menyuruh mereka semua pulang. Kini perang menghadapi macam kumbang jadi miliknya sendiri.

Pergulatan batin seseorang yang merasa ia lemah (dalam kasus ini karena tubuh menua) ketika berhadapan dengan kekuatan besar (hewan) adalah sebuah dialektika keberanian. Dalam “Caesar”, Goenawan Mohamad menuliskan keberanian sebagai kemampuan untuk melampaui rasa takut. Artinya, rasa takut adalah syarat untuk menjadi berani. Bila tidak ada rasa takut, bagaimana sesuatu bisa disebut berani? (9)

Tua hanyalah rasa takut. Santiago dan Antonio José Bolívar adalah contoh dua orang yang melampauinya. Akhirnya, Santiago berhasil menangkap ikan marlin itu, meski akhirnya hanya bersisa tulang. Antonio José Bolívar juga berhasil membunuh macam kumbang itu sendirian, meski ia merasa sedih dan menyesal. Ikan marlin Santiago adalah yang terbesar yang pernah ditangkap nelayan di kampung itu, sebagaimana Antonio José Bolívar kemudian menjadi pahlawan di El Idilio.

Friedrich Nietzsche meyakinkan kita, manusia berbeda dengan hewan karena manusia mempunyai potensi untuk mengatasi diri (atas, über, membuat diri berada di atas) dan mempunyai tujuan yang hanya dapat dicapai oleh manusia itu sendiri (10). Dalam hal ini, keduanya berhasil mengatasi rasa takut,  bahkan lebih besar lagi, mengalahkan ketuaan dengan cara mengiyakan tantangan hidup untuk mencapai tujuan yang dibayangkan. Mereka telah menjadi ja-sagender, orang yang mengiyakan hidup.

Tua itu hanyalah ilusi.[]

Catatan akhir:

1.  “Kenapa seorang lelaki tua bangun tidur pagi?”, hlm. 25.
2.  Semacam rumah minum. Tempat berkumpul para nelayan.
3. “Sebelumnya pernah ada foto berwarna istrinya di dinding itu, tapi dia telah menurunkannya karena foto itu membuatnya merasa sangat kesepian,” hlm. 15.
4. “Sekarang, setelah sekian lama, makan telah menjadi kegiatan yang membuatnya bosan,” hlm. 29.
5. Nama arak.
6. Hlm. 41.
7. Hlm. 20.
8. Hlm. 21.
9. “Caesar”, Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad, Tempo, 12 Maret 2012.
10. Nietzsche, St. Sunardi, 1996, Yogyakarta: LKiS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar