14 Mei 2012

Tua Sebagai Ilusi: Resensi singkat dua novel II

MESKI mengandung banyak kesamaan (keduanya sama-sama sendirian, namun punya sahabat baik: Manolin dan dr. Rubicondu Loachamín), latar peristiwa yang berbeda menghadirkan pengalaman berbeda bagi saya. Sepúlveda mendeskripsikan hutan Amazon dan perilaku suku Indian Shuar, sementara Hemingway berkutat pada kebiasaan-kebiasaan nelayan Kuba. Kita bisa mengetahui bahwa api akan menarik perhatian binatang di hutan (sehingga lebih baik tak menyalakan api)  sekaligus mengenal kebiasaan memakan ikan mentah nelayan Kuba.

Konflik keduanya juga berbeda: Santiago mencapai puncak hidupnya saat berhasil menangkap marlin raksasa itu. namun Antonio José Bolívar Proaño justru ingin menghindari konflik dengan macan itu. Santiago terus-menerus dihantui mimpi singa-singa (yang sepertinya malah membuatnya bahagia, sekaligus mengartikan ia membenci hidup yang ia jalani), sementara Antonio José Bolívar mencintai hidupnya yang sekarang: bersahabat dengan alam dan menghabiskan waktu membaca novel cinta picisan.

Hemingway jelas lebih ngetop ketimbang Sepúlveda. Sekilas tentang Luis Sepúlveda, ia adalah sastrawan cum jurnalis eksil Cile kelahiran 1949. Di usia 26, ia dipenjara oleh rezim Pinochet karena dianggap sebagai pendukung setia mantan presiden Salvador Allende. Ia pernah hidup nomaden di berbagai negara di Amerika Latin sampai kemudian “mengungsi-tetap” di Hamburg, Jerman. Novel ini dianggap menyuarakan kritik atas perusakan lingkungan, jauh hari sebelum isu lingkungan mengglobal.

Saya membaca Lelaki Tua dan Laut lebih dahulu dan sebelum menganggapnya luar biasa. Tetapi Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta lebih luar biasa. Alurnya lebih “berwarna”, lebih “ramai”. Tidak ada satu pun kalimat yang tak berguna. Sepúlveda bahkan tidak menyisakan ruang sama sekali untuk bosan. Mungkin ini juga berkat terjemahan Ronny Agustinus yang nyaman.

Dengan kualitas yang dipertegas lewat ganjaran rupa-rupa kusala atas dua karya ini, maka rekomendasi untuk kedua buku ini sangat jelas: haram untuk dilewatkan.[]

Postscriptum:

1. Rozi Kembara, mahasiswa Sastra Indonesia UNY, adalah orang yang meminjamkan Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta. Menurutnya, novel ini mirip Harimau! Harimau! nya Mochtar Loebis. Ini opini menyesatkan. Setelah saya menamatkan Pak Tua… ditambah Harimau! Harimau! pinjaman dari Dea Anugrah untuk mengecek argumennya itu, jelas bahwa kesamaannya hanya satu: ada harimau/macan dalam ceritanya.

2. Lelaki Tua dan Laut yang saya baca adalah terbitan Serambi, 2009, dan diterjemahkan oleh Yuni Kristianingsih P. dari bahasa Inggris. Sementara Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta terbitan Marjin Kiri, 2005, dan diterjemahkan dari bahasa Spanyol oleh Ronny Agustinus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar