20 Juni 2012

Ramadan yang Dirayakan dengan Tidak Sederhana

Dari mana lagi kalau bukan Google.
YANG jelas, makin tambah tahun, ramadan semakin dirayakan dengan sederhana.

Tahun 90-an, saat ramadan semua ibu pasti heboh masak yang enak-enak dan bapak-bapak jadi royal mengeluarkan uang untuk beli macam-macam penganan buka puasa. Di rumahku, karena ibu mualaf, dia seperti agak kagum dengan bulan puasa. Kagum karena bapakku harus puasa sebulan tanpa ada libur kerja. Maka ia masak semua makanan yang jarang-jarang muncul di hari biasa: sop tulang sapi, opor ayam, kolak tiap buka puasa, ayam goreng, ikan kembung, wah, pokoknya enak-enak. Apalagi ibuku ternak ayam potong. Wow, tiap beberapa hari sekali kami potong ayam. Ini istimewa, karena saat-saat aku SD, makan ayam itu masih terhitung mewah di keluargaku, hahaha.

Oya, kadang-kadang kami beli durian. Ini juga buah mewah. Buka puasa dengan es durian (durian+susu kental manis+es) adalah surga. Enak! Kalau sedang tidak ada durian, minum es sirup frambozen campur susu kental manis putih (jadinya berwarna merah muda) juga sudah luar biasa. Si Afi suka sekali es macam itu, kalau aku lebih doyan es Nutri Sari.

Tahun 1997, sebelum krisis moneter, ibuku juga jualan kue. Ketika bulan puasa, aku dan ibu keliling ke perkampungan yang banyak orang Melayunya dan menjajakan kue dalam keranjang rotan. Ada apam ubi, molen, bakwan… Kalau ini kenangan yang agak memalukan, karena aku sering terpaksa mampir ke rumah teman sebangkuku. Bisa bayangkan, jualan ke rumah teman, menyapa dia, “eh, mau beli kue tidak?” Waktu itu rasanya hina sekali, apalagi itu anak tidak naik kelas. Tapi lama-lama kalau diingat malah jadi romantis.

Dan jangan lupa. Setiap anak kecil pasti pernah curang saat bulan puasa. Dulu aku dan Afi minum air putih tapi mengaku puasa sehari penuh.

Ramadan… ramadan… dalam kepalaku ramadan identik dengan makanan saja.

Ketika aku sudah SMA, ramadan makin sepi. Sudah jarang ada pasar dadakan yang jual penganan lebaran. Lalu kebiasaan remaja yang aku tidak suka sama sekali: ngabuburit. Apa asyiknya? Mending di rumah, siap-siapkan makanan sesuai selera daripada keluyuran buang uang.

Tahun lalu, ramadan di rumahku luar biasa sederhana. Kali ini bukan karena miskin lagi. Kalau mau makan semewah apapun pasti bisa, tapi ibuku sudah jadi pemalas dan anak-anak juga pemalas. Masak buka puasa cuma dengan teh manis. Makannya juga biasa-biasa. Tidak ada kehebohan lagi. Namun yang bikin parah: tahun lalu aku cuma puasa empat hari karena sedang krisis ideologi.

Pokoknya tahun ini aku mau bikin ramadan yang ramai. Harus ikut puasa, apapun motifnya. Aku akan ngoprak-ngoprak orang rumah supaya ramai-ramai bikin makanan enak-enak. Dibayangkan saja sudah asyik, ya!

NB: Ramadan di Jogja yang paling asyik adalah ramadan tahun 2009. Kami sedang garap buletin OSPEK, jadi selalu buka puasa sama-sama. Lalu salat Tarawih beberapa kali, yang mengimami Habibie. Habis itu sahur sama-sama. Pokoknya seru!

19 Juni 2012

3 komentar: