10 Agustus 2012

Peduli untuk Tidak Peduli

Gambar enggak relevan sama konten, hehehe. Dari http://bit.ly/MYp8iO


:: Untuk kawan-kawan yang sedang menyuntuki penerbitan majalah. Dan terutama untuk Pemrednya yang sebenarnya aku benci kepribadiannya.

SIAPA sih yang enggak pernah dibenci?

Itu sama normalnya dengan membenci. Kamu enggak pernah membenci? Oke, kamu pantas jadi santo atau santa.

Untungnya, kita dikasih Tuhan kemampuan dahsyat: enggak bisa baca pikiran orang lain. Mungkin kamu lagi dibenci, ya? Katamu begitu. Tepatnya, kamu merasa begitu.

Jujur ya, aku mustahil kasih kamu nasihat ideal seperti “Coba introspeksi diri, cari tahu apa yang bikin kamu merasa begitu” atau “yang sabar ya”. Wah, kalau sabar, udah keburu mati. Haha. (Tapi sabar tetap akan dibahas belakangan).

Kupikir kita agak mirip: cenderung individualis. Udahlah, cuek aja kalau kamu merasa dibenci (sekali lagi “merasa” patut dimiringkan). Kamu kan punya ekspektasi sendiri buat pencapaian diri. Kamu punya jabatan. Mungkin di rumah itu, jabatan itu kesannya kadang agak trivial. Tapi yakinlah, ketika kamu udah keluar, jabatan itu akan jadi sebegitu bergengsinya (“Wah, dulu Pemred-nya EKSPRESI, ya?”). Dan ketika pertanyaan dari orang luar macam demikian menyambar kamu, besok saat kamu sudah selesai, kamu akan merasa menyesal sekali, malu sekali, dan sungguh tertekan bila selama kamu di EKSPRESI, kamu enggak belajar banyak cuma karena merasa dibenci. Kamu harus paham, EKSPRESI itu nama yang besaaaar. Dan pemred adalah jabatan yang besaaar juga. Besar tanggung jawabnya, yang—otomatis—juga berarti harus siap makan hati setiap saat.

Tahun lalu, kita di EKSPRESI punya ekspektasi agung bareng: bikin majalah yang bagus biar juara Gatra. Kamu pasti masih ingat betapa manisnya khayalan kita semua tahun lalu kalau dapat juara 1 dan diberi hibah uang 10 juta rupiah: ada yang ingin pasang AC di EKSPRESI, ada yang ingin punya dispenser yang ada air dinginnya, si Nisrina malah parah banget: dia pengen beli mesin cetak biar kita bisa cetak apapun sendiri. Lucu ya. Kita semua senang dengan khayalan omong kosong itu. Kita jadi kayak anak kecil yang percaya Pinokio atau Dewi Nawangwulan itu benar ada.

Ada kalanya kita butuh leitmotiv bersama. Leitmotiv yang lebih praktis ketimbang “bikin majalah yang mengguncang Indonesia”, misalnya. Ya, begitulah jadi pemimpin, harus sekalian jadi motivator. Dan pemimpin yang enggak bisa memotivasi sebenarnya agak enggak pantas jadi pemimpin. Haha (menertawakan diri sendiri).

Kalau memang akhirnya tidak tahan, kamu tahu muara-muara untuk mengadu: ada post, ada sahabat, ada Kepsek (yang mestinya selalu bijaksana, hahaha), ada gebetan, dan ada… teman-temanmu. Teman-teman yang mestinya bareng kamu buat nangis dan ketawa sama-sama.

Mungkin salat sudah dilupakan, mungkin puasa tak lagi dijalankan, tapi tak ada salahnya menimbang ini: sabar adalah setengah iman.

Kalau dipelesetkan,

Sabar adalah setengah tugas pemimpin. Pemimpin apa saja. Redaktur utama kan pemimpin juga. Redpel pemimpin juga. Bahkan reporter pun pemimpin, pemimpin untuk dirinya sendiri. Hehe. 

Akhirul kalam,
Kapan majalahnya terbit? Udah hampir enam bulan, nih.[]

Addendum:
1. Sebenarnya aku sedang di depan komputer untuk sesuatu yang lain, tapi kok malah ngetik ini ya jadinya? Mungkin benar kata temanku, berada di rumah bikin “hati adem”. Entahlah. Hahaha (tertawa sambil menghirup teh hangat di pukul 11.29).ni cerita yang diulang, tapi kamu memang harus camkan. Konflik itu tanda orang-orang bekerja dengan serius. Desta pernah diemin aku selama 6 bulan, 2 tahun yang lalu, untungnya kamu belum sampai digituin. Telo aku serapahi habis-habisan tahun lalu. Banyak orang yang berantem kok kalau lagi sibuk. Itu wajaar…

2. Yang tengah di tahun ketiga, haha, kenapa sih serius sekali. Dinikmatilah tahun terakhirnya. Sebelum kemudian kalian akan disiksa sepedih-pedihnya oleh post power syndrome… aaargghhh!

1 komentar: