04 Oktober 2012

Alit Sembodo

Evolusi (1999), Alit Sembodo
[umahseni.com]

UANG banyak, waktu terbatas, dan aku penat. Setelah menyelesaikan satu pekerjaan yang membuatku mengurung diri di sebuah ruangan selama sebulan penuh, aku memutuskan untuk mengepak dalam ransel: dua kaos, beberapa pakaian dalam, alat mandi, dan satu buku, Nusa Jawa Silang Budaya jilid 2. Aku tak akan beranjak dari Jogja, aku hanya lelah, jadi aku pergi ke rumah peristirahatan di Jalan Cik Di Tiro. Masuk, mendaftar untuk tiga hari, lalu mematikan ponsel. Tak ada sinyal apapun yang perlu Palapa hantarkan dari kamarku ke penjuru manapun. Rasanya aku merdeka sejenak, setidaknya dari radiasi gelombang elektromagnetik.

Kau harus memahami mengapa orang yang menyabung hidup di kota kerap bertindak aneh. Sebab ia hanya dihinggapi rutinitas menjemukan tiap hari. Seringkali juga ia dilanda sepi. Ia tidak punya tempat dan waktu untuk duduk-duduk menikmati desir angin di antara rimbun pepohonan, sebab bising kendaraan masih saja menyergap bahkan ketika itu sudah pukul 10 malam—waktu di mana pohon dan semilirnya tak mungkin lagi dinikmati. Kadang ia kelewat pusing sehingga tak mampu bicara bebas tertawa-tawa dengan temannya seperti dulu. Ia diliputi curiga berlebihan ketika berhadapan dengan siapapun, termasuk dengan kau.

Ketika bekerja, kadang aku berpikiran aneh dan liar sekadar untuk membebaskan pikiranku dari jebakan kegilaan. Kadang aku mengkhayal, usai rampung kerjaan ini aku akan menato tubuh di Malioboro. Temporer saja. Atau mengecat rambu dengan warna-warna menyala seperti gaya Kate Winslet dalam Eternal Sunshine on The Spotless Mind. Atau memasang tindik di lekukan bibir bawah. Lebih gila lagi, kadang aku ingin mengumpulkan beberapa teman terbaikku yang biasa mabuk lalu minum minuman keras sampai berdiri pun tak mampu. Berkhayal begitu saja sudah melegakan sejenak. Menjadi nakal identik dengan freeman, pembebasan. Habis itu aku akan tenggelam lagi dalam baris-baris matriks di dunia komputerku.

Matriks. Apakah aku dikurung oleh matriks? Oleh sistem yang sampai aku dibebaskan, aku akan terus melawan agar sistem itu tetap bertahan seperti sediakala. Sebab aku tak punya bayangan bagaimana hidup tanpa sistem, tanpa matriks. Ah, matriks. Waktu SMA, itu cuma cuplikan pelajaran Matematika di kelas XII yang mudah sekali. Bab Matriks aku dapat 100.

Aku kesepian. Kesepian yang didamba. Kesepian ala Iqbal. Kesepian yang membuatku jengah, namun ketika aku keluar dan menemui semua keriuhan dekaden, aku ingin kembali pada kesepian itu. Kesepian yang jangan kau kasihani. Kesepian yang kubuat sendiri.

Diantarkan petugas resepsionis ke lantai dua, kamarku adalah yang berbalkon. Tepat di muka balkon, ada sepokok akasia yang seperti berkacak pinggang. Inilah duniaku selama tiga hari ke depan.

Di kota, uang adalah harga mati. Kau tak akan bahagia tanpa uang. Jangan hina aku karena aku berkata begitu, kalau saja kau pernah merasakan lapar dan orang-orang di sekitarmu hanya bisa mengedikkan bahu tanda tak punya uang untuk dipinjamkan.

Aku tidak tahu apa tujuan hidupku di kota ini. Kawin, beranak, lalu mati mungkin indah, tapi sia-sia. Harusnya aku bertualang, tapi entah ke mana. Dan bila aku hendak bertualang, aku harus selesai dulu dengan perasaan; dengan probabilitas jatuh cinta. Cukup aku dikekang oleh cinta keluarga, tak perlu lain! Ke mana aku mampu beranjak jika tambatku di satu kota terus menarik-narik.

Aku rebah di kasur besar yang spreinya wangi. Aku teringat wangi lemari pakaian di rumah nenekku. Satu juta untuk tiga hari surga. Padahal, butuh dua minggu untuk mendapatkan uang segitu. Kejam nian kota ini. Desa pun sama saja, cuma dalam versi lain. Aku lelah, tapi tak takut untuk terus menantang hidup. Hidup kadangkala memang harus diisi kekosongan untuk waktu yang lama, diisi dengan kesepian yang mencerahkan… Bahkan bila pada akhirnya aku pun jadi bagian dari kaum “kawin, beranak, mati”, aku tak akan menyesal. Aku sepakat dengan Pram, yang penting mencoba sekuat-kuatnya, kalaupun kalah, tak jadi masalah.

Dari posisi rebah begini aku bisa merasakan angin yang dihantarkan si akasia. Aku sendiri. Mungkin setelah keluar dari persembunyian ini, aku akan membuat kaos bertuliskan kata pamungkas itu, apatisme getir, afirmasi atas homo homini lupus: Don't depend too much on anyone in this world. Even your shadow leaves you when you're in darkness.

Homo homini lupus… Aku teringat dia. Alit Sembodo. Mengapa kau bunuh diri?[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar