09 Desember 2012

Nonton Konser itu Ibadah

David akhirnya buka baju dan kami semua berteriak, "Aaaaaaa!"
(sayang, saya lupa ini foto diambil dari URL yang mana). 

MENONTON konser secara live adalah candu. Dan candu itu makin menggila sejak pertengahan Oktober tahun ini. Setelah terpesona karena menonton Payung Teduh secara live, gratis, dan tak harus jauh-jauh ke Jakarta, Dian membawa kabar: Naif gelar konser ulang tahun pada 22 Oktober.

Ini kabar baik, namun jadi tak baik kalau memperhatikan faktor-faktor berikut: pertama, tiketnya seharga 150 ribu—saya belum pernah habiskan uang sebanyak itu untuk nonton konser; kedua, konser itu diselenggarakan di Hard Rock Café; ketiga, Hard Rock Café yang dirujuk berada di Jakarta; keempat, seberapa penting kami mendedikasikan tenaga dan uang untuk band yang hanya sekelas Naif—bukan The Police atau GnR?

Mengoleksi semua album Naif—bahkan album live mereka yang hanya ada versi premium di internet sekalipun, A Night at Schouwburg (tapi kami mendapatkannya gratis dari Desta!)—bukan alasan untuk harus datang ke konser bertajuk AnNAIFersary ke-17 itu. Memang ada iming-iming kaos gratis untuk 200 penonton pertama. Tapi ke Jakarta hanya untuk nonton Naif? Benar-benar harus dipikirkan matang.


Pada akhirnya kami memutuskan untuk nonton. Alasannya? “Kami orang kaya,” jawab kami (saya dan Dian) kalau ditanya orang. Setelah kehabisan tiket kereta api murah dan terpaksa membuang uang ratusan ribu untuk KA ekonomi AC, Minggu, 21 Oktober, kami berangkat menuju stasiun Jakarta Kota. Tanggal 22 pagi kami sampai. Singgah di Kota Tua, Istiqlal, makan di stasiun Juanda, lalu menyeret langkah ke Kebayoran—ke kantor Tempo Institute, sorenya kami naik taksi ke Grand Indonesia Shopping Town. Plaza EX di mana Hard Rock tersua ada di seberangnya.

***

Kami termasuk yang dapat kaos gratis itu. Jadwalnya, pukul 9 Naif akan mulai main. Karena tak mampu reservasi kursi yang per buahnya seharga 150.000 (di lantai 1) dan 200.000 (di lantai 2), saya dan Dian berdiri. Saya rasanya sudah ingin ambruk saja. Belasan jam menekuk kaki di kereta, disambung jalan kaki sambil menggendong tas berat, sampai di Hard Rock pun masih harus berdiri. Lebih-lebih, hingga lewat dari pukul 10, Naif tak kunjung muncul. Layar besar di tengah café justru menayangkan video klip yang saya sendiri bisa setel di mana saja via Youtube.

Lalu mereka naik. David, Emil, Pepeng, dan Jarwo. Berbeda dengan pertunjukan Payung Teduh yang mana mata dan telinga menikmati musik, sementara tangan sibuk mengetik catatan untuk bahan tulisan, kali ini saya tak mau catat apapun. Lebih dari 1000 km saya tempuh untuk konser ini, jadi harus benar-benar dinikmati.


Konser malam itu memang dahsyat. Tak salah kalau Soleh Solihun menyebut David sebagai vokalis dengan aksi panggung terbaik—termasuk interaksinya dengan penonton. Dia membanyol, melakukan improvisasi, berlarian menghampiri satu per satu pemegang instrumen, lalu membanyol lagi. Ada lebih dari 40 lagu Naif yang dibawakan malam itu. Saya mulanya hanya berdiri dengan tangan silang di dada sambil sedikit goyang-goyang kaki. Ketika konser separuh jalan, saya dan Dian sudah duduk di meja bar—ya, harafiah, duduk di meja bar!—sembari berteriak kuat-kuat dengan tangan mengepal ke atas, sebab semua orang juga melakukan hal yang sama. Terutama di track yang riuh seperti “Dia adalah Pusaka Sejuta Umat Manusia yang ada di Seluruh Dunia”, “Uang”, dan “Televisi”. Naif memang tak pantas cuma didengarkan via Winamp: mereka harus ditonton langsung!

Yang saya ingat, lagu terakhir adalah “Mobil Balap”. Akhir yang memang paling pas. Tidak ada yang tidak menyanyi, bahkan mbak Nufus yang nimbrung malam itu juga menyanyi dan joget. Konser benar-benar ditutup setelah, kalau tak salah, tiga kali David, Emil, Pepeng, dan Jarwo berhenti dan mengumumkan selesai. Pepeng bahkan sampai empat kali melempat stik drum, namun karena penonton berteriak minta tambah, mereka kembali. Pukul 1 dini hari konser baru benar-benar tamat, itu pun karena penyanyi dan penontonnya memang sudah sama-sama lelah.

***


Dua hari sebelum berangkat ke Jakarta, saya menonton Float di Jogja. Tepatnya di Rock Opera Resto. Meski tak fanatik Float, tapi saya fanatik dengan salah satu lagunya, “Pulang”. Kadang, jika suasana cerah, “3 Hari untuk Selamanya” juga disetel. Namun hanya dua lagu itu yang saya kenal dari Float. Jadi menonton Float kali ini memang hanya untuk mengejar dua lagu itu.

19 Oktober malam, saya, Telo, Mbak Zilah, Dedel, Mbak Tutik, dan Mbak Rhea sedia di café itu. Ramai sekali. Kami duduk di belakang, sampai-sampai wajah Meng saja tak terlihat. Setelah menunggu beberapa saat, melewati track Float yang kami tak kenal, akhirnya dinyanyikan juga “Pulang” dan “Tiga Hari untuk Selamanya”. Setelah lagu itu, kami memutuskan pulang.


***


Tak sampai sebulan setelah menonton konser yang terakhir, saya sudah siap untuk pentas musik berjamaah paling besar di Jogja: Ngayogjazz 2012. Dalam tiap gelaran Ngayogjazz selalu ada banyak panggung yang mementaskan artisnya secara bersamaan. Saya mengejar untuk nonton Barry Likumahuwa dan Syaharani and Queenfireworks (ESQI:EF). Bersama Jihan saya ke sana. Di saat yang sama hujan tengah deras-derasnya, yang mungkin membuat banyak orang urung datang. Lokasinya juga terpencil (di Desa Brayut, nama yang baru sekali ini saya dengar setelah empat tahun tinggal di Jogja). Sekitar pukul 7 malam, kami sampai di sana.

Panitia Ngayogjazz memang luar biasa. Setelah tahun lalu membuat anomali dengan menggelar panggung-panggung di Pasar Kotagede (seberapa sering kamu menonton perhelatan jazz—yang katanya elitis—di pasar tradisional?), sekarang keriuhan itu ada di tengah-tengah kampung! Saya menemukan panggung tempat Barry seharusnya tampil di antara rumah dan pohon-pohon pisang. Ditunggu-tunggu, Barry tak tampil juga. Sepertinya karena atap panggung bocor. Maka kami pindah, ke arah panggung tempat ESQI:EF dijadwalkan muncul.

Sepertinya waktu itu pukul 8, ketika Syaharani tiba. Sebelumnya, saya dan Jihan ngakak habis-habisan karena kelakuan empat MC yang luar biasa kocak. Dua di antaranya adalah Gepeng Kesana Kesini, vokalis The Produk Gagal, dan Alit Jevi Praba (@alitalit_, kata teman saya dia adalah anak pelawak Marwoto).

Meski tak hapal lagu-lagu ESQI:EF, band ini tetap menarik. Gitarisnya, Donny Suhendra, sudah berumur dan keren sekali. Ternyata dia merupakan salah satu pendiri Krakatau dan pernah bikin rekaman bersama penyanyi bossanova Rien Djamain. Saya lupa berapa lama ESQI:EF bermain dan lagu apa saja, namun saya tak merasa rugi menonton mereka sambil hujan-hujanan (sebagian besar yang datang menonton dengan memakai ponco maupun jas hujan).

***


Dan memang, menonton konser live adalah candu. Ketika tahu Sheila on 7 dan Efek Rumah Kaca akan main di Konser Antikorupsi gawenya BEM Fakultas Hukum UGM, saya bersorak. Tiketnya hanya Rp15 ribu! Rugi sekali kalau tidak datang. Jadi di sanalah saya, 1 Desember kemarin: di lapangan stadion Kridosono, berdiri 10 meter dari panggung. MC-nya yang mulutnya liar sekali itu ternyata dia lagi, si Alit-alit jabang bayi. Haha.

ERK muncul duluan. Ini keempat kalinya saya nonton mereka: pertama di Kridosono juga, saat pensi Padmanaba, lalu dua kali di acara Tempo Institute. Cholil masih sama, tampan dan tak banyak omong, sementara Adrian tak tampil—mungkin masih sakit. Bassis penggantinya adalah seorang pemuda dengan rambut potongan “mangkok” yang diteriaki beberapa penonton sebagai personel The Changcuters.

Ada 13 lagu yang dibawakan ERK, ini urutannya: Debu-debu Berterbangan | Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa | Hujan Jangan Marah | Mosi Tidak Percaya | Sebelah Mata | Cinta Melulu | Hilang | Balerina | Kamar Gelap | Di Udara | Kenakalan Remaja di Era Informatika | Lagu Kesepian | Desember.

Lagu-lagu ERK adalah lagu yang punya klimaks. Lagu berjalan dan kita didorong untuk terus menaikkan nada. Reffrain pertama akan dinyanyikan dengan nada lebih rendah daripada reffrain kedua. Dan melihat Cholil menyanyi dengan cara begitu, saya selalu mengira dia sedang trance; kesurupan. Kontras sekali dengan gayanya yang kalem. Ketika tiba di lagu “Sebelah Mata”, suasana menjadi sedih. Saya ingat Adrian. Cholil juga, sepertinya. Selain itu, “Di Udara” dibawakan dalam aransemen baru.

Penutupnya, seperti yang terus diminta penonton sejak awal, tentu saja adalah “Desember”. Untung hari tak hujan.

Sama macam band-band sebelumnya, Cholil juga menanyakan apakah kami tak sabar untuk Sheila on 7—yang diletakkan sebagai penampil terakhir. Mereka seperti didera ketidakpercayaan diri untuk menjadi pendahulu sebelum SO7. Mungkin Sheila Gank yang datang dengan segala atribut seperti bendera dll. membuat mereka terintimidasi. Padahal harusnya Cholil lebih percaya diri, sebab di belakang saya ada penonton yang memakai kaus ERK. Oh ya, saya juga punya kausnya, yang edisi “Desember”. Wah, malah pamer :p

Oke, jadi begitulah. ERK memang dahsyat, tapi sudah pernah lihat sebelumnya. Sementara SO7, ini pertama kalinya saya nonton langsung. Akan macam apa?

Akan macam ini: pertama, beda dia dengan ERK adalah fanatisme penggemarnya. Saat ERK main, kami berjoget, memang. Teriak juga. Tapi, ketika SO7 naik dan Duta mulai bersuara dengan mic-nya, semua orang menyanyi, berjoged, dan melompat! Beberapa gadis yang saya yakin masih TK ketika Duta pertama kali menyanyikan “Sephia”  mendadak jadi anarkis, mereka merangsek maju dan melompat tanpa peduli yang di sampingnya terinjak kaki. Tapi siapa peduli? Toh semua orang berbuat sama.

Minus Eross, yang kata Duta sedang ke sebuah pabrik gitar di Amerika Serikat, Duta dkk. membawakan 15 lagu. Pengganti Eross adalah pemuda yang saya lupa namanya siapa dan masih SMA. Permainannya bagus, cuma saya agak kesal melihat dia suka bergitar solo sambil maju ke tengah panggung. Anak kecil ini cari perhatian betul…. Sementara Adam justru menarik perhatian karena gondrong, brewok, dan gemuk. Sumpah, rupanya malam itu mirip Ridho Rhoma.

Ini urutan 15 lagu Sheila malam itu: Pria Kesepian | Have Fun | Sahabat Sejati | Berlayar | Kita | Jadikan Aku Pacarmu, segera disambung dengan “Bila Kau Tak di Sampingku” | Anugerah Terindah, yang medley dengan “Itu Aku” | Hari Bersamanya | Seberapa Pantas | Hujan Turun | Melompat Lebih Tinggi | Bait Pertama | Dan | Kisah Klasik untuk Masa Depan.

Lagu favorit saya adalah “Seberapa Pantas”, dan menyenangkan bisa dengar itu langsung dari mulut Duta. Aksi panggung Duta lumayan. Dia atraktif dan tidak mendominasi. Di bagian “Melompat Lebih Tinggi”, mungkin karena melihat penonton yang makin gila, Duta mencoba terjun ber-stage diving. Tapi belum lagi jauh dibawa tangan-tangan yang mirip zombie itu, dia buru-buru ditarik oleh panitia kembali ke panggung.

***

Menonton konser live adalah candu. Dan Jogja adalah surga untuk itu—setelah Jakarta. Di sini saya menonton Ten2Five hanya dengan Rp30.000 Maret tahun ini; The Trees and The Wild dan Mel B gratis karena dibayari Mas Nuran; Rieka Roeslan di Ngayogjazz tahun lalu; Trie Utami dan Iga Mawarni di Jazz Mben Senen perdana; dan lain-lain yang saya enggak ingat. Kalau membaca dianggap hobi yang snob atau nerd¸ hobi yang satu ini bolehlah jadi pengimbang yang keren. Kalau boleh mimpi, saya ingin lihat konser Dewa 19 dengan Ari Lasso dan Once sekaligus, atau Deep Purple (aduh, membayangkan saja tidak mampu, “Smoke on the Water” secara live!).[]


Ditulis bersama “Sheep go To Heaven” dan “The Distance”,
9 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar