28 Desember 2012

Di Bawah Pohon Kapas, di Hati dan Kenangan




RUMAHMU di bawah pohon kapas.

Sementara aku bernapas, hidup, dan merasa trenyuh, kau di sana: terlindung pualam berpahat nama, di bawah pohon kapas. Tahun ini aku berlebaran dengan baju baru, kau dengan nisan baru.

Tahun lalu, penandamu hanya tonggak kayu kecil. Doyong pula. Ibu marah kepada bapak, jejak terakhirmu di dunia terancam sirna. Maka dipesanlah kijing pualam itu. Abu-abu, dengan nama lengkapmu. Juga tanggal matimu.

Lebaran sudah empat kali lewat. Kau masih jadi bayang-bayang. Apa karena kita tak pernah ucapkan salam berpisah? Barangkali. Kau tahu-tahu saja pergi. Aku terlambat pulang. Bahkan untuk menjenguk sejenak wajah kecil yang mungkin pucat; yang tengah senyum atau datar-kaku, aku tak tahu. Bahkan untuk lihat gunduk terakhir yang ditimbunkan di bawah pohon kapas itu. Mau salahkan siapa?

Sejak itu perpisahan dengan orang-orang tercinta tak pernah mudah. Aku tak pernah akan siap. Padahal dulu, mati adalah kata yang begitu jauh, yang gemanya bahkan tak pernah sampai di rumah kita. Tak pernah.

Aku benci kematian. Aku benci perpisahan.
***

Pagi lebaran. Kalau tak ada bapak, Devi, Vano, dan orang-orang yang tengah ziarah, sesungguhnya aku ingin meraung-raung di depanmu. Meraung untukmu dan untuk ketakutan akan kehilangan-kehilangan yang akan datang.

Pagi ini pekuburan ramai. Anehnya, ada nuansa menggigil yang menyergapku di bawah pohon kapas. Aku tak bawa buku Yasin, tak bisa bacakan apa-apa untukmu. Aku memutar pandang, berharap melihatmu sekilas berlari di antara pohon atau nisan. Aku tak akan takut. Macam apakah dunia di sana? Atau sesungguhnya aku sedang tak bicara dengan sesiapa? Jangan-jangan tak ada dunia lain setelah mati.

Jika tak ada, aku justru semakin sedih. Kau betul-betul lenyap. Tanpa kita saling ucap selamat tinggal.
***

Aku benci kematian. Benci sekali. Seperti aku benci perpisahan.

Mungkin, tahun depan, usai semua selesai di kota ini, aku akan pulang. Berkenalan ulang dengan kedua orang tua. Sebab, ternyata, 17 tahun hidup bersama mereka tak membuatku tahu: ibuku paling gemar makan apa, warna favoritku bapakku apa… tentang hal-hal yang pernah membuat mereka sedih; sangat gembira; dan apapun.

Sewaktu kecil bapakku pernah belajar membuat wayang kulit pada pamannya. Mungkin itu juga satu hal yang bisa kupelajari padanya. Atau belajar menanam sawi pada ibu yang anak petani. Lalu malam-malam duduk di depan TV, menonton acara ringan sambil minum teh dan ngemil singkong, bertengkar tentang saluran mana yang harusnya ditonton, atau bergosip soal ini-itu.
***

Beberapa malam yang lalu aku mimpi, bapakku duduk di depanku, menasehati: cepat lulus. Aku ketawa. Mungkin foto wisudaku besok akan jadi foto keluarga paling bagus yang pernah keluarga kita punya, juga paling bahagia. Sekaligus paling sedih. Ada satu anak yang sudah pergi.

Ah, bodoh! Kau kan masih di sini! Di hati dan kenangan kami![]

3 September 2012-28 Desember 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar