RUMAHMU
di bawah pohon kapas.
Sementara
aku bernapas, hidup, dan merasa trenyuh, kau di sana: terlindung pualam
berpahat nama, di bawah pohon kapas. Tahun ini aku berlebaran dengan baju baru,
kau dengan nisan baru.
Tahun lalu, penandamu hanya tonggak kayu kecil. Doyong pula. Ibu marah kepada bapak, jejak terakhirmu di dunia terancam sirna. Maka dipesanlah kijing pualam itu. Abu-abu, dengan nama lengkapmu. Juga tanggal matimu.
Lebaran
sudah empat kali lewat. Kau masih jadi bayang-bayang. Apa karena kita tak
pernah ucapkan salam berpisah? Barangkali. Kau tahu-tahu saja pergi. Aku
terlambat pulang. Bahkan untuk menjenguk sejenak wajah kecil yang mungkin
pucat; yang tengah senyum atau datar-kaku, aku tak tahu. Bahkan untuk lihat gunduk
terakhir yang ditimbunkan di bawah pohon kapas itu. Mau salahkan siapa?
Sejak
itu perpisahan dengan orang-orang tercinta tak pernah mudah. Aku tak pernah
akan siap. Padahal dulu, mati adalah
kata yang begitu jauh, yang gemanya bahkan tak pernah sampai di rumah kita. Tak
pernah.
Aku
benci kematian. Aku benci perpisahan.
***
Pagi
lebaran. Kalau tak ada bapak, Devi, Vano, dan orang-orang yang tengah ziarah,
sesungguhnya aku ingin meraung-raung di depanmu. Meraung untukmu dan untuk
ketakutan akan kehilangan-kehilangan yang akan datang.
Pagi
ini pekuburan ramai. Anehnya, ada nuansa menggigil yang menyergapku di bawah
pohon kapas. Aku tak bawa buku Yasin, tak bisa bacakan apa-apa untukmu. Aku
memutar pandang, berharap melihatmu sekilas berlari di antara pohon atau nisan.
Aku tak akan takut. Macam apakah dunia di sana? Atau sesungguhnya aku sedang
tak bicara dengan sesiapa? Jangan-jangan tak ada dunia lain setelah mati.
Jika
tak ada, aku justru
semakin sedih.
Kau betul-betul lenyap. Tanpa kita saling ucap selamat tinggal.
***
Aku
benci kematian. Benci sekali. Seperti aku benci perpisahan.
Mungkin,
tahun depan, usai semua selesai di kota ini, aku akan pulang. Berkenalan ulang
dengan kedua orang tua. Sebab, ternyata, 17 tahun hidup bersama mereka tak
membuatku tahu:
ibuku paling gemar makan apa,
warna favoritku bapakku apa… tentang hal-hal yang pernah membuat mereka sedih;
sangat gembira; dan apapun.
Sewaktu
kecil bapakku pernah belajar membuat wayang kulit pada pamannya. Mungkin itu
juga satu hal yang bisa kupelajari padanya. Atau belajar menanam
sawi pada ibu yang anak petani. Lalu malam-malam duduk di depan TV, menonton
acara ringan sambil minum teh dan ngemil singkong,
bertengkar tentang saluran mana yang harusnya ditonton, atau bergosip
soal ini-itu.
***
Beberapa
malam yang lalu aku mimpi, bapakku duduk di depanku, menasehati: cepat lulus.
Aku ketawa. Mungkin foto wisudaku besok akan jadi foto keluarga paling bagus
yang pernah keluarga kita punya, juga paling bahagia. Sekaligus paling sedih. Ada satu
anak yang sudah pergi.
Ah,
bodoh! Kau kan masih di
sini! Di hati dan kenangan kami![]
3 September 2012-28 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar