08 Maret 2013

Kejatuhan


--ini kisah nyata. Kutulis khusus untuk M.

KETIKA ia jatuh dari langit dan terduduk tepat di sampingku, aku sedang selonjor di atas batu kapur yang datar, di tebing yang tak jauh dari sebuah pantai. Untunglah, meski batunya keras, setidaknya ia jatuh di permukaan rata. Walau tubuhnya tak terluka, tapi kepalanya mungkin menyerempet burung waktu melintas di langit tadi sehingga agak pusing, sebab ketika kutanya jawabnya melantur, menurutku.

“Apakah kau Clark Kent?”

“Bukan”

“Tapi setahuku, laki-laki yang datang dengan cara jatuh dari langit hanya Superman. Pangeran Kecil juga sebenarnya, tapi, ya, dia masih kanak-kanak.”

Hening.

“Kamu datang dari mana?”

“Saturnus.”

“Siapa namamu?”

Alih-alih menjawab, ia justru menciumku. Di bibir. Ya, di bibir. Ciuman jelas jawaban yang melantur jauh dari pertanyaanku soal nama. Tapi entah mengapa, aku menyukai ciumannya.

Ia semakin melantur. Bukannya mengajakku mengobrol layaknya orang baru kenal, ia justru menyisir rambutku dengan jari-jarinya.

“Rambutmu bagus,” katanya.

Seharusnya aku marah dan menepis tangannya, mengomelinya soal ciuman yang tak patut, atau kalau perlu memukulinya dengan batu yang banyak bertebaran di sekitar kami. Tapi ketika melihat matanya, aku disergap keinginan untuk menyandarkan kepala pada bahunya. Maka itulah yang kulakukan. Ia menyambutku, memelukku di pinggang.

Senja hari itu adalah senja teraneh yang pernah kualami. Sebab aku menyaksikannya sambil duduk bersebelahan dengan lelaki baru kukenal yang beberapa menit lalu terlempar dari Saturnus dan sampai di Bumi. Tepat di sebelahku.

Jikalau ia Superman, semua akan lebih masuk akal.
 ***

Untunglah ia bukan Terminator yang mendadak datang dari masa depan tanpa pakaian. Ia bahkan punya nama, namun terlalu susah untuk kulafalkan. Bahkan usahaku untuk menuliskannya dalam huruf Latin, Rusia, China, Arab, Sanskrit, Jawa, bahkan Paku gagal semua. Sebelum berepot-repot menuliskannya dalam transkripsi fonetik, aku memutuskan memberinya nama baru saja: M.

Aku mulai hidup dengannya. Ia kuamat-amati. Sebagai makhluk antah berantah, ia sungguh tak mirip dengan gambaran film fiksi-sains manapun. Aku bahkan ragu sama sekali untuk menyebutnya alien. Dia normal senormal manusia biasa. Tahu-tahu saja ia membaca koran dan mengomentari berita politik hari ini sambil menyesap kopi. Ia juga tak bertanya bagaimana cara memakai pancuran mandi. Kapan hari ia malah memasangkan tabung LPG ke kompor gas. Tapi bagian dirinya yang paling irasional adalah ia hapal semua lagu milik Oasis. Katanya ia juga suka Coldplay. “Alien hipster,” batinku.

Kadang aku memang agak terganggu dengan sifat M yang pendiam, namun—entah ia sadari atau tidak, aku menemukan hal-hal yang membuatku mengaguminya diam-diam.

Ini contohnya. Suatu kali kami sedang di perjalanan ketika ban mobil bus yang kami tumpangi meletus. Semua orang panik. Supirnya juga. Ia supir baru. Sialnya, hari ini kondektur yang biasanya menangani masalah-masalah begini tengah libur. Supir itu mulai membongkar-bongkar peralatan dengan muka dungunya. Di saat seperti itu, semua orang menampakkan wajah dungu. M diam saja dan aku pun mulai muak karena merasa ia juga ikut-ikutan dungu. Padahal mukaku, jika aku mengaca, tampak sama dungunya.

"Being silent is not being dumb," kata Sartre. Ia benar juga.

M memandangi supir yang canggung itu sejenak, lalu memutuskan untuk lifting, nyetop kendaraan yang lewat untuk menumpang. Aku semakin muak, kenapa di saat genting begini ia justru mau kabur. Ia semakin tidak tampak jantan. Ia bahkan tak menawariku untuk ikut, juga membiarkan tasnya tetap di bagasi bus. Aku yang harus bawa, begitukah maksudnya? Sialan!

Pada akhirnya kami semua tahu jika M hanya pergi mencari montir dengan tumpangan itu. Ketika ia kembali dengan seseorang yang menenteng tas peralatan, aku merasa bangga sekali padanya.

Begitulah M, ia sering melakukan hal-hal mengejutkan. Dan entah ia tahu atau tidak, tiba-tiba saja aku mulai takut kehilangannya. Siapa tahu suatu hari mendadak sebuah piring terbang atau elang datang menjemputnya. Aku tak akan siap.

Barangkali M tahu apa yang aku pikirkan. Setelah kejadian dengan bus itu, malamnya kami di sofa, nonton film bodoh Cromartie Highschool. Sementara aku ketawa-ketawa, ternyata ia malah memandangiku lama sekali.

Sejurus kemudian semua menjadi hangat. Aku balas memandangnya. Aih, ia tersenyum. Tahu tidak, itulah posenya yang paling tampan. Dari matanya aku tahu, ia tahu apa yang aku pikirkan tentang dia.
***

Besok aku akan mengirim petisi ke studio-studio film di Hollywood dan Lembaga Ilmu Pengetahuan supaya ada pengkajian ulang soal citraan alien, UFO, dan makhluk-makhluk luar angkasa lainnya dalam tayangan berita maupun sinema fiksi-sains. Kuharap, akan ada sedikit variasi dari alien yang melulu bermata besar, berkepala abnormal, dan bertubuh biru, sebab di sini, di pangkuanku, tengah tidur alien tampan yang 100% normal.

Dan aku jatuh cinta padanya.[]

NB.
Aku pernah membuat catatan tentang M ketika kami belum lama hidup bersama. Tapi butuh waktu lama untuk meredam malu sebelum berani mengunggah ini ke blog. Kau jangan senyum-senyum saat membacanya, ya :-P

Alisnya tebal. Tahi lalatnya sama dengan kepunyaan saya, cuma letaknya agak berbeda. Tatanan rambutnya seperti bapak saya punya. Hidungnya tidak mancung, tapi juga tidak melesak ke belakang. Lalu tingginya. Lebih tinggi daripada saya. Saya memang tak pernah suka pasangan pendek. Tidak maskulin. Sayangnya, ia tidak suka umbar senyum, padahal kalau tersenyum manis sekali. 

Saya ketemu dia beberapa tahun lalu, tapi tak pernah menganggap dia mengesankan. Lalu saya tahu: dia lelaki yang kalau bicara bisa bikin kita tertawa, tidak tergelak, tapi cukup bahagia; dia juga tidak membuat kita menangis tersedu-sedu. Dia manusia tengah-tengah. Tidak lucu, tapi tidak garing. Tidak romantis, tapi sekali romantis berkesan sekali. Jangan lupa, dia berkulit terang, ya, saya suka lelaki berkulit terang. Dan tentu saja: tidak boleh berhidung melesak ke dalam.

Ia lelaki cerdas. Kalau belajar sedikit lagi, punya fokus, dia pasti genial. Selera kami sama. Ah, tidak, saya agak melankolis, dia cenderung koleris. Cuma bacaannya agak menjauhi sastra, sayang sekali.

 “Menemukan” dia adalah akhir penantian panjang. Sudah begitu lama saya tak bertemu lelaki tenang... Lelaki yang tidak membuat kekasihnya khawatir bahwa ia akan main belakang; lelaki yang tanpa perlu jual kata pun akan dipercaya setia. Pendeknya, bersama dia kita akan merasa "mapan". Lelaki yang para perempuan akan bilang, "saya mencintainya karena ia menciptakan kedamaian." Rasa aman. Sesuatu yang paling sensitif buat manusia. Esensial, dicari-cari. (Desember 2012)

6 Maret 2013

4 komentar: