07 Februari 2013

Awan yang Rajin dan Berbakti


Masa kecil saya bahagia :)
DULU di rumah ada sebuah tape merek Sony. Bapak saya tipikal yang suka membeli rekaman lagu anak-anak, dari yang kaset tape hingga CD. Satu kaset selalu diputar waktu saya kecil. Warnanya hitam, ada label berwarna oranye dengan motif batik. Tak ada judul, tak ada keterangan penyanyi. Dari umur tiga tahun, saya sebut itu kaset—meniru cara Ibu menyebutnya—kaset Chicha. Setelah saya besar, saya baru tahu itu lagu-lagu Chicha Koeswoyo.
***

Ibu saya tipikal orang zaman dulu yang mendidik anak dengan hukuman fisik. Saya merasa karena sikapnya itu, saya jadi orang yang penakut. Takut bicara di depan kerumunan orang asing, takut menonjolkan diri di lingkungan baru, takut bertanya, dan—yang paling parah—takut berbuat salah.

Makanya, kalau ada hal-hal yang saya enggak mengerti, saya hanya akan membayangkan sendiri penjelasan-penjelasannya. Itu karena takut bertanya. Dan sebagai anak kecil, saya ingat, ada hal-hal yang saya enggak mengerti lalu saya berusaha jelaskan sendiri, dan ketika besar, saya merasa penjelasan itu bodoh sekali, haha.
***

Hingga kelas 2 SMP, saya tak kenal bahasa Jawa. Di kaset Chicha tadi, saya kenalan dengan bahasa itu untuk kali pertama. Tepatnya di salah satu lagu. Judulnya “Ojo Lali” (dan ketika SMP saya baru tahu itu artinya ‘jangan lupa’, hahaha). Lagu ini menyenangkan. Saya hapal, meski enggak tahu artinya. Tapi ada satu bagian yang janggal dalam liriknya.

Lali lali jo lali
Tak kandani jo lali
Yen wengi sinau      
Awan bantu ibu

Oke, sampai baris ketiga, saya benar-benar tidak menangkap makna apa-apa. Baru di baris keempat, tiga kata yang muncul adalah kosakata yang saya kuasai, tapi kok maknanya janggal, ya?

Kebiasaan saya yang lain: ketika mendengar atau membaca, saya suka membentuk situasi visual. Bayangkan ketika kamu sedang mendengar lagu “Strawberry Fields Forever sambil berimajinasi tentang sebuah kebun strawberi, ya semacam itulah.

Baris keempat itu bikin saya membayangkan awan-awan putih yang punya tangan dan membantu ibu mencuci piring. Sumpah, adegan itu muncul di kepala saya dan bikin saya puas (ya, pasti demikian yang dimaksudkan dalam lagu itu!). Waktu SD tentu saya belum kenal dengan surealisme, tapi situasi tentang awan tadi entah kenapa bisa diterima mentah-mentah saja. Haha.

Ada pula lagu “Kasih Ibu” yang saya salah pahami artinya sehingga jadi ambigu dan, meski bertanya-tanya mengapa bisa ambigu, tetap saja tak pernah saya tanyakan ke orang lain.

Kasih ibu
Kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi
Tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia

Di bagian tak harap kembali, tentu saja maksudnya, si ibu tak mengharapkan pamrih buat kasih sayangnya. Tapi dulu sekali saya kira yang dimaksud adalah si anak. Jadi, dalam kepala saya ada adegan seorang ibu yang kasih sayangnya hanya diwujudkan dengan memberi uang lalu tak mengharapkan si anak kembali ke rumah. Bahasa kasarnya, diusir. Haha. Entah kenapa saya bisa memisahkan sepotong lirik satu ini dari keutuhan seluruh liriknya. Yang jelas, saya merasa itu aneh dan ambigu, tapi saya terima saja sebagai penjelasan. Waktu SMP baru saya sadari itu salah pengertian yang kelewatan..
***

Sampai sekarang saya masih penakut. Mungkin kegiatan saat kuliah agak bikin itu luntur, tapi ketika menerima tugas wawancara atau mencari jalan, saya masih suka takut bertanya pada orang. Selain itu, hobi memvisualkan hal-hal literer atau audio masih berlanjut, bikin saya teringat kajiannya Tia Setiadi soal hubungan lukisan dan puisi dalam karya Afrizal Malna, hehehe.
***

Entahlah ini mau disebut catatan apa. Kapan hari, saat sedang duduk dalam perjalanan dengan mobil saya tiba-tiba saja terkilas visualisasi awan bertangan yang mencuci piring itu. Ingat masa kecil. Ternyata kalau dipikir-pikir, sampai sekarang saya masih gemar mengiyakan hal-hal yang tak logis. Jatuh cinta lagi, misalnya, hahaha.[]

NB: Aih, saya kangen ibu. Minggu depan saya akan pulang karena ia paksa. Alasannya: Pilkada! Enggak boleh golput!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar