03 April 2013

Meramal Masa Depan Penulis



BELUM ada satu dekade ketika para pekerja kreatif benci setengah mati pada musuh yang sama: pembajakan. Hak cipta jadi tameng untuk melindungi karya kreatif. Namun waktu berjalan begitu cepat, kini, pembajakan justru menjadi tindakan yang diharap-harapkan.

Mulanya adalah musik. Tahun 2000-an Radiohead, kalau tidak salah, merilis album yang bisa diunduh gratis. Menghadapi pembajakan dengan mengeluh di televisi dan memohon dengan sangat pada para penggemar untuk beli kaset asli sudah jelas tak ampuh. Menular di Indonesia jelang akhir dekade 2000-an, saat ini pemusik lebih banyak hidup dari iklan, penjualan merchandise, pembelian lagu digital secara online, dan konser.

Industri buku juga menghadapi musuh serupa. Buku bajakan luar biasa membajir pasar. Belum lagi edaran buku digital yang mudah diunduh. Lalu penulis mau hidup dari mana?

Mungkin ini kesannya seperti kabar buruk. Pembajakan seperti epidemi yang tak peduli bahwa pekerja kreatif juga minta dihargai. Memang, karya kreatif dilindungi hak cipta yang dijamin oleh undang-undang. Tapi saya kira aplikasinya nol. Toh di mana-mana kita masih melihat rental film dan lapak kaset bajakan, juga kios-kios yang jualan buku bajakan macam di Terban ayem tentrem saja.

Tapi di sisi lain, pembajakan adalah upaya membuat pengetahuan egaliter. Sebentar, jangan ringkus pengetahuan sekadar berarti buku-buku eksakta. Musik juga pengetahuan, film juga pegetahuan. Semua karya kreatif adalah pengetahuan. Mendengar dan membaca banyak meluaskan cakrawala kompetensi pembaca dan pendengar. Kata siapa orang di desa hanya dengar musim dangdut atau baca novel stensil? Surfing saja sebentar dengan ponsel pintar atau laptop, segera aja kamu bisa mengunduh karya Chopin atau What Is Literature-nya Sartre. Luar biasa.

Di sinilah masalahnya: siapapun yang bermimpi hidup dari menulis akan menjumpai dilema saat mengetahui dua wajah Janus pembajakan itu. Di satu sisi sepakat bahwa pengetahuan adalah hak semua orang, di sisi lain menyadari bahwa hidup tidak bisa hanya bermodal idealisme.

Tapi percayalah, zaman bergerak dan berdialektika. Sekarang, si musuh itu justru menjadi tema baik.
***

"Musuh para penulis bukanlah pembajakan, tapi tak dikenal" - Penerbit Tim O'Reilly

Di era atom, saat hero masih menempati posisi terhormat, hidup yang eksentrik selalu menimbulkan rasa decak. Ada yang tiba-tiba menghilangkan diri selama bertahun-tahun. Ada yang menepi di ceruk-ceruk tempat yang sepi. Sosok yang dengan sempurna dirangkai Seno Gumira Ajidarma dalam "Manusia Kamar".

Ini era bit, ketika kelimpahan dan kemudahan informasi menjadi ciri khas; ketika seseorang dinilai bukan karna eksentrikannya tapi bagaimana tampil di publik dengan diferensiasinya. Di era bit ini, hero mati. Yang dianggit adalah yang muncul terus-menerus tiada henti.

Di era ini kedangkalan adalah konsekuensi. Berjalan beriringan dengan kecepatan. Cepat dan dangkal. Dan di situasi masyarakat yang seperti ini, kehebatanmu membaca puluhan buku dalam sebulan atau kekuatanmu meriset bertahun-tahun terhadap satu topik akan dilihat sebagai anomali. Atau mendapatkan pengakuan ringkas: wowwwww! Ya begitu saja. Tak ada yang lain.

Ini era ketika kamu harus dikenal seluas-luasnya untuk mendapatkan kapital dari tulisanmu. Dan kapital itu adalah GRATIS. Gak salah tulis. Ya, gratis. Kamu dituntut untuk menggratiskan karyamu. Tak peduli kamu mengerjakannya selama bertahun-tahun.

Jangan bersedih ya. Jangan menggerutu bahwa dunia ini tak adil. Pahami karakter zaman ini dan berkaryalah dengan karakter itu. Jika tidak, terimalah nasib lahir di masa yang tak tepat.
Jadi sudah jelas, musuh besar penulis saat ini bukan lagi pembajakan, tapi tak dikenal. (MMD, “Musuh Terbaru Penulis)

Tulisan ini menyadarkan bahwa rintangan penulis hari ini adalah tetap bertahan dalam terjangan badai informasi. Digitalisasi dan koneksi global lewat internet mengubah cara hidup kita—pembaca. Apa, misalnya, yang menggerakkan pilihan kita untuk membaca ini dan tidak membaca itu? Tesis Gus Muh di atas menjawab, yakni nama penulis. Dengan begitu, penulis justru mesti berkawan dengan pembajakan untuk melawan musuh terbarunya, yakni “tidak dikenal”.

Komentar Cory Doctorow, aktivis teknologi, di majalah New Scientist bernada serupa. “Obscurity, not piracy, is the biggest problem writers face. In the 21st century, if you are not making art with the intention of it being copied, you are not making contemporary art.” 

Ini bukan cuma masalah penulis, juga penerbit. Dan dua komponen itu turut dihidupkan di EKSPRESI. Apa jalan keluarnya?

:: “We have a name for things that don’t copy themselves: dead”, Cory Doctorow.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar