21 April 2013

Bicara Lewat Suara Sendiri

Gambar oleh Nobodycorp. Internationale Unlimited
oleh Prima SW

Petani pesisir Kulonprogo membuktikan, bertani dan kemiskinan bukanlah sinonim. Ketika kemandirian mereka lewat bertani diusik tambang pasir besi yang dilegitimasi kesultanan, mereka pun bergerak. Lewat media komunitas, suara disatukan, kekuatan digalang.

Film Pasir (Saling) Berbisik dibuka dengan gambar suasana Pengadilan Negeri Wates saat vonis Tukijo dijatuhkan. Kamera menyorot wajah hakim. Kipas angin berputar. Garuda Pancasila terpasang di dinding, seakan-akan menaungi ruangan.

Barangkali gambar Garuda itu dimaksudkan sebagai ironi. Di persidangan itu, Tukijo, petani yang aktif menolak rencana penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo, divonis 3 tahun penjara. Vonis disambut dengan demonstrasi. Istri Tukijo menangis di pelukan seorang perempuan. Ada seruan seorang lelaki pada petugas pengadilan yang menggandeng Tukijo pergi, “Orang korupsi itu yang harusnya ditangkap! Orang yang tidak salah justru ditangkap.”

Latar berganti. Kali ini suasana panen buah melon di lahan yang sama. Petani mengepak melon dalam karung. Motor mereka meninggalkan jejak panjang lurus di atas pasir yang seolah-olah gersang. Apakah memang gersang? Tentu saja tidak, sebab seorang lelaki petani bertopi bicara dengan jumawa di adegan selanjutnya, “Baru pertama kali tanam melon sudah dapat 30 juta apa tidak rekor?” Ia memakai kaus bertuliskan “Bebaskan Tukijo”.

Pasir (Saling) Berbisik adalah dokumenter solidaritas sepanjang 8 menit 50 detik yang disutradarai Kurnia Yudha F. Sejak kasus Kulonprogo berlangsung, film menjadi salah satu media propaganda mendukung petani Kulonprogo.

Sidang Tukijo, panen melon, dan Garuda membentuk relasi ironis. Sila ketiga Pancasila di dada Garuda masih “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, namun ia bahkan tak bergema di pesisir Kulonpogo. Daerah yang meliputi 8 desa di Kecamatan Galur, Panjatan, dan Wates tersebut merupakan lahan pertanian, yang berkat izin dari pemerintah daerah, justru dialihfungsikan menjadi lokasi penambangan pasir besi. Di lahan seluas 2985 hektar tersebut, sebanyak 3000 jiwa terancam tergusur.

Konflik perebutan lahan antara petani pesisir dengan PT Jogja Magasa Iron (JMI), perusahaan yang mendapat kontrak karya untuk mengeksploitasi, bermula sejak November 2006. Menurut penelitian Nella Aprillia Puspitasari dalam skripsi Perilaku Berinformasi Masyarakat Konflik, Kepentingan dalam Seleksi Informasi Masyarakat Kawasan Rencana Penambangan Pasir Besi Pesisir Kulonprogo (UGM 2012), mulanya lahan tersebut adalah area pasir yang tak produktif. Penduduknya hanya bertani garam yang hasilnya tak memadai, membuat mereka hidup miskin dan tertinggal.

Tahun 80-an, seorang warga bernama Karman menemukan cabe tumbuh di pasir. Penemuan ini merupakan titik mula usaha pertanian di lahan berpasir pesisir Kulonprogo. Selama 30 tahun kemudian, lahan tak produktif itu diolah menjadi areal subur yang ditanami cabe. Kini, dalam sekali pelelangan cabe yang dilakukan seminggu sekali, jumlahnya mencapai 80 ton. Petani setempat juga menanam terong, jarak, kacang panjang, padi, jagung, semangka, dan melon. Salah satu narasumber Nella mengaku, sekali panen melon bisa bernilai sampai Rp 28 juta.

Bencana datang tahun 2005. Pesisir kulonprogo disepakati menjadi kawasan tambang pasir besi oleh Pemkab Kulonprogo, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, dan PT JMI tanpa sepengetahuan penduduk setempat. Ini disusul dengan keluarnya kontrak karya pada November 2006. Dengan keluarnya kontrak tersebut, eksploitasi tambang bisa dimulai.

Pemberian izin oleh pemerintah daerah tersebut didasarkan pada klaim bahwa area pesisir dimiliki oleh Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Dasar hukumnya adalah Rijksblaad Kasultanan No. 16 Tahun 1918 yang isinya, tanah tanpa sertifikat di wilayah Kesultanan Yogyakarta menjadi milik Sultan. Sementara, warga sendiri mengaku memegang sertifikat letter C dan D yang dijadikan dasar kepemilikan.

Ditilik dari isinya, tampak bahwa Rijksblaad Kasultanan ini merupakan turunan dari Agrarische Wet dan Agrarische Besluit tahun 1870. Padahal di Pasal 1 Agrarische Besluit dipaparkan:

“Dengan tidak mengurangi dua ketentuan dalam Agrarische Wet bahwa segala pemberian tanah tidak boleh mendesak hak rakyat atas tanah, dan pencabutan hanya diperbolehkan untuk kepentingan kultur, usaha pertanian pemerintah, dengan diberi kerugian, maka tetap merupakan satu asas bahwa semua tanah adalah domein negara…” (Simarmata, 2002, hlm. 140).

Kontra dua klaim inilah yang menjadi pusaran bencana. Namun dalam catatan Nella, tidak semua warga kontra rencana penambangan. Yang pro terutama datang dari kalangan bukan petani.

Tetap Bersatu lewat Isolasi Informasi

Untuk menyatukan suara, petani kontra penambangan membentuk Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) yang merupakan gabungan kelompok tani di 16 dusun. Lewat PPLP inilah informasi diproduksi dan disaring agar kesatuan suara menolak tambang tetap terjaga. Menurut Nella, bentuknya berupa buletin, obrolan di kebun, rapat internal PPLP, website, radio, hingga film. Paguyuban ini memasok informasi untuk kalangan internal petani maupun bagi pengamat dari luar. Pasir (Saling) Berbisik adalah salah satunya. Sayang, website yang beralamat di petanimerdeka.tk sudah kadaluarsa.

Penyebaran berita di lingkungan ini bersifat hierarkis. Informasi terbaru mengenai tambang diproses oleh petinggi PPLP baru kemudian diturunkan ke warga. Rapat PPLP diadakan tiap 35 hari sekali dan hanya melibatkan pengurus inti. Di tiap dusun, PPLP memiliki kepala unit dan koordinator lapangan (korlap). Korlap inilah yang mengumpulkan informasi serta menggerakkan warga ketika hendak aksi. PPLP juga menjalin hubungan dengan dosen, mahasiswa, dan wartawan yang simpatik.

Salah satu persebaran informasi yang efektif adalah lewat ruang publik seperti ladang dan poskamling. Warga sendiri mengaku percaya sepenuhnya pada PPLP. Uniknya, mereka menolak dicampurtangani lembaga swadaya masyarakat. Alasannya, mereka telah bulat suara menolak tambang, sementara LSM hanya akan memediasi sampai pada win-win solution.

Kontrol atas informasi tersebut merupakan resistensi warga terhadap kesimpangsiuran berita. Dalam kajian Nella, masyarakat yang tengah dirundung konflik rentan terombang-ambing dalam kelindan informasi. Nella menelaah tiga jenis pemberitaan dari media-media mainstream, yakni berpihak pada penambangan, netral, dan memihak petani.

Benteng dari PPLP membuat warga tahu informasi mana yang mereka butuhkan. Isolasi informasi terutama pada media atau pihak yang mereka rasa tak berpihak pada petani juga membentengi mereka dari pemberitaan yang melemahkan perjuangan mereka.

1 Mei 2011, Tukijo, salah satu petinggi PPLP, ditangkap atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan dan merampas kemerdekaan orang. Warga menganggap Tukijo dikriminalisasikan. Toh perjuangan terus berlanjut. Pada 31 Maret lalu, hari jadi PPLP diperingati di Karangwuni, Wates. Tahun ini usianya telah 7 tahun. Meski aktivitas tambang telah berjalan, slogan mereka masih sama, “Bertani atau mati, tolak tambang besi!”. Sebab, bila keadilan tak datang dari negara, maka mereka yang akan memperjuangkannya sendiri.[]

Addendum:
Tulisan lain yang menarik mengenai petani pesisir Kulonprogo: "Cabai Wargamu Masih Merah, Pak Tukijo...".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar