22 Oktober 2013

Yang Bersandal, Komunis

Plato dalam tunik. Pakaian pria berupa jubah dan rok digusur oleh celana di dunia modern. Di Indonesia, yang tersisa hanya sarung. (Dok. http://www.sacred-texts.com/cla/plato/)

oleh Prima S. W.

 But fashion was perhaps always related to power in some way or other.—James Siegel

FASHION mencakup busana dan pelengkapnya tak hanya sebagai penutup tubuh. Menurut Afif Ghurub Bestari, dosen Jurusan Pendidikan Teknik Busana, FT UNY, yang disebut fashion adalah ketika busana membuat penampilan bergaya.


Ciri paling khas dari fashion adalah perubahannya. Jilbab, misalnya, tiba-tiba banyak dipakai sejak tahun 2007-2008. Variannya berubah-ubah. Mulai dari jilbab sederhana yang bisa langsung dikenakan, jilbab langsung pakai dengan tali pengencang di leher hingga jilbab segitiga. Gaya yang dipakai aktris juga menular, seperti tren jilbab “Marshanda”. Di tahun 2013, gaya berjilbab ala timur tengah yang gantian jadi tren, misal jilbab berlapis kain yang menggantung di kepala hingga dada dan turban, serta busana kaftan.

Tren berjilbab, atau istilah lainnya: hijab, menciptakan citra baru atas perempuan Indonesia. Citra baru ini sepadan dengan citra perempuan Indonesia sebelumnya, seperti perempuan berkemben atau berkebaya khas Mooï Indie (Kelik Prirahayanto, “Gerak Merayap Penutupan Aurat: Catatan Dari Foto-Foto Masa Lalu”). Di titik ini perubahan gaya berbusana terasa nyata.

Jilbab menjadi gaya baru yang populer seiring dengan makin religiusnya masyarakat. Ini bukan sesuatu yang terjadi tanpa sebab. Dalam diskusi tentang fashion ideology di Impulse, Yogyakarta, Antariksa, pengkaji kebudayaan, mengatakan bahwa berkah minyak bumi dan penanaman modal di tahun 1970-an di Indonesia membuat Orde Baru semakin kuat. Kekuatan ini turut menggeser kekuatan Islam. Revolusi Iran yang mengubah sistem monarki Iran menjadi republik Islam berimbas sampai ke Indonesia. Salah satunya menginspirasi untuk menunjukkan identitas agama lewat pakaian sebagai pernyataan politik terhadap Orba.

Namun, Orba di tahun ’70-an hingga awal ’80-an adalah kekuatan yang disokong militer serta ideologi yang diizinkan hanya satu, yakni Pancasila yang diistilahkan “asas tunggal”. Kekuatan Islam direpresi dengan menyatukan partai Islam hanya dalam satu wadah, PPP, dan melarang penunjukan atribut keagamaan bagi siswa sekolah umum. Oleh karena itu, jilbab tak pernah benar-benar menjadi populer.

Diponegoro, bangsawan Jawa dalam jubah dan surban. Jubah pernah menjadi pernyataan sikap anti-VOC. (Wikipedia Commons)
Dibandingkan dengan pemakaian jilbab sebagai perlawanan politis di masa Orba, populernya jilbab saat ini dianggap hanya sebagai bentuk fashion yang menguntungkan bagi industri saja. Namun, apa yang orang pakai mewakili gagasan yang lebih besar. Dari bervariasinya jilbab yang dikenakan antarperempuan saja masih bisa dibaca pernyataan tertentu. Seberapa panjang jilbabnya? Apa warnanya? Adakah telapak kaki dan tangannya juga turut ditutup? Adakah ia menyertakan cadar? Seberapa longgar? Ukuran-ukuran tersebut mempunyai arti.

Dalam Fashion as Communication, Malcolm Barnard menyatakan bahwa busana kadung dicap sebagai bahasan “kelas dua”. Dengan menganggap pembicaraan soal busana hanyalah berputar-putar di wilayah kain, cara menjahit, potongan, gaya, cara membuat diri menarik, dan lainnya, potensi pembacaan lainnya bisa terabaikan. Padahal busana kerap kali berkaitan dengan subjek lainnya, seperti politik—sebagaimana ditunjukkan dalam kasus busana muslim.

Pengaturan berbusana yang merupakan implikasi dari ideologi lainnya adalah pelarangan celana ketat oleh Sukarno. Selain celana ketat, yang juga dilarang adalah rambut gondrong, acara dansa, dan musik rock and roll. Gaya rock and roll dianggap sebagai bagian dari budaya Barat yang bermuatan nekolim alias neokolonialisme dan imperialisme. Baginya, bergaya demikian sama saja dengan bersikap kontrarevolusioner.

Sukarno dan identitasnya, peci. Penutup kepala ini ia nyatakan sebagai simbol nasionalismenya. (Dok. Istimewa)
Fashion memang tak hanya soal etika dan estetika. Dalam fashion, juga bisa terbaca arah kebijakan dan kesadaran politik satu bangsa. Kees van Dijk menunjukkan pengaturan berpakaian oleh pemerintah kolonial di Hindia Belanda yang membuat pelajar-pelajar Jawa tetap berbusana Jawa dan bertelanjang kaki meski bersekolah di sekolah Belanda (James Siegel, “Comptes Rendus Outward Appearances”, Jurnal Archipel no. 61, Paris, 2001).

Pada akhir abad IX dan awal abad XX di Hindia Belanda, berpakaian Barat adalah usaha menjadi Barat, yang juga berarti menjadi bagian dari modernitas. Dalam roman Salah Asuhan (1928), misalnya. Tokoh utamanya, Hanafi, adalah seorang anak Minang yang modern karena sejak kecil diasuh keluarga Eropa dan dididik di sekolah Belanda. Ia mengakuisisi nilai Barat dalam dirinya sekaligus menolak unsur pribumi dari keluarganya, yakni adat Minang, dengan cara selalu berpakaian Barat, berbicara dalam bahasa Belanda, serta bergaul dengan orang-orang Eropa. Puncaknya, ketika menikah, ia menolak memakai pakaian adat dan memilih memakai smoking, setelan dengan jas berbahan beludru atau sutra.

Di masa itu, kata van Dijk, mengadopsi cara berpakaian Eropa merupakan ekspresi dari simbol emansipasi dan penentangan kepada Belanda beserta aturan berpakaian mereka. Namun kasus Hanafi adalah hal lain. Pakaian Baratnya adalah jalannya untuk menyaru dalam kerumunan bangsa Eropa, sebab, pada akhirnya ia memutuskan untuk meminta kepada Pemerintah untuk disamakan haknya dengan orang Eropa.

Kesamaan dari pernyataan van Dijk dan situasi Hanafi adalah bahwa berbusana bukan kegiatan yang “sekadarnya”. Jean Gelman Taylor dalam The Social World of Batavia menyatakan, perubahan busana menunjukkan perubahan cara orang menghidupi dirinya (lewat profesi), perbedaan hak dan kewajiban, serta perbedaan status sosial. Di Batavia tahun 1678, Taylor menulis, berbusana diatur untuk menunjukkan derajat profesi.

Seorang istri atau janda dari gubernur jenderal, anggota dewan, atau hakim pemerintahan VOC boleh mengenakan kalung berlian, jam bertatahkan berlian, kota sirih dari emas, kalung  mutiara kelas satu, dan perhiasan mahal. Di bawahnya, istri-istri kepala pemerintahan di daerah boleh memakai mutiara, asal harganya tak lebih dari 6000 koin perak (Taylor, 2009:67-68).

Di Batavia, peraturan berbusana yang terutama bertujuan untuk membedakan orang pribumi dan orang Eropa semakin kaku seiring bertambahnya waktu. Terlebih sejak kedatangan Inggris. Perlu diingat, Batavia sebelum tahun 1800 adalah wilayah yang diatur oleh VOC, sebuah perusahaan dagang, bukan negara. Demografinya masih majemuk, bukan didominasi orang Belanda sebagaimana yang sering digambarkan dalam film-film. Populasi Batavia terdiri dari orang Mardijker (campuran Portugis dan India), Cina, Belanda, penduduk asli, dan orang asing lainnya.

Orang-orang Mardijker berbahasa Portugis campuran. Di mata orang Eropa yang baru tiba di Batavia, dandanan kaum kaya ini tampak aneh: paduan antara busana mewah dan segala atributnya yang berlebih-lebihan namun bertelanjang kaki (Taylor, 2009:48). Perempuan-perempuan Mardijker/berdarah Eropa-Asia juga berpakaian dan bertingkah sama dengan pribumi. Mereka berkebaya dan berkain, duduk di lantai, tak memakai alas kaki, serta makan sirih. Ketika itu adalah masa di mana pakaian tidak ditentukan oleh ras. Ini karena sejak kecil mereka diasuh oleh pembantu-pembantu pribumi.

Perubahan ini bermula dari Inggris, yang berkuasa pada 1811-1816. Di tahun 1816, orang Eropa terdidik yang dibesarkan di Eropa makin banyak di Batavia. Untuk melayani kebutuhan dan identitas Eropa mereka, pemerintah Inggris membuat surat kabar mingguan, teater, dan klub dan perkumpulan. Semuanya disertai dengan perjamuan dan acara dansa dengan sopan santun Inggris. Dalam situasi ini, yang sopan adalah bahasa Inggris atau Prancis. Sementara bahasa Melayu, busana dan kebiasaannya, serta kebiasaan memiliki budak yang lumrah dalam kehidupan orang mestiza (orang berdarah campuran Eropa dan Asia) mulai dipertimbangkan ulang. Ini berbeda dengan sikap pemerintah VOC sebelumnya (Taylor, 2009:102).

Dibanding perempuan, Van Dijk menunjukkan, di Hindia Belanda awal abad XX, justru pakaian prialah yang banyak menarik perhatian. Di tahun 1890-an, para lelaki mulai berpakaian Barat sebagai bentuk politik identitas. Bersamaan dengan itu perempuan-perempuan berstatus Eropa yang seumur hidup tinggal di Hindia Belanda juga mulai memakai busana Eropa. Rok dikenakan siswi sekolah di tahun 1920-an, sementara perempuan dewasa baru mulai memakainya di tahun 1950-an (Siegel, 2001:193).

Yang agak seram adalah kisah sandal jepit, bagian dari busana pelengkap, yang dikisahkan James Danandjaja. Enak dipakai dan harga yang murah membuat sandal banyak dipakai guru sekolah dan dosen di masa Sukarno. Setelah peristiwa 1965, orang menjadi takut memakai sandal karena diidentikkan dengan komunis. James pernah menjumpai sebuah poster yang menyatakan bahwa siapa yang memakai sandal adalah anggota PKI (Siegel, 2001:195).

Lalu mengapa busana nasional Indonesia adalah kebaya yang merupakan simbol budaya tradisional dan jas yang merupakan penanda modernitas Barat? Tesis Taylor: lewat busananya, perempuan dibuat berjarak dengan modernitas dan diposisikan sebagai penjaga jatidiri nasional (national essence), sementara lelaki dan modernitas menjadi pengganti penguasa kolonial yang meneruskan masa depan bangsa.[]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar