29 Mei 2013

Ingatan Kota dalam Monumen

Monumen SO 1 Maret, Malioboro, Yogyakarta (sumber: flickr.com)
TANGGAL 1 Maret semestinya tidak menjadi biasa-biasa saja bagi Yogyakarta, baik sebagai kota maupun sebagai provinsi. Ini bukan tentang hari nasional atau seremoni basa-basi; ini tentang sebuah kota yang meraih eksistensinya melalui pengekalan-pengekalan memori. Yogyakarta akan dibicarakan sebagai kota karena lebih relevan secara spasial dengan apa yang akan dibicarakan selanjutnya.
Sejarah bisa dibekukan. Dalam tulisan, foto, film, dan benda-benda peringatan. Benda-benda tersebut terus hidup dan bergerak bersama kita. Pergerakan benda itu membuat sejarah dan wacana arkaik yang ia bawa akan terus-menerus ditafsirkan. Seperti sejarah Serangan Oemoem (SO) 1 Maret .

SO 1 Maret terjadi di Yogya pada tahun 1949, nyaris tiga bulan setelah Agresi Militer II menggempur Yogya. Serangan balasan ini dimulai pukul 06.00 dan berakhir dengan kemenangan pukul 12.00, sehingga disebut serangan fajar. Keberhasilan serangan ini kemudian dipolitisir untuk kepentingan perjuangan diplomasi yang berujung pada perundingan Roem-Royen, medio 1949.

Sebagai sebuah peristiwa besar yang gemilang, maka kenangan akan peristiwa itu terus dihidupkan. Setahun selepas SO 1 Maret, Usmar Ismail membuat film 6 Djam di Djokja. Bahkan, 29 tahun setelah 6 Djam di Djokja, kisah itu masih digubah lewat film Janur Kuning oleh Alam Rengga Surawidjaja. Dalam teks-teks sejarah, kisah ini dihidupkan dengan fokus cerita pada Letkol Soeharto. Di Yogya sendiri, dua monumen didirikan, yaitu Monumen Serangan Oemoem 1 Maret dan Monumen Jogja Kembali (Monjali).

Film, teks sejarah, dan monumen menjadi, mengutip Abidin Kusno, penjaga memori akan peristiwa 62 tahun silam itu. Penjaga memori inilah yang senantiasa membuhulkan ingatan kita dalam-dalam, sampai-sampai kita merasa ingatan atas itu mengada begitu saja. Seperti sebuah ingatan bahwa gula berasa manis atau lampu merah itu berarti berhenti. Kita tidak menyadari kehadiran penjaga memori atau menganggapnya terlalu “serius”, namun kita merasakan dampak kehadirannya: eksistensi memori.

Tapi, ingatan macam apa yang dijaga oleh para penjaga memori itu?

Ingatan akan sesuatu yang indah, tulis Goenawan Mohammad di tahun 1977 tentang apa yang dirasakan orang-orang saat menonton 6 Djam di Djokja. Indah karena ia bicara tentang setia kawan dan perjuangan.

Tapi, Goenawan Mohamad melanjutkan, seseorang berkomentar bahwa “itu hanya nostalgia biasa dan agak kuno dari seorang yang mulai berumur”. Komentar orang itu relevan karena kini kita berjarak dengan peristiwa-peristiwa semacam itu. Lagipula 6 Djam di Djokja atau Janur Kuning sekarang bukan film yang umum ditemukan.

Ingatan tentang tokohkah? Tidak juga. Buku-buku sejarah pun mulai dibantah. Menurut Sejarawan Dr. Anhar Gonggong, serangan itu digagas Jenderal Soedirman dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, bukan Soeharto.

SO 1 Maret sebagai peringatan nasional lalu cuma jadi basa-basi formalitas. Mungkin akan ada keramaian pawai onthel dan pengendaranya yang berseragam tentara republik, lalu satu-dua stasiun televisi akan memutar film dokumenter atau laporan reportase singkat.
Kita sebagai penonton, duduk di depan televisi, akan tergugu barang beberapa jenak, merasa tersentuh dan sentimental, lalu sudah. Acara selesai, saluran diganti.

Siaran di televisi membuat kita merasa penghargaan yang kita berikan dengan cara menjadi sentimental lima menit di depan televisi sudah cukup. Dialog kita dengan televisi sudah jadi realitas sendiri yang lebih riil.


Monjali (sumber: panduanwisata.com)
Monumen-monumen Ingatan
Di ujung Malioboro yang terkenal dan tak pernah sepi dari riuh, Monumen SO 1 Maret berdiri. Monumen ini punya pelataran yang sering dipakai bila ada pentas-pentas di hari tertentu. Panggung yang dipasang ketika pentas adalah panggung tinggi yang, alhasil, lima patung yang merepresentasikan SO 1 Maret ngumpet di kegelapan selama acara berlangsung.

Di lain waktu, tampak beberapa remaja sedang berlatih papan seluncur di sana. Mereka asyik melaju di depan patung-patung yang membatu. Masing-masing di dalam dunianya sendiri. Seakan-akan monumen itu hadir begitu saja, kosong, dan sekedar pemanis lanskap.

Tapi itu hanya seakan-akan. Ada kenyataan yang tidak boleh dinafikkan kalau monumen itu dibangun di depan Gedung Agung—bekas istana negara—sekaligus dalam kawasan pariwisata paling terkenal di Yogya. Ia berada di tengah jejaring lalu lintas manusia yang tak kunjung sepi.

Bagi penduduk Yogya, melintasinya adalah perulangan yang menanamkan memori tentang kebanggaan. Yogya adalah tempat yang lebih istimewa ketimbang Jakarta, dalam posisinya sebagai ibu kota negara, karena dalam sejarah kemerdekaan, tak pernah ada kontak senjata secara frontal yang berakhir dengan kemenangan di Jakarta. Terlebih lagi, Sri Sultan Hamengku Buwana IX punya peran penting dalam SO 1 Maret dan proses kemerdekaan RI.

Sedangkan bagi pendatang dan pelancong, monumen ini adalah pertunjukan superioritas kota yang hanya ada di Yogya. Inilah bekas ibukota negara republik yang pernah berjuang atas nama kedaulatan nasional dengan tenaganya sendiri. Peristiwa yang keberhasilannya membalas Agresi Militer II berhasil membuat Indonesia punya wibawa untuk bicara lewat diplomasi internasional.

Bila Monumen SO 1 Maret menjaga memori kita lewat letaknya, maka Monjali mencamkan sesuatu lewat namanya. Meski posisi Yogya ketika direbut saat Agresi Militer II adalah ibu kota negara, nama Jogja Kembali justru menegaskan ke-provinsialistis-annya. Monumen ini tidak menghadirkan diri sebagai penanda kenangan akan eksistensi Indonesia, namun Yogya.

Kota Yogya beserta isi ruangnya mengenangkan SO 1 Maret sebagai kebanggaan. Itulah mengapa SO 1 Maret turut diumbar ketika riuh RUU keistimewaan Yogya. Maka, ketika foto nasi bungkus raksasa yang dipajang di depan monumen SO 1 Maret menjadi headline media nasional, monumen itu mengintip dari belakang dan turut berbicara.

Jadi, apakah akan ada keramaian seremoni 1 Maret atau tidak, Yogya beserta isinya telah melakukan seremoni diam-diam yang tidak terbatas waktu.[]

Jogja, 27 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar