13 November 2013

#5BukuDalamHidupku Suka-Tak Suka, Itulah Dia: Lupus!

Sumber: bloggersukabumi.blogspot.com

LUPUS itu satu tapi banyak, banyak tapi satu. Bukunya ada banyak, tapi yang kita kenal, ya, Lupus. Mirip-mirip serial Sherlock Holmes atau Hercule Poirot. Bukunya ada banyak, tapi kita kenal sebagai keutuhan. Lupus.

Lupus adalah bacaan kocak sebelum era Raditya Dika dimulai. Di perpustakaan sekolah, di taman baca, saya selalu ketemu Lupus. Kata sampul belakangnya, Lupus sudah terjual lebih dari 1 juta sekian-sekian eksemplar. Makin dahsyat, ditambahi foto Hilman, sang pengarang, juga. Plus embel-embel “Jago Ngocol Seindonesia”.

Slapstick, Hiperbol, tapi Ya Suka!

Humor dalam Lupus sebenarnya sederhana. Kerap plesetan, pantun, atau tebak-tebakan. Gaya bercanda 90-an banget, lah. Lupus Kecil paling jago kalau soal melucu dengan tebak-tebakan dengan pantun. Di edisi apa saya lupa, pernah ada sayembara bagi pembaca untuk berpantun. Sepertinya ada sekitar 50 pantun. Lucunya minta ampun, sampai-sampai saya catat semua, lalu saya saling dua-tiga dalam surat untuk gebetan waktu SMP. Haha.

Ada satu pantun kiriman pembaca yang saya ingat banget. Kurang lebih begini:

Buah nanas buah semangka
Buah melon buah pepaya
Buah anggur buah rambutan
Itu semua nama buah-buahan

Sial, susah untuk menceritakan hal lucu dengan sama lucunya.

Ya begitulah. Lupus adalah hiburan paling asyik. Saya jarang nonton televisi dan dengarkan radio. Zaman dulu juga belum ada 9gag atau stand up comedy.

Selain pantun atau tebak-tebakan—yang jawabannya ngasal banget—guyon di Lupus sering slapstick yang hiperbol, seperti kepentok pintu, kesandung, jatuh, ditimpuk. Atau, misal, kucing yang pingsan gara-gara cium bau kaus kaki Lupus. Atau ayam yang balapan berkokok pagi-pagi.

Waktu kuliah, saya baca-baca Lupus lagi, rasa lucunya drastis berkurang. Mungkin makin dewasa humor begitu makin basi; kalau tidak memang zaman sudah berubah (ah, kayaknya tidak juga, ya. Yang slapstick masih seliweran di Tv juga….)

Jakartasentris

Tapi tidak semua isi serial Lupus bercanda. Cerita Lupus dewasa sering serius. Entah soal cinta, keluarga (bapak Lupus sudah meninggal di Lupus dewasa), atau kisah teman-teman. Tapi, bercanda atau tidak, saya merasa selalu ada sisipan pesan moral dari pengarang.

Selain lucu, Lupus jadi pengisi imajinasi akan kehidupan remaja gaul anak Jakarta. Main ke mal, lu-gue, pacaran, telepon-teleponan, dengarin lagu-lagu Barat (kalau enggak salah, Lupus suka Deep Purple dan dia kemudian jadi wartawan musik atau gaya hidup gitu lah).

Jakartasentris dalam Lupus sangat kuat. Karena saya suka, tanpa sadar saya mengakuisi standar-standar gaul Jakarta itu dalam kehidupan saya (untung, sekarang saya sudah sadar, haha). Yang paling menonjol adalah gaya ber-lu-gue. Ya, memang tak Lupus saja sih, Tv juga punya andil. Itulah mengapa, ketika saya (berencana) menulis novel remaja pertama saya (hahaha, itu kelas 2 SMP), saya pakai gaya lu-gue: gaya bahasa yang tak familiar, bukan bagian dari budaya saya, dan saya anggap penanda keren.

Iya, saya nulis novel (yang tak selesai). Inilah mengapa saya anggap Lupus mengubah hidup saya. Rasanya heroik sekali ingat masa itu. Saya beli buku tulis, saya sampuli, terus saya tulis ceritanya dari halaman pertama. Sehari bisa menulis dua-tiga halaman. Besoknya saya kasih ke teman-teman sekelas. Saya ingat—dan ingat ini tiba-tiba bikin terharu—kata mereka, “Bagus, Priiiim!”

Bangsat, proyek #5BukuDalamHidupku bikin saya pertama kali ingat, setelah sekian tahun, bahwa pujian macam itu pernah datang ketika saya masih SMP. Ketika menulis masih kegiatan bersenang-senang, bukan belajar atau cari uang.

Ah, sialan, saya enggak mampu lanjut. Saya teringat novel enggak selesai itu. Tokohnya laki-laki, SMP. Punya saudara perempuan. Pernah ngumpet di kandang ayam karena dikejar teman yang mau nagih hutang. Temannya dua. Semuanya imitasi Lupus. Tapi itulah dia, karya yang saya tulis dengan tangan di buku tulis bersampul kertas kado. Yang saya tulis murni karena ingin menulis, yang seperti Hilman lakukan. Yang saya bahagia karenanya sebab teman-teman memuji saya. Di mana buku itu sekarang?

Ah, saya kangen masa-masa itu. Gara-gara si anak berjambul yang doyan permen karet. Duh![]

2 komentar: